Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Perjalanan Setahun Dari Tunisia

20.000 ton pupuk impor nongkrong di tunisia selama 1 tahun. ada perselisihan antara eksportir, pt dharma niaga dengan penjualnya icec, perusahaan dagang amerika. (eb)

7 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSEDIAAN pupuk TSP (Triple Super Phosphate) tahun 1984, apa boleh buat, akan melimpah menjadi 170.000 ton. Itu karena ada tambahan sekitar 20.000 ton pupuk impor yang didatangkan PT Dharma Niaga dari Tunisia. Pekan lalu, sekitar 10.000 ton pupuk yang antara lain, berguna sebagai penyubur tanah itu sudah dibongkar di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, sementara sisanya akan masuk akhir Januari nanti. Pemasukan pupuk impor di tengah kelebihan produksi tahun itu- terutama setelah penambahan kapasitas pabrik pupuk PT Petrokimia Gresik sekitar setengah juta ton beberapa bulan lalu- sempat menjadi pembicaraan baru-baru ini. Ada yang menyangsikan pupuk itu bukan impor. Mungkin karena melihat karung pembungkusnya sama dengan yang biasa dipakai pupuk buatan Petrokimia Gresik. Belakangan, soal itu berkembang agak serius ketika dari pejabat PT Dharma Niaga ada penjelasan bahwa pupuk itu sebenarnya pupuk impor yang seharusnya sudah masuk tahun lalu. Singkatnya, pupuk itu jatah untuk musim tanam 1982/ 1983. Mengapa bisa begitu lama terlambat? Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kardjono Wirioprairo yan dihubungi TEMPO mengatakan, "Ada dispute (perselisihan) dengan penjualnya." Penjual itu: International Commodities Export Company (ICEC), perusahaan dagang Amerika, yang kepentingannya di Jakarta diwakili PT Curah Niaga International . Menurut Kardjono, ICEC, sesuai dengan kontrak, seharusnya sudah mengirim 20.000 ton pupuk itu, sisa dari order 173.000 ton, beberapa bulan setelah kontrak ditandatangani 11 Juni 1982. Dalam kontrak yang seluruhnya bernilai sekitar US$ 34 juta, dan dikaitkan dengan kebijaksanaan imbal-beli itu, ICEC sudah setuju membayar ongkos angkut. Sebab, kata Kardjono, pembelian dilakukan dengan cara C & F (cost and freight). Pada mulanya, pengiriman berjalan lancar sampai mencapai jumlah 103.00C ton. Soal baru muncul ketika dua kapal milik perusahaan Yunani yang disewa ICEC tertahan di pelabuhar Praeus, Yunani. Laporan terakhir menyebutkan, pemilik kapal itu bangkrut Dan karena merasa sudah memhayar. ICEC- menurut Benarto, direktur keuangan PT Dharma Niaga - menolak membayar lagi ongkos angkut pupuk itu ke Indonesia. Negosiasi menurut dia, sudah dilakukan beberapa kali, tapi tetap tak mencapai kompromi. Walhasil, pupuk impor itu pun tertahan dalam kapal. Untuk menjaga agar pupuk tak rusak, kata Kardjono, pemerintah memutuskan pupuk itu diangkut dengan ongkos yang ditanggung PT Dharma Niaga. Dia menegaskan, klaim tetap akan diajukan kepada ICEC dan dengan uang hasil klaim itulah ongkos angkut sekitar Rp 600 juta, yang sudah dikeluarkan PT Dharma Niaga, kelak akan bisa diperoleh kembali. Buat ICEC, anak perusahaan ACLI, sebuah grup perusahaan cukup ternama di Amerika, kontrak penjualan pupuk ini merupakan kerja sama pertama mereka denangan PT Dharma Niaga Sebelumnya, perusahaan yang punya jaringan usaha cukup luas di pelbagai negara ini sudah menjalin hubungan, juga dalam penjualan pupuk, dengan PT Tjipta Niaga dan PT Mega Eltra, keduanya persero pemenntah. "Mungkin lagi sial, ICEC digarap perusahaan pelayaran Yunani, dan akhirnya ribut dengan kami," kata Benarto. Dia mengatakan, betapa pun Dharma Niaga tetap akan menuntut mereka membayar ongkos angkut tadi. "Ini soal prinsip, dan karena merasa benar, kita yakin mereka akan membayarnya nanti," katanya. Putusan terakhir masih harus ditunggu. Yang bisa dicatat, dalam soal dagang, ICEC agaknya punya relasi luas. Mereka berhasil merealisasikan pembelian sejumlah komoditi yang disyaratkan dalam penjualan kontrak pupuk. Data yang diperoleh dari Departemen Perdagangan mencatat, mereka sudah membeli karet, cokelat, kopi, dan lada dengan nilai lebih US$ 37 juta dari Indonesia. Jumlah itu sama dengan US$ 4 juta di atas nilai kontrak yang dibuatnya. Lalu mengapa mereka begitu ngotot mempertahankan ongkos yang hanya sekitar Rp 600 juta itu? Baik Kardjono maupun Benarto menggelengkan kepala. Agen perusahaan itu di Jakarta, PT Curah Niaga Internasional, juga belum mau memberi komentar. "Soal prinsip seperti itu kami sebagai agen tak bisa menjawab," kata David Pardede, salah seorang staf dari Curah Niaga. Tapi, yang agaknya pasti, perusahaan Amerika itu menurut sebuah sumber, akibat kasus ini dimasukkan dalam daftar hitam. Dan ia tak akan diajak lagi dalam tender pembelian barang pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus