COURTESY is our way of life (Keramahtamahan adalah hidup
kami). Itu diucapkan berbagai poster di hampir semua toko, hotel
dan pusat perdagangan di Singapura. Bunyi poster itu terasa
masih banyak ditujukan kepada tamu dari Indonesia. Itu kelihatan
sejak pesawat dari Jakarta mendarat di Singapura. Menyambut tamu
dari sini di Lapanganterbang Paya Lebar, orang dari agen
perjalanan, harus berkali-kali mengucapkan: "Selamat datang,
selamat berbelanja!"
Jakfar, dari perwakilan Musi Holiday di Singapura misalnya,
terbiasa menambahi ucapan selamatnya dengan pujian komersiil.
"Saya yakin anda datang ke mari membawa banyak uang." Dan
nasehatnya, yang tak akan diberikan kepada turis asing lain,
selalu juga: "Simpanlah uang anda yang banya itu di tempat
penitipan di hotel, agar aman, dan anda akan tetap dapat
berbelanja sepuas-puasnya. "
Bermalam di hotel seperti Holiday Inn, Hyatt, Merlin, Cockpit
atau Peninsulla, orang sini sudah lama bukan orang asing di
sana. Hotel bertaraf internasional tersebut telah berhasil
membuat suasana di rumah sendiri bagi tamu dari Indonesia.
Mulai dari penerima tamu, tukang angkat barang sampai pelayan
lift semuanya berbahasa Melayu untuk melayani turis Indonesia.
Untuk sarapan pagi ada nasi goreng dan telor ceplok atau bubur
ayam di lobby Holiday Inn. Atau, di lantai 5 Peninsulla, hanya
menyediakan pilihan masakan Surabaya.
Singapura tak banyak memiliki obyek turis yang menarik. Ada
benteng dengan ratusan meriam peninggalan perang di Pulau
Sentosa. Koleksi batu giok keluarga Haw dan Par -- pemilik
perusahaan balsem Cap Macan -- yang konon harganya lebih dari
S$20 juta, boleh dikunjungi. Tapi, obyek tersebut, hanya
dikunjungi turis yang baru pertama kali ke bandar Singapura.
Selebihnya langsung ke sasaran: shopping Singapura, bagi banyak
pengunjung Indonesia memang bukan sebuah tempat indah -- bahkan
mungkin bukan sebuah Republik yang punya tentara yang selalu
siap. Singapura bagi mereka praktis sebuah toserba yang besar.
Singapura hanyalah serangkaian toko.
Toko di C. K. Tang persis di muka Wisma Indonesia di Orchard Rd.
-- yang kerap memasang iklan Obral Besar di koran Jakarta --
Isetan atau di Metro, paling banyak diserbu orang Indonesia.
"Apa yang berlaku di toko-toko sepertinya khusus untuk orang
kita," kata pejabat di KBRI Singapura. Pelayan berbahasa Melayu.
Berbagai model baju adalah konsumsi penggemar mode di sini,
sampai ke soal sepatu. "Coba, di mana pasaran sepatu Kicker's
kecuali sengaja dijual untuk bangsa kita?" kata orang kedutaan
tersebut. Merek Kicker's yang aslinya dari Paris, memang sedang
dgemari di Indonesia, sehingga barang apapun tak jarang
dibubuhi merek itu.
Sopir taksi selalu dibikin tercengang bila membawa pulang
belanja tamu Indonesia. "Awak heran," kata seorang sopir Melayu,
"dari mana orang Indonesia dapat money sebanyak itu?" Sopir ini
tak bisa membedakan: mana orang kita yang turis sambil
berbelanja dan mana yang tampang pedagang. Semuanya menenteng
belanjaan yang tak kepalang tanggung.
Komentar seorang sopir taksi boleh dikesampingkan. Namun, dengan
angka yang sederhana saja. ceperti yang dapat dikutip dari
catatan pejabat kedutaan kita di sana, gambaran tentang orang
Indonesia berbelanja di Singapura memang bukan main. Sekitar 300
ribuan turis Indonesia membuang duitnya di republik terkecil di
dunia ini setiap tahun. Dan rata-rata, begitu dapat dicatat,
setiap tamu membelanjakan uangnya sekitar S$ 1000 atau Rp
300.000. Dengan demikian, ujar pejabat kedutaan tadi "orang kita
adalah pembelanja No 1 di sini."
Meskipun masih memegang rekor sebagai nomor wahid, tapi setelah
Kenop 15 arus turis dari Indonesia memang menurun keras. Itu
kabarnya sempat membuat tauke-tauke Singapura kalang-kabut. Tapi
mengutip keterangan pemerintah sini, pedagang Singapura juga
berpendapat, masa kaget tidak akan terlalu lama. Untuk tahun ini
cukuplah terPenuhi apa yang diinginkan: Sabtu, 23 Desember lalu,
di Restoran Dragon Palace, Hotel Cockpit, STPB. (Singapore
Tourist Promotion Board) telah mengadakan resepsi menyambut
turis yang ke 2.000.000 dalam tahun ini.
Namun, belakangan, tauke Singapura itu mulai garuk-garuk kepala
dua kali. Pertama mereka kehilangan sebagian turis kulit putih
dari Inggeris dan Australia. Yaitu penumpang pesawat penerbangan
Qantas dan BA, yang dulu singgah di Singapura dalam perjalanan
London-Sydney, kini tak mungkin lagi diharap. Dengan keringanan
tarif, sampal tinggal sepertiga dari biasanya dari S$ 1075
tinggal cuma S$ 340 sekali jalan), penumpang tak bisa singgah
sebentar untuk belanja di Singapura.
Pun, kedua, hingga awal Desember sampai menjelang tahun baru
ini, ternyata arus turis dari Indonesia memang masih agak seret.
Tapi dibandingkan dengan satu atau dua minggu setelah Kenop 15,
memang, agen perjalanan sudah mulai kelihatan sibuk bekerja
kembali. "Tapi rasanya sekarang tak mungkin dapat mengharapkan
seramai Desember-Desember sebelumnya," kata agen perjalanan
Satria di Singapura.
Biasanya, sepanjang Desember -- apalagi tahun baru Cina jatuh
Januari 1979 -- adalah acara meludaskan kantong turis Indonesia
yang umumnya memang pembelanja. Cukup dengan tulisan big sale
atau sfecial discount 20%50% saja pusat-pusat perdagangan dapat
menghimpun pembelanja kita sampai penuh sesak. Di sepanjang
jalan Orchad, selain C.K. Tang, adalah pusat pertokoan Lucky
Plaza, Yaohan dan lain-lain, yang biasanya merupakan tempat
berdesak-desak sesama orang Indonesia.
Untuk itu, biasanya pula, hotel-hotel harus dipesan jauh-jauh
hari melalui agen perjalanan. Penerbangan pun padat. Garuda
sampai harus menambah jadwal dengan penerbangan ekstra beberapa
kali seminggu. Agen perjalanan seperti Musi Holiday
sampai-sampai harus mencarter pesawat sendiri untuk mengangkut
sekitar 3000 turis yang ingin berakhir tahun di Singapura.
Akhir tahun ini bagaimana? "Rombongan tour kami di bawah separoh
sasaran tahun-tahun sebelum ini," kata Herman, pemimpin
romhongan dari Musi Holiday. Garuda memang masih tetap dengan 8
x penerbangan -- dan penuh. "Hanya tak sampai harus menambah
dengan penerbangan ekstra seperti biasanya setiap akhir tahun,"
kata Ompi, perwakilan Garuda di Singapura.
Karena harga paket tour sekarang terlalu mahal? Tarif paket tour
-- yang disodorkan dengan harga rupiah -- memang mengikuti
suasana: naik 50%! Biaya tour 5 hari 4 malam, misalnya, dengan
menumpang pesawat Garuda dan tinggal di Holiday Inn, sekarang
tak kurang dari Rp 148.000.
Itu baru soal ongkos saja. Suasana di pasar Singapura sekarang
juga lain dengan sebelum rupiah mengambang. Memang, walaupun
tidak sesibuk seperti tahun-tahun sebelum ini, di Jalan Orchad
atau People's Park, masih ramai dengan pelancong Indonesia.
Cuma, yang jelas, cara berbelanja lebih lamban. Rupanya
diperlukan kecermatan untuk menghitung harga dari dollar
Singapura ke rupiah kita.
"Wah, payah," kata seorang nyonya, pemilik butik di Hayam Wuruk
Plaza (Jakarta), yang memang datang ke Singapura sebagai
peserta tour para pembelanja. "Setiap harga di sini,
perhitungannya, harus dikalikan dengan Rp 300 sekarang." Dulu,
setiap harga cukup dikalikan Rp 200, untuk nilainya dengan
rupiah. Hitung-hitung, katanya, "belanja di Singapura, bahkan
makan, minum dan ongkos taksi, tidak murah lagi sekarang. "
Seorang pedagang di pusat perdagangan Isetan, yang biasa
melayani 'turis' -- yang umumnya semodel dengan nyonya pemilik
butik tadi--tersenyum kecut. Dia juga mengeluh: "Payah ! " Dari
hanya tinggal separoh langganan tokonya yang terdiri dari turis
Indonesia, katanya, ternyata mereka hanya belanja setengah
jinjingan dari biasanya. Tapi, "ngomong-ngomong," katanya,
"pemerintah anda cerdik juga mengatur rupiah ...... kita di sini
jadi kelabakan."
Tapi inang-inang dari Tanjung Pinang tak mengeluh soal ongkos
perjalanan. Ongkos feri Tanjung Pinang ke Singapura masih tetap
Rp 4000 sekali jalan. Tapi penginapan macam Guan Guan, Cin Cin
atau Park Hotel ternyata sepi. Karena inang-inang yang 6iasa
nginap di sana, sejak pertengahan Nopember lalu. kelihatannya
mogok belanja ke Singapura. Biasanya lebih dari 30 orang
inang-inang setiap hari memenuhi feri dengan berbagai macam
barang tentengan. Tapi, akhir-akhir ini, ada 5 orang yang
berangkat saja sudah lumayan. Mereka pun sebenarnya belum
kembali semangat berdagangnya. "Melihat keadaan dulu," kata
seorang di Tanjung Pinang. Mereka umumnya merasa harus menombok
50% untuk membeli barang dagangannya. Sedangkan, menurut mereka,
kekuatan pasar di Indonesia hanya mampu naik sekitar 30% saja.
Omset inang-inang bagi tauke di Singapura sebenarnya juga tidak
kecil. Dari sekitar 500 inang-inang, seminggu, masing-masing
melepas uang di sana sekitar Rp 2 juta.
Apakah Singapura akan lebih membanting harga barang kelontongnya
untuk menarik kembali minat pembelanja dari Indonesia? Untuk
sementara, setidaknya sampai musim turis tahun 1978 berakhir,
tidak ada komentar dari pedagang di Singapura. Apalagi, tahun di
muka ini Singapura tampaknya sedang mengharapkan tamu lain turis
Jepang yang nilai tukar yen-nya terpasang baik di toko-toko.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini