MENU pagi Ketua IGGI Jan Pieter Pronk, ketika hendak meninggalkan Stasiun KA Yogya, Jumat pekan lalu, adalah barisan pemuda yang berteriak-teriak memberikan pernyataan sikap. Pukul 06.00, beberapa menit menjelang kereta khusus itu diberangkatkan, Pronk belum mau duduk diam menunggu. Ia turun ke peron, seperti biasa, ingin melihat-lihat keadaan yang tidak tercatat dalam acara protokol. Sekitar 20 orang mendadak merubungnya sambil mengibarkan poster-poster. Dengan tenang Pronk mendengarkan kelompok pemuda dari Forum Komunikasi Mahasiswa Yogya membacakan pernyataan. Yakni tentang bantuan IGGI yang dianggap belum banyak menguntungkan rakyat kecil. Sekitar lima menit kemudian, kereta rangkaian khusus (lima gerbong) itu berangkat menuju Bandung, lalu Jakarta. Di perjalanan Pronk sempat berbicara kepada seorang anggota rombongannya, kalau anak-anak yang membuat pernyataan di peron Stasiun Yogya itu di tangkap polisi, ia akan minta kepada pejabat di Jakarta supaya mereka dilepaskan. Supaya tidak mengganggu suasana penandatanganan bantuan bilateral dari Negeri Belanda ke Indonesia. Ternyata penandatanganan Sabtu pagi itu mulus. Menyangkut bantuan pinjaman sebesar 182 juta gulden per tahun dan bantuan khusus 27 juta gulden. Sedangkan jumlah pinjaman dari IGGI seluruhnya akan diputuskan Juni nanti. Dalam jumpa pers di Departemen Keuangan Sabtu siangnya, Pronk sudah memberi isyarat. Barangkali seluruh bantuan akan bertambah sedikit dibandingkan dengan tahun lalu (US$ 4,3 milyar), katanya. Tapi yang agaknya pasti, pinjaman khusus -- yang bisa segera dirupiahkan, dan lebih disenangi oleh Pemerintah RI akan berkurang jumlahnya. Karena Indonesia, dalam dua tahun terakhir, perkembangannya dipandang sudah melampaui negara berkembang lainnya, di atas tingkat yang moderat. Pihak Pemerintah RI pun rupanya sudah siap menghadapi pengurangan bantuan program itu. Antara lain diutarakan oleh Menteri Keuangan J.B. Soemarlin, Kamis lalu, kepada para wartawan. Sehingga untuk memperkuat dana lokal, yang biasanya bersumber dari bantuan khusus itu segera disiapkan pencarian sumber lain. Yakni dari dalam negeri, di antaranya dari peningkatan hasil pajak. "Penerimaan pajak dari sektor nonmigas, misalnya, masih bisa ditingkatkan," kata Soemarlin. Sejauh mana pengurangan special assistance loan, dan berapa pula penambahan bantuan proyeknya, tergantung dari keputusan sidang IGGI, tentunya. Di forum itu memang akan terjadi "jual beli proyek", sesuai dengan Buku Biru Pemerintah RI dan bagaimana para anggota IGGI menanggapinya. "Saya ini bertindak sebagai broker-nya," kata Pronk. Dan Pronk, kelahiran Den Haag pada 1940, berjanji "mau bertindak sebagai perantara yang baik". Bukan karena ia teman sefakultas (di Sekolah Tinggi Ekonomi Rotterdam) dan pernah satu grup (di Societas Studiosorum Reformatorum Rotterdam) dengan Menko Ekuin Radius Prawiro. Tapi karena tindakannya itu diakuinya membawa misi politik juga. "Jangan lupa, saya ini anggota Partai Buruh, punya pengalaman di bidang ekonomi pembangunan, dan Menteri Kerja Sama Pembangunan," katanya. Untuk menghadapi sidang dengan tema pokok penghapusan kemiskinan itu nanti, selama sembilan hari berada di Indonesia, ia bekerja penuh. Dia rajin membaca data dan laporan, meninjau langsung ke segala pelosok yang ia sukai, dan mewawancarai penduduk di daerah kumuh Jakarta Utara atau di Sentolo (tak jauh dari Desa Kemusu, kampung kelahiran Presiden Soeharto). Acara padat itu telah mengacaukan rencananya untuk jogging, yang di negerinya biasa ia lakukan tiga kali (5 km) seminggu. "Sepatu lari yang saya bawa cuma teronggok saja," katanya. Sepanjang perjalanan dengan kereta dari Yogya ke Jakarta, ia juga banyak melakukan rapat dan diskusi dengan para ahli yang menangani proyek-proyek yang dibiayai IGGI, dan dengan pejabat setempat yang terkait. Di antara rapat-rapat di kereta api itu, Pronk menerima wartawan TEMPO Mohamad Cholid untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya: Anda bilang, Indonesia harus mengurangi utang, lalu menurunkan DSR. Padahal, untuk menjaga momentum pembangunan, Indonesia perlu lebih banyak uang. Sebenarnya, itu tergantung pada Pemerintah Indonesia. Boleh saja memilih meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara pesat, tapi itu juga berarti utang akan lebih banyak. Anda tak bisa mengatakan, kami ingin tumbuh terus, tanpa mempedulikan utang. Itu bukan kebijaksanaan yang arif. Kesan saya, pemerintah Anda memiliki ahli-ahli ekonomi yang sanggup menentukan pilihan terbaik, dan berimbang. Pilihan tepat pada 1990-an adalah meningkatkan lapangan kerja, mengurangi debt-service-ratio (DSR) -- perbandingan antara pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap ekspor-Red. -- dan meletakkan pertumbuhan ekonomi pada prioritas ketiga. Jangan sebaliknya. Memang, soalnya adalah menentukan pilihan. Mau investasi dengan padat modal atau padat karya. Coba ingat proyek pemasangan jaringan kabel telepon (antara Yogya dan Cilacap) atas biaya Belanda, yang akan meningkatkan kapasitas hubungan Jakarta-Surabaya. Untuk penggaliannya perlu tenaga banyak, karena dilakukan manual. Berarti, selama dua tahun pelaksanaan, mereka ada pekerjaan. Biayanya yang diambil dari utang, kecil jumlahnya. Dalam jangka panjang, proyek ini akan meningkatkan produktivitas, karena meningkatkan kapasitas sambungan telepon sampai 200 kali lipat. Memang ada investasi yang mengandalkan teknologi canggih dan modal besar. Tapi itu tidak tepat. Sebaiknya Pemerintah Indonesia memilih investasi padat karya, dengan biaya lokal lebih banyak, yang berarti mengerem penggunaan devisa yang bersumber dari utang luar negeri. Negeri-negeri yang melulu mengejar pertumbuhan dengan proyek-proyek yang basis pendanaannya dari utang luar negeri, dengan bunga tinggi dan jatuh temponya cepat, semuanya dililit persoalan. Beberapa negeri Afrika dan Amerika Latin adalah contohnya. Maka, DSR Indonesia yang lebih dari 35% harus siap diturunkan. Tapi banyak ekonom mengatakan, investasi yang baik, efisien, bukanlah yang padat karya .... SAYA tak setuju dengan pendapat itu. Karena dengan begitu, orang lalu tidak berpikir soal utang yang harus dibayar kemudian, yang berarti beban. Dan yang demikian itu terjadi akibat asumsi bahwa produktivitas meningkat kalau didukung oleh padat modal. Efisiensi bukanlah konsep yang netral. Efisiensi adalah sebuah alat ukur daya guna produksi, demi tercapainya tujuan pembangunan. Dan tujuan final pembangunan bukanlah pertumbuhan, melainkan meningkatkan taraf hidup rakyat, secara langsung dalam bentuk lapangan kerja. Untuk mengurangi DSR antara lain tentu perlu peningkatan ekspor. Apa bisa merebut pasar ekspor yang kini sangat bersaing berdasarkan investasi padat karya? Indonesia sudah membuktikan mampu bersaing di pasar internasional, katankanlah dibandingkan dengan negara ASEAN lain. Ekspor itu sendiri bukan merupakan sasaran utama. Kalau negeri Anda meningkatkan ekspor hanya dengan tujuan untuk membayar utang, itu akan jadi semacam lingkaran tak berkesudahan. Bukankah Indonesia belum sampai masuk Paris untuk antre minta penjadwalan kembali utang-utangnya? Betul. Saya hanya bermaksud mengatakan, menurut pendapat saya, Pemerintah Indonesia sekarang memiliki kebijaksanaan yang betul. Tapi DSR jangan naik lagi, harus diturunkan. Jangan meremehkan problem DSR. Banyak negara lain tenggelam akibat dibebani persoalan DSR. Pokoknya, hati-hati. Sekarang memang masih bisa diatasi, tapi sebaiknya diturunkan. Caranya melalui perubahan sikap, jangan mengejar sasaran berupa pertumbuhan maksimal. Dengan mengubah struktur bantuan pembangunan, apalagi kalau berupa pinjaman berbunga tinggi. Indonesia harus bisa bilang, "Tidak" terhadap tawaran pinjaman semacam itu. Apa bahayanya bagi Indonesia, yang dikenal sebagai pembayar utang yang baik, kalau misalnya tingkat DSR-nya melebihi 35%? Well, jika DSR Indonesia misalnya sampai melampaui 40%, itu bisa menyebabkan Indonesia kehilangan kepercayaan diri lagi dalam menentukan kebijaksanaan jangka panjang. Apalagi kalau nanti banyak dana perlu disalurkan ke negeri-negeri yang lebih susah dari Indonesia, seperti Afrika Hitam dan Eropa Timur. Selama ini, IGGI sebagai konsorsium telah berhasil, tapi jangan tergantung pada IGGI. Apakah itu bisa diartikan bahwa peran IGGI mulai mengendur? Bukan begitu. IGGI akan terus membantu. Tapi jangan mengharapkan bantuan pinjaman dengan bunga yang tumbuh meninggi. Indonesia juga bakal tak memerlukannya lagi. Selama ini, Indonesia sudah membuktikan mampu melakukan pembangunan dan penyesuaian-penyesuaian menghadapi keadaan. Indonesia, boleh dibilang, sudah lepas landas. Sudah mampu meningkatkan sumber dana dari dalam negeri, di antaranya melalui pajak. Dan itu perlu dilanjutkan. Jadi, menurut Anda, tujuan utama dari pembangunan ekonomi bukannya untuk ekspansi? Ekspansi bukan tujuan utama pembangunan ekonomi. Karena pada akhirnya, seperti saya kemukakan tadi, harus dijawab pertanyaan: Untuk siapa sebenarnya pembangunan ekonomi itu ditujukan, kalau bukan untuk perumahan yang lebih baik, lapangan pekerjaan yang bertambah, pendidikan yang lebih bermutu, dan seterusnya. Pembangunan adalah untuk rakyat, bukan untuk perusahaan-perusahaan kaya atau pengusaha asing yag sudah mendapatkan banyak keuntungan. Ini harga mati, tak bisa ditawar-tawar lagi. Ucapan Anda memberi kesan politik daripada ekonomi. Ini memang merupakan suatu pernyataan politik, bukan eknomi. Di negara mana pun, prioritasnya akan selalu pada sikap politik. Banyak juga yang beranggapan bahwa IGGI merupakan konsorsium ekonomi, menyangkut perjanjian bantuan utang, bukan forum politik? Orang jangan lupa, di saat pembentukannya 23 tahun silam, IGGI adalah suatu langkah politik. Situasi politik di Indonesia mendadak berubah, dan pemerintahan baru memperoleh bantuan, tidak seperti sebelumnya. Dan itu politik. Ketika Belanda diminta jadi ketua IGGI, itu juga merupakan langkah politik. Ketika Belanda bersedia menerimanya, itu pun adalah suatu keputusan politik. Ekonomi dan politik erat berkait. Tidak ada kebijaksanaan ekonomi yang netral. Karena yang paling utama dalam pembangunan adalah sasaran-sasaran politik. Dan sasaran saya adalah memperbanyak lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan sebagainya. Saya memperoleh kesan, demikian pulalah tujuan dari para pengambil keputusan di bidang ekonomi di Indonesia. Apa pendapat Anda tentang beleid deregulasi yang ditempuh Pemerintah Indonesia sejak tahun 1986? Itu merupakan kebijaksanaan yang terpuji, dalam kaitannya dengan restrukturisasi. Tapi perlu saya ingatkan, langkah itu hendaknya jangan melulu merupakan bentuk pemberian kekuatan lebih banyak lagi bagi para pemodal besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini