Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Meluncur, satelit yang hilang meluncur, satelit yang hilang

Satelit Palapa B2r berhasil diluncurkan dari Cape Canaveral. PT Elektrindo Nusantara yang membidani lahirnya B2r untung 3 juta dolar AS. Akan melayani 200 stasiun bumi untuk menambah sambungan telepon.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH tertunda sampai enam kali, Satelit Palapa B2R, akhirnya meluncur juga. Tepat pada pukul 18.28 hari Jumat waktu Florida, atau Sabtu subuh WIB, dari landasan nomor 17 B di Cape Canaveral, B2R melesat ke ruang angkasa. Gemuruh yang disertai dengan kepulan asap tebal dari "pantat" roket peluncur Delta itu diiringi oleh keplok riuh dan disaksikan ratusan lensa kamera yang dibidikkan. "Allahuakbar. . . ," seru penyiar RRI dan beberapa pengunjung dari Indonesia melepas keberangkatan satelit B2R. Benarkah ia sukses mengorbit? Untuk tahap pertama, bolehlah dibilang demikian. Tapi, itu belum final. Sebab, masih ada tahap krisis berikutnya, setelah 50 jam meluncur. Ketika itu baru akan ketahuan, B2R memasuki orbit yang telah dirancang, 118 derajat bujur timur, atau tidak. Namun, terlepas dari sukses tidaknya satelit domestik tersebut menempati posisi yang pas, sudah ada pihak yang merasa lega. Dialah PT Elektrindo Nusantara (EN), salah satu anak perusahaan Bimantara Group yang membidani lahirnya B2R. Seperti dikemukakan oleh Ronald Korompis, Direktur Operasional dan Pemasaran EN, dengan proyek ini, perusahaannya meraih keuntungan dua sampai tiga juta dolar AS. "Tidak besar, memang, jika dibandingkan dengan jumlah nilai kontraknya, yang 94 juta dolar," katanya. Dan bukan hanya nilai proyeknya yang raksasa. B2R juga punya sejarah panjang. Dengan penundaan peluncuran yang berkali-kali itu, EN harus mengeluarkan biaya tambahan US$ 200 ribu. Lebih dari itu, B2R bagi EN nyaris menjadi sebuah dagangan rugi. Pemerintah Indonesia pernah menolak untuk membelinya. Kisah bermula dari kegagalan peluncuran Satelit B2, pada 1984, yang tak masuk orbit. Nah, satelit gagal itu, setelah "diderek" NASA (Badan Penerbangan dan Antariksa AS), dibeli Sattel, juga perusahaan milik Bimantara di AS, seharga US$ 18 juta -- US$ 8,5 juta di antaranya diperoleh dari dana kredit Bank Dagang Negara. Namun, betapa terkejutnya EN ketika Perumtel, ternyata, menolak membeli B2R. Alasannya, beberapa bulan setelah kegagalan B2, Pemerintah telah menandatangani pembelian Palapa B2P, yang diluncurkan pada Agustus 1986. Tiba-tiba September 1985 satelit Palapa B1 ngadat . Karena ada kerusakan, usia satelit itu, yang seharusnya sampai 1992, menjadi lebih pendek dua tahun. Padahal, kata S. Abdulrahman, Dirjen Postel, Perumtel tak punya satelit cadangan. Karena itu, B2R dibeli juga. Berdasarkan kontrak yang diteken bersama Sattel, pada 1987, B2R pun resmi dibeli oleh Perumtel dengan harga US$ 96,7 juta. Kemahalan? "Tidak," kata Taufik Akbar, Kasubdit Bina Pembangunan Perumtel. Perhitungannya, harga satelit US$ 21 juta. Sedang sisanya digunakan untuk biaya peluncuran dengan roket Delta US$ 51,3 juta, biaya perbaikan US$ 14 juta, dan hiaya lain-lainnya US$ 10,4 juta. Nah, jumlah itu, kalau dibandingkan dengan harga Palapa B2P yang US$ 113 juta, jatuh lebih murah 17%. Memang, bagi Perumtel, B2R bukanlah aset kecil. Satelit yang akan melayani 200 stasiun bumi ini dipakai untuk menambah jumlah sambungan telepon menjadi 1,4 juta sambungan, seperti yang direncanakan pada Pelita V. Selain itu, kegiatan penyewaan beberapa transponder juga akan terus digiatkan. Selain yang sudah menyewa, seperti Vietnam, Filipina, Muangthai, Malaysia, dan Singapura, menurut Wijoyo Amuji, Direktur Pembangunan Perumtel, tujuh negara lainnya (di antaranya Australia, Hong Kong, dan Papua Nugini) sudah pula menyatakan minatnya. Tentu, ini bukan bisnis kecil. Harga sewa -- B2R memiliki 24 transponder -- mencapai US$ 850 ribu tiap transponder setahun. Makanya, Wijoyo yakin, B2R akan kembali modal hanya dalam waktu lima tahun. Budi Kusumah (Jakarta), Gatot Triyanto (Florida, AS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus