KETUA IGGI Jan Pronk, seraya memuji manajemen pengelolaan utang Indonesia, memberi isyarat kuat agar Indonesia mengurangi permintaan utang luar negeri. Tak lupa ia menekankan pentingnya mengurangi Debt Service Ratio (DSR adalah perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap ekspor). Lalu dia menunjuk pada gawatnya situasi Amerika Latin yang ekonominya memburuk karena DSR tinggi. Saya bisa menyebut empat alasan untuk berbeda pendapat dengan Ketua IGGI, yang bertolak dari berbedanya kita dalam menempatkan masalah utang luar negeri pada konteks kebijaksanaan ekonomi makro. Betapapun tingginya DSR Indonesia, hal tersebut tak bisa dibandingkan dengan Amerika Latin, yang jumlah utangnya melebihi ekspor mereka. Indonesia memahami, tingkat DSR-nya yang 35% sekarang adalah tinggi. Namun, utang Indonesia -- berbeda dengan di Amerika Latin yang sebagian besar komersial -- umumnya utang konsesional berbunga rendah, dan pengembalian lebih lama. Persoalan utang Indonesia jadinya bukan masalah neraca pembayaran luar negeri. Bila Ketua IGGI mengemukakan Indonesia harus mengembangkan sumber dan pasar domestik, kita sepenuhnya sependapat. Logika yang ditarik dari sini adalah, perlu dikembangkannya sumber dan pasar dengan kebijaksanaan yang tepat. Hingga kini kebijaksanaan yang paling ampuh dalam mengalokasi dan mendistribusikan sumber-sumber ekonomi adalah anggaran, yang juga berfungsi menjaga stabilitas ekonomi. Sejak 1983 dampak domestik anggaran amat terbatas untuk pengembangan fungsi alokasi dan distribusi yang efektif. Kesemuanya ternyata bersumber pada hubungan anggaran dan utang luar negeri. Karena itu, saya dapat menyebut empat alasan kenapa peran anggaran jadi kian terbatas dan hampir seluruhnya hal tersebut terjadi karena soal utang. Pertama, sejak tahun anggaran 1987-'88 hingga 199O-'91, jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang lebih besar dari jumlah penerimaan utang pada tiap tahun anggaran. Artinya, dilihat dari segi utang pada anggaran terjadi net foreign exchange resource outflow. Akibatnya, dampak ekspansi anggaran jadi amat terbatas, hal yang menyebabkan kita harus melihat alasan kedua dan ketiga. Kedua, pergeseran peran pajak dalam anggaran penerimaan yang membuat kurangnya peran utang, menyebabkan kontraksi pada anggaran. Kontraksi terjadi karena pajak akan mengurangi konsumsi dan tabungan dari masyarakat, dan perusahaan. Berkurangnya konsumsi dan tabungan ini menyebabkan berkurangnya pula investasi serta pengeluaran yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi. Ketiga, jumlah pembayaran bunga dan cicilan utang kini memakan separuh dari anggaran pengeluaran rutin. Peran anggaran bagi alokasi dan distribusi ditentukan oleh anggaran pengeluaran atau anggaran belanja itu. Dampak ekspansi anggaran sepenuhnya bergantung pada anggaran belanja. Bila anggaran pengeluaran rutin separuhnya sudah diambil bagi pembayaran bunga dan cicilan utang, maka dampak ekspansi anggaran menjadi amat terbatas. Keempat, berbeda dengan negara pengekspor minyak seperti Nigeria dan Meksiko, atau negara Amerika Latin lain, Indonesia justru membuktikan mampu mengelola utang hingga terjadi restrukturisasi ekonomi nasional. Struktur produksi telah berubah dengan semakin berperannya sektor industri. Pada tahun 1992 amat mungkin sektor industri manufaktur (migas dan nonmigas) melampaui sektor pertanian dalam share sektoral dari Produksi Domestik Bruto. Struktur ekspor Indonesia telah kian bertumpu pada ekspor nonmigas. Untuk 1989 peran ekspor nonmigas 60,63% dari ekspor total, sementara peran ekspor migas tinggal 39,17%. Lebih menggembirakan, dalam ekspor nonmigas peran ekspor manufaktur melebihi 80% dari ekspor total nonmigas. Atas dasar prestasi itu proyeksi penurunan DSR 25% di akhir Pelita V bukanlah perkiraan yang berlebihan. Restrukturisasi yang amat penting, juga yang lebih peka, adalah justru restrukturisasi pada anggaran. Di sini terjadi pergeseran peran utang luar negeri, pajak serta penerimaan migas, yang secara keseluruhan amat membatasi ruang gerak anggaran untuk mengalokasi sumber-sumber ekonomi serta mendistribusikannya dengan lebih merata. Bila uang untuk program Inpres meningkat 87% pada APBN 199O-'91, maka sepintas lalu kita boleh bergembira, barangkali. Tapi bila jumlah dana untuk program Inpres yang nyata-nyata mempunyai dampak positif bagi pemberantasan kemiskinan jumlahnya Rp 2,3 trilyun, sementara utang berikut bunga yang harus dibayar di sekitar Rp 12 trilyun, jelas situasinya jauh dari menggembirakan. Dana Rp 2,3 triiyun (ekuivalen sekitar US$ 1,3 milyar), benar-benar amat sedikit bagi 72 juta rakyat Indonesia yang diuntungkan oleh program-program Inpres, yang tertuju bagi peningkatan prasarana dan jasa-jasa publik, pendidikan, kesehatan masyarakat, dan pengembangan produktivitas di pedesaan. Tentu masyarakat, atau mungkin juga pihak IGGI, menekankan bahwa Indonesia kini lebih makmur. Sekalipun, seperti dikemukakan dalam laporan terakhir World Development Report keluaran Bank Dunia, Indonesia kembali dikategorikan sebagai kelompok negara-negara miskin. Ini wajar, karena kini pun pendapatan per kapita kita sudah di bawah US$ 500, termiskin di ASEAN. Dan tingkat kesejahteraan 40% penduduk termiskin di Indonesia masih jauh dari menggembirakan. * Dr. Sjahrir adalah Managing Director Institute for Economic and Financial Research Ketua Yayasan Padi & Kapas, pengajar pada FE UI dan Pascasarjana UI. Juga Pengurus Pusat ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) dan Anggota AEA (American Economic Association).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini