Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Masih Tegangan Tinggi

Pabrik kabel pt sucaco dan pt tranka, mengharapkan kenaikan omset penjualan dalan tahun ini. sasaran penjualan tetap pada pemerintah. (eb)

7 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI perusahaan kabel listrik dan telekomunikasi, 1983 tampaknya merupakan tahun paling sial. Di pertengahan Desember tahun itu, banyak orang agak kaget ketika kurs surat saham PT Sucaco di Bursa Efek, Jakarta, merosot jadi Rp 980, atau Rp 20 di bawah nilai nominal. Jatuhnya kurs pembuat kabel listrik dan telekomunikasi terkemuka itu sesungguhnya segera bisa ditebak, sesudah pada Mei pemerintah mengumumkan penjadwalan kembali sejumlah proyeknya. Maklum, proyek jaringan listrik di Jakarta yang bernilai Rp 4 milyar dan perluasan jaringan distribusi listrik di Jawa Tengah serta Jawa Timur yang bernilai Rp 40 milyar termasuk proyek yang kena gunting penjadwalan kembali. Lepasnya kesempatan untuk memperoleh kue yang cukup besar itu dari kedua proyek ini Sucaco mendapat bagian sekitar 30% - membuat pabrik kabel di perbatasan Jakarta-Tangerang ini bakal tak bisa memenuhi sasaran kenaikan 25% dalam penjualannya. Tahun 1983 "kenaikan omset penjualan tidak akan melebihi 5%," ujar Islam Salim, wakil presiden Sucaco. Kalau itu benar, penjualan Sucaco tahun 1983 hanya akan mencapai Rp 25 milyar, sedangkan tahun sebelumnya Rp 23,9 miIyar. Besar dugaan, laba bersihnya tahun 1983 tak akan melampaui keuntungan tahun sebelumnya, Rp 2,4 milyar. Selain karena penjualan tak naik banyak, perusahaan juga harus membayar bunga dan selisih kurs karena devaluasi Maret lalu, sekitar Rp 1 miIyar. Karena itulah, keuntungan bersihnya per Juni lalu, diperkirakan hanya Rp 671,5 juta. Kendati demikian, perusahaan ini masih punya keuntungan yang belum dibagikan Rp 1,79 milyar, yang diperolehnya pada 1982. Situasi serupa juga dialami PT Terang Kita (Tranka), yang menyandarkan hampir 100% pemasaran kabel telepon dan 40% kabel listrik buatannya ke pasar pemerintah. Kata K. Pri Bangun, presiden direktur Tranka, omset penjualan perusahaannya, pada 1983, berada 20% di bawah sasaran Rp 8 milyar, atau hanya sekitar Rp 6,4 milyar. Tapi, pada tahun 1984, Pri ingin meraih omset penjualan 2,5 kali lipat sasaran tahun lalu. "Jadi, sasaran tahun ini antara 15 dan 20 milyar rupiah, "katanya. Optimisme Pri itu disandarkan pada anggapan menguatnya ekspor komoditi nonminyak dan mata uang dolar. "Itu akan berpengaruh baik bagi pemerintah," katanya. Proyeksi itu juga sudah dicanangkan pihak Sucaco. Dengan memperhitungkan sejumlah kontrak besar yang bakal diperolehnya, perusahaan ini cukup Optimistis akan bisa meraih penjualan Rp 35 milyar pada 1984. Untuk tahun ini, menurut Hasan Basari, manajer keuangan Sucaco, perusahaannya telah meneken kontrak dengan Perumtel dengan nilai Rp 11 Milyar. Arah perkembangan ekspansi usaha Tranka. demikian Pri Bangun, juga banyak ditentukan oleh rencana proyek-proyek pemerintah. Contohnya, ketika pemerintah memutuskan akan memakai aluminium alloy (kabel listrik dengan konduktor aluminium) untuk proyek kelistrikan desa, "kami lantas membuka investasi baru di bidang itu," katanya. "Begitu juga ketika PLN mulai menggunakan power cable XLPE, kabel yang mampu menampung tegangan 1 sampai 77 KV." Tak heran, sebagian besar produk kedua pabrik itu adalah kabel listrik tegangan menengah dan tinggi. Tapi kedua pabrik ini juga menghasilkan kabel listrik tegangan rendah yang, antara lain, dipakai untuk keperluan rumah tangga. Dalam pasar kabel tegangan rendah ini, persaingan cukup ketat. "Ini yang seru. Sebab, ada 17 pabrik yang memasarkan produk itu di sana," ujar Pri Bangun. Pri Bangun - yang juga menjadi ketua asoslasi perusahaan kabel dan listrik se Indonesia, dengan anggota 17 pabrik beranggapan bahwa masalah utama yang sampai sekarang dihadapi masih saja soal "efisiensi dan titik impas (break even)" dari perusahaan. Dia setuju uluran tangan pemerintah berupa proteksi, asal tidak berlebihan. Menurut Pri Bangun, proteksi pemerintah untuk industri hulu, seperti tembaga, ternyata membuat harga bahan baku kabel di dalam negeri itu menjadi lebih tinggi dibandingkan Impor. Demikian pula kelonggaran yang diberikan Bank Dunia - yang memperkenankan produsen kabel lokal memasang harga 15% lebih mahal dari yang impor - membuat produsen menjadi kurang efisien. Bank Dunia memberi kelonggaran itu dengan syarat, perusahaan-perusahaan kabel lokal mengikuti tender internasional yang dibiayai lembaga internasional itu. "Semua itu membuat kami makin sulit bersaing dengan penghasil kabel di luar negeri," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus