TURIS Indonesia yang beli sepatu di Amerika atau Eropa bisa terkecoh. Siapa nyana barang shopping di luar negeri asalnya dari sini juga. Industri sepatu tengah mengalami lonjakan besar, boom. Merek populer seperti Puma, Coleman, Kasogi, Nike, sampai Reebok, yang dibuat di Tangerang dan Bogor, Jawa Barat, diterbangkan ke seluruh penjuru dunia. Indonesia memang tengah menampung banjir investasi di sektor ini. Kini, menurut Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sudah sekitar US$ 315 juta duit dari mancanegara yang ditanam di berbagai pabrik sepatu. Itu terdiri dari 37 proyek. Data dari Ditjen Aneka Industri mencatat 39 proyek PMA yang investasinya mencapai sekitar US$ 319 juta plus Rp 11,37 milyar. "Mereka umumnya menyukai sepatu olahraga, sepatu karet, dan kanvas," kata Dirjen Aneka Industri Susanto Sahardjo. Ini memang kiat baru yang ditempuh oleh para pemilik pabrik di luar negeri. Terutama dari Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong, adalah para pemodal terbesar untuk industri sepatu di sini. Negara yang dijuluki macan-macan Asia, karena pertumbuhan ekonominya yang luar biasa, memang sedang sibuk memindahkan pabrik-pabriknya ke negara lain di sekitar mereka. Kebanyakan, pabrik yang dipindah adalah pabrik yang sebagian besar produksinya diekspor ke Amerika Serikat. Kenapa ke AS? Ini adalah akibat dihapusnya Generalized System of Preferences, yang populer disingkat GSP, oleh Pemerintah AS untuk negara-negara macan Asia itu sejak Juni 1989. Sebelumnya lewat fasilitas GSP, ekspor dari sana menikmati potongan bea masuk. Dan Indonesia masih mendapat fasilitas itu. Nah, dengan memindahkan pabrik mereka kemari, mereka akan tetap mendapatkan fasilitas yang cukup menggiurkan. Maklum, potongan bea masuk bisa mencapai 20 persen. Ternyata, keuntungan yang didapat pemodal pabrik sepatu itu bukan cuma fasilitas GSP. "Di Indonesia upah tenaga kerja rendah," kata Ketua BKPM, Sanyoto Sastrowardoyo. Tenaga kerja di sini mendapat sepertiga dari upah rekannya di Muangthai, atau separuh dari yang di Malaysia. Misalnya, buruh Indonesia menerima 10-23 sen dolar AS, sementara di Muangthai rata-rata 75 sen dolar, dan di Malaysia 50 sen dolar AS. Itu upah rata-rata per jam. Maka, berbondong-bondonglah mereka datang kemari, order datang dari sana. Desain juga. Demikian pula bahan bakunya. Setelah beres digarap di sini, seratus persen hasilnya langsung dikirim ke negara tujuan. Seperti PT Puma Sport Nusantara yang berasal dari Jerman Barat. Sebelumnya, mereka melirik Taiwan dan Korea Selatan sebagai lokasi pabrik. Tetapi, "ongkos kerja di sana naik, GSP pun tak dapat," demikian Rusmin, direktur PT Puma itu, menguraikan alasannya. Maka, sejak bulan Mei tahun lalu, mereka mulai bekerja dengan kapasitas 3.500 pasang sehari. Itu pun akan ditingkatkan menjadi 10.000 pasang sehari, akhir tahun ini. Demikian pula dengan PT Tong Chuang Indonesia yang berinduk di Taiwan. Selain sederet keuntungan tadi, di Indonesia, "Keamanannya stabil dan ekonominya mapan," kata Iman Soemargo, Deputy General Manager Tong Chuang. Sejak September 1989, Tong Chuang rata-rata mengekspor 7.500 pasang setiap bulan, yang langsung dikirim ke AS. Jelas, untung yang diraih akan membuat mata pemodal asing berbinar-binar. BKPM menaksir, ongkos produksi sepatu jauh lebih rendah dibanding harga jualnya. Sepatu kulit sintetis seperti produksi Tong Chuang paling banter pokoknya cuma tiga dolar sepasang. Di Amerika, pabrik bisa menjualnya 25 dolar. Sepatu olahraga lebih asyik. Dengan ongkos 4-7 dolar sepasang, bisa mereka jual sampai 70 dolar. "Siapa yang tidak ngiler?" kata Sanyoto. Lubang seempuk ini rupanya terendus juga oleh pengusaha lokal. PT Billboardind Indonesia adalah salah satu perusahaan murni lokal yang tertarik. Dengan cara kerja yang serupa, mereka menerima pesanan dari luar negeri, dan ternyata mampu membuat rata-rata 50 ribu pasang sepatu sebulan. "Melihat proses kerjanya, kami ini seperti bagian dari pabrik mereka saja," kata General Manager Aliuyanto kepada wartawan TEMPO, Heddy Susanto. Pabrik yang masih satu kelompok dengan produsen kaset Billboard ini mengerjakan pesanan dari beberapa merek. Di antaranya Le Papillon dan Coleman. Hanya saja, kadang mereka terhambat pasokan bahan baku yang agak sulit dicari di pasaran lokal. Keuntungan yang menggiurkan itu tentu juga akan menarik makin banyak pemodal untuk masuk. Dan Sanyoto membuka pintu lebar-lebar untuk mereka. Izin buat asing untuk masuk ke industri sepatu dihitungnya baru akan penuh tiga tahun lagi. Saat itu, menurut perhitungan BKPM, kapasitas terpasang seluruhnya akan mencapai 570 juta pasang per tahun. Jadi, setidaknya, ia akan mengizinkan 100 pabrik sepatu lagi untuk beroperasi di Indonesia. Sri Pudyastuti, Priyono B. Sumbogo (Jakarta), Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini