Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Iming-iming pak hasjrul

Departemen Kehutanan menyimpan Rp 842 milyar dari dana reboisasi (dr). Akan dimanfaatkan untuk membuat Hutan Tanaman Industri (HTI). swasta dan BUMN di harapkan terlibat dalam HTI. PT ITCI sudah terjun.

21 April 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DANA raksasa itu diam-diam membengkak. Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, seusai sidang kabinet pekan silam, menyatakan bahwa kini Departemen Kehutanan menyimpan uang Rp 842 milyar (sekitar US$ 460 juta). Itulah Dana Reboisasi (DR) yang disetorkan oleh para pengusaha HPH (hak pengusahaan hutan). Uang tersebut dititipkan di bank, tak jelas bank yang mana. Jika didepositokan dengan bunga 15% saja, mestinya "celengan" itu bertambah sekitar Rp 10,5 milyar per bulan. Tapi, sesuai dengan namanya, dana reboisasi tidak boleh dipakai untuk maksud-maksud lain, kecuali membangun hutan-hutan baru. Dana tersebut mulai dikumpulkan sejak Pelita IV (1985 -- mula-mula dalam bentuk DJR (dana jaminan reboisasi) Pengusaha HPH wajib membayar DJR ini. Tapi jika mereka melakukan penanaman kembali, DJR itu bisa mereka klaim. Lalu, apa yang terjadi? Rupanya, kebanyakan pengusaha lebih patuh membayar DJR ketimbang menanam kembali hutan yang sudah digundulinya. Tahun lalu hanya 30 dari sekitar 120 pengusaha HPH yang benar-benar melakukan reboisasi. Di bawah Hasjrul, ketentuan reboisasi itu diperkuat lagi dengan tambahan bahwa setiap pengusaha harus menanam pohon sesuai dengan jumlah pohon yang ditebangnya, di samping wajib membayar DR (Dana Reboisasi). DR ini hendak dimanfaatkan Pemerintah untuk membuat hutan baru. "Dewasa ini ada 20 juta ha tanah kritis di Indonesia," kata Menteri Hasjrul kepada Diah Purnomowati dari TEMPO. Hanya dalam setahun ini, baru 100.000 ha HTI yang bisa dibangun Pemerintah. PT Inhutani I, misalnya, membangun 5 HTI di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi. BUMN itu mengeluarkan biaya Rp 5 milyar untuk membuka HTI seluas 4.991 ha. "Jika hanya mengandalkan dana sendiri, program kita mungkin baru akan selesai dalam tempo 50 - 60 tahun," ujar Hasjrul. Karena itu, kalangan swasta, BUMN, dan koperasi diundang untuk membangun hutan tanaman industri (HTI). Untuk itu Pemerintah akan memberikan penyertaan modal (equity) atau pinjaman berbunga rendah. Juga ada daya tarik lain. Misalnya, seluruh hasil HTI itu kelak akan menjadi milik perusahaan yang bersangkutan. Hak guna usaha (HGU) ditentukan selama 35 tahun ditambah masa praproduksi. "Jadi, kalau daur tanamnya sepuluh tahun, masanya menjadi 45 tahun. Ini berarti, bisa empat kali tanam. Nanti kalau bagus, bisa diperpanjang lagi, sehingga hutan itu tetap berproduksi," begitu janji Hasjrul. Program HTI semacam itu jelas lebih menarik ketimbang HPH yang dibatasi 20 tahun. Pemegang HPH bukan saja wajib menanami hutan kembali, mereka juga harus membayar dana reboisasi. Sekarang ini tarifnya US$ 7 per m3, Juni depan naik menjadi US$ 10 per m3. Sedangkan untuk reboisasi program HTI, pengusaha bisa meminjam dari dana reboisasi. Areal HTI, kata Hasjrul, bisa dibangun di seluruh Indonesia, asalkan saja di atas lahan tanah kritis atau di hutan yang tidak produktif. Besar lahan yang hendak dibuka terserah investor. Sementara ini, Pemerintah (Departemen Keuangan bersama Departemen Kehutanan) masih menggodok peraturan yang akan memudahkan pembiayaan HTI. Menteri Harahap telah memberikan isyarat bahwa untuk reboisasi, perusahaan atau koperasi harus menyediakan modal minimal 35%, sedangkan modal pinjaman maksimal 65%. "Jika mau berpatungan dengan Pemerintah, Pemerintah mau menanggung 40% dari equity. Sedangkan pinjaman bank, 50% akan dicampur dengan dana dari DR," Hasjrul menjelaskan. PT ITCI (International Timber Corporation Indonesia), ternyata sudah terjun duluan, dengan harapan segala fasilitas yang ditawarkan Pemerintah bisa diklaim nanti. Seperti dituturkan Abbas Adhr, bos ITCI, permohonan ITCI untuk membuka HTI di Kalimantan Timur telah diluluskan. Kini, ITCI sedang menggarap lahan HTI seluas 5.000 ha. Sebagian besar (60%) ditanami jenis kayu serat (misalnya eukaliptus, albasia, dan akasia) untuk kebutuhan industri pulp. "Tanaman ini cepat tumbuhnya," kata Abbas. Sedangkan lahan yang 40% lagi ditanami tanaman kebutuhan pertukangan (antara lain meranti). Soal biaya? "Kebetulan, kami punya dana. Reboisasi ini kurang lebih membutuhkan Rp 2 juta -- Rp 2,5 juta per ha. Itu sudah termasuk biaya perawatan selama empat tahun," tutur Abbas. Menjadi tanda tanya, mengapa dana reboisasi (DR) itu belum dimasukkan dalam pos APBN. Benar, dalam APBN berjalan (1990-1991), memang ada pos untuk reboisasi yang cuma Rp 16,2 milyar -- masuk pos pengeluaran Inpres Penghijauan dan Reboisasi. Agaknya, anggaran tersebut berasal dari pos penerimaan iuran hasil hutan (IHH) dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH). Jadi, bukan dari DR. Sekadar menambahkan, dalam tahun anggaran 1989-1990, Pemerintah menerima IHH dan IHPH sebesar Rp 59,2 milyar. Menurut Direktur Penerimaan Minyak dan Bukan Pajak Departemen Keuangan, Drs. A. Gunawan Suratno, dana reboisasi selama ini tidak tercatat dalam APBN karena penggunaannya memang khusus reboisasi. "Penggunaan dana itu memang belum intensif. Tapi dalam waktu dekat segera akan disalurkan, sehingga bisa jelas dalam APBN," ujar Gunawan. Max Wangkar, Diah Purnomowati, Sarluhut Napitupulu, Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus