"SAYA sudah tua," katanya sebelum berangkat ke Bangkok. Tapi
dialah satu-satunya petinju Indonesia yang meraih medali emas
dari Asian Games VIII. Di Bangkok itu pula -- tahun 1970 --
dalam AG VI, dia memenangkan medali emas untuk kontingen
Indonesia.
Petinju William (Wiem) Gommies lahir di Ambon, 31 Desember 1945.
Ceritanya sebagai atlit nasional adakalanya mengharukan.
Pemerintah daerah Maluku pernah menjanjikan lowongan pekerjaan
dan tempat tinggal baginya supaya jangan hijrah. Tapi, janji itu
tak pernah ditepati.
"Mungkin saya akan bertani saja," katanya sepulang dari
Olympiade Muenchen, 1972. Meski saat itu Wiem berbicara serius,
rupanya dia belum mendapat panggilan sawah-ladang. Dalam PON
VIII di Jakarta, 1973, ia ternyata masih menyumbangkan medali
emas buat kontingen Maluku.
Dua tahun kemudian ia bersama adiknya, Piet dan Eddy, juga
petinju, mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Namun, ia masih saja
menganggur, sementara di desanya, Hatalai, Ambon, isterinya dan
3 puteranya menanti kiriman uang belanja. Maka Wiem, anak kedua
dari 6 bersaudara, mengetuk pintu dunia tinju profesional. Ia
bergabung dengan sasana Halilintar. Tapi, masih belum sempat
mengecap nikmatnya penghasilan dari gelanggang tinju bayaran, ia
dibutuhkan untuk membela panji Persatuan Tinju Amatir Indonesia
(Pertina) dalam perebutan Piala Presiden -- turnamen di Jakarta,
Desember 1976. Ia menggondol medali emas dari situ.
Oktober 1977, Wiem (tinggi, 177 cm dan berat badan 76 kg)
terpilih lagi untuk dicantumkan dalam Kejuaraan Tinju Amatir
Asia ke-8 di Jakarta. Kali ini ia kalah melawan finalis Iran,
Karim Samadi secara kontroversial. Pertandingan dihentikan wasit
Jones dari India, lantaran pelipis kanannya robek dan
mengucurkan darah, akibat tandukan kepala Samadi. Namun di mata
publik, ia sesungguhnya 'pemenang'. "Wiem adalah juara tanpa
mahkota," komentar Ketua Umum Pertina, Saleh Basarah ketika itu.
Di SEA Games IX di Kuala Lumpur, sebulan kemudian, sekali lagi
ia mempersembahkan medali emas buat Indonesia. Prestasi itu
menempatkan Wiem sebagai petinju andalan Indonesia untuk kelas
menengah. Di tingkat nasional, tak ada imbangannya, dalam
menghadapi AG VIII, ia diragukan. Tak banyak petinju seusia dia
yang masih bertahan di ring. Wiem kelihatan menyadari.
Ia memang tidak cemerlang dalam penampilannya terdahulu di AG
VIII, berbeda waktu Kejuaraan Tinju Amatir Asia di Teheran,
1971, di mana ia memukul KO lawan dalam tempo 25 detik. Kali
ini, ia berhati-hati dengan penuh perhitungan. Menghadapi
finalis Jang Bon Mun dari Korea Utara, ia hanya menang angka.
"Kemenangan ini merupakan hadiah buat ulang tahun saya yang
ke-33," katanya. Dan satu-satunya kemenangan dari 7 petinju
dalam kontingen Indonesia ke Bangkok.
Orang Senen
Wiem, kini karyawan bagian keamanan di Pusat Perdagangan Senen
Jakarta, mulai menggunakan sarung tinju di bawah asuhan pelatih
Teddy van Room (1965). Lompatan kebolehannya mengesankan. Medali
emas pertama direbutnya dalam Pekan Olahraga Wilayah Iramasuka
II di Manado, 1968. Setahun kemudian ia menambah koleksi
kemenangannya dari PON VII di Surabaya. Di tingkat
internasional, ia memboyong medali emas dari Asian Games VI
(1970) dan Kejuaraan Tinju Amatir Asia (1971). "Ia adalah yang
terbaik di antara petinju kelas menengah yang kita punyai," puji
pelatih Zul Karyono Arifin.
Apa seterusnya? Wiem, lantaran sudah bekerja di Senen, mungkin
tak akan pergi bertani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini