Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Memangkas Pungutan Favorit Daerah

Rencana penghapusan pajak bumi dan bangunan mulai menuai protes di sejumlah daerah. Kompetensi pemungut pajak dipertanyakan.

23 Februari 2015 | 00.00 WIB

Memangkas Pungutan Favorit Daerah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT pegawai itu sibuk membubuhkan stempel dan melipat lembaran Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) 2015. Ribuan lembar SPPT itu menumpuk di Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Subang, Jawa Barat. "Lembaran SPPT-PBB itu harus segera didistribusikan ke masyarakat," ujar Kepala Bidang Pendapatan II Dinas Pendapatan Subang Harry Rubiyanto, Rabu pekan lalu.

Disebarkan oleh pegawai kolektor ke 253 desa dan kelurahan, lembaran SPPT-PBB ini harus diterima warga Subang paling lambat pertengahan Maret nanti. Distribusi ini bertujuan mencapai target PBB sebesar Rp 30 miliar. Angka ini, kata Harry, naik dari total pungutan PBB tahun lalu, yakni Rp 24 miliar.

Meski lembaran itu belum disebar, beberapa warga mulai menanyakan informasi penghapusan PBB kepada kolektor SPPT. Ulim, kolektor SPPT di Desa Dawuan Kaler, Kecamatan Dawuan, Subang, mengaku sering menerima pertanyaan tersebut. "Masyarakat menganggap PBB digratiskan tahun ini," ujar pria 58 tahun tersebut.

Ia menduga pertanyaan itu dipicu oleh pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan. Pada akhir Januari lalu, Ferry menyatakan akan menghapus pajak bumi dan bangunan. Alasannya: pungutan tanah terlalu banyak dan terjadi berulang kali. "Padahal tanahnya itu-itu juga," kata Ferry.

Dari sejumlah pungutan pajak, Ferry menilai penghapusan PBB merupakan opsi yang paling tepat. "Karena PBB dipungut tiap tahun," ucapnya. PBB yang dimaksud Ferry adalah PBB sektor perdesaan dan perkotaan. PBB sektor ini terdiri atas tanah dan bangunan pribadi, sosial, serta komersial. Dari ketiganya, hanya PBB perdesaan dan perkotaan milik pribadi dan sosial yang akan dibebaskan. Artinya, kebijakan ini tidak berlaku buat tanah dan bangunan komersial.

Ide Ferry menuai protes dari pemerintah daerah. Alasannya: PBB perdesaan dan perkotaan merupakan pungutan favorit bagi pemerintah kabupaten dan kota. Salah satu yang menentang penghapusan PBB itu adalah Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Surabaya Yusron Sumartono.

Menurut Yusron, PBB perdesaan dan perkotaan merupakan kontributor terbesar kedua pendapatan Surabaya setelah bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Angkanya mencapai Rp 683 miliar. "Pendapatan yang disumbangkan PBB dan BPHTB selisihnya jauh bila dibandingkan dengan pajak hotel, restoran, dan reklame," katanya.

Pernyataan serupa disampaikan Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang Ade Herawanto. PBB di kota itu memberi kontribusi sebesar 19 persen dari total pendapatan pajak daerah.

Kekhawatiran Yusron dan Ade cukup beralasan. Soalnya, pemerintah daerah baru seumur jagung menikmati kue pendapatan dari PBB perdesaan dan perkotaan. Hingga 2013, PBB sektor pertambangan, kehutanan, perkebunan, perdesaan, dan perkotaan masih dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan. Total pungutan PBB tahun itu mencapai Rp 25,3 triliun.

Sejak Januari 2014, PBB perdesaan dan perkotaan dilimpahkan ke pemerintah daerah. Kebijakan itu menggerus PBB yang diterima pemerintah pusat menjadi Rp 21,74 triliun. Artinya, ada pendapatan PBB yang beralih dari pemerintah pusat ke kantong pemerintah kabupaten dan kota. Tambahan pendapatan inilah yang hendak dipertahankan pemerintah daerah seperti Surabaya dan Malang.

Tapi tak semua kepala daerah menolak pungutan PBB dihapus. Salah satunya Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Ia bahkan mengklaim pernah mengusulkan penghapusan PBB saat menjabat anggota Komisi Pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014. "Saya yang melempar isu itu," ujar Basuki.

Meski mendapat sokongan dari beberapa kepala daerah seperti Basuki, Ferry merevisi usulnya. Untuk meredakan protes dari daerah, ia mengubah ide penghapusan menjadi pembebasan PBB bagi yang tidak mampu. "Yang mampu tetap bayar," ucapnya.

Anggota Komisi Pemerintahan DPR periode 2004-2009 itu sadar penghapusan PBB akan menggerus pendapatan daerah. Ia berharap berkurangnya pendapatan daerah dapat ditutupi dengan menggenjot wajib pajak yang menunggak.

Pembebasan PBB untuk warga tidak mampu sebenarnya bukan ide baru. Menurut Direktur Eksekutif Centre for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah sudah mengatur mekanisme pemberian keringanan pembayaran PBB dan pembebasan bagi warga yang tidak mampu.

Prastowo juga menilai PBB tidak perlu dihapus karena jenis pungutan ini merupakan sistem perpajakan yang paling bagus ketimbang sepuluh pajak daerah lainnya. Kendati realisasinya kecil, pungutan ini masih punya potensi buat menggenjot penerimaan daerah di tahun-tahun mendatang. Yang perlu diperbaiki, kata dia, justru kompetensi pemungut pajak di daerah.

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil memastikan penghapusan PBB belum menjadi agenda utama pemerintah Presiden Joko Widodo. Kebijakan itu, menurut Sofyan, baru bisa dilakukan setelah pemerintah mengubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009. "Penghapusan PBB masih wacana," ujarnya.

Akbar Tri Kurniawan, Hussein Abri Yusuf (Jakarta), Nanang Sutisna (Subang), Eko Widianto (Malang), Agita Sukma Listyanti (Surabaya)


Jenis Pajak Daerah

  • Hotel
  • Reklame
  • Hiburan
  • Restoran
  • Penerangan jalan
  • Air tanah
  • Mineral bukan logam dan batuan
  • Sarang burung walet
  • Bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan
  • Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan
  • Rokok
    Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursyidan Baldan:
    Pungutan Tanah Terlalu Banyak

    RENCANA pemerintah menghapus pungutan pajak bumi dan bangunan mendapat tentangan dari sejumlah kepala daerah karena dinilai akan menggerus pendapatan asli daerah. Tapi penolakan itu tak menyurutkan langkah Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Mursyidan Baldan. Politikus Partai NasDem ini berpendapat kebijakan itu bermanfaat buat masyarakat tidak mampu. "Tapi mereka yang mampu harus tetap bayar," katanya kepada Akbar Tri Kurniawan dari Tempo, Rabu pekan lalu.

    Apa alasan utama di balik kebijakan ini?

    Kami ingin menyelesaikan kerumitan masalah tanah, yang terjadi dari pelayanan sertifikat hingga pemberian hak atas tanah, termasuk hak komunal bagi masyarakat adat di kawasan perkebunan atau perkotaan. Hal ini menimbulkan banyak sengketa.

    Kenapa masalah tanah tersebut rumit?

    Hal ini terjadi karena banyaknya pungutan atas tanah. Ada pajak bumi dan bangunan, bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, serta biaya pengalihan hak. Agar tidak terlalu rumit, kami ingin menyederhanakannya. Dan yang paling mungkin dibebaskan adalah PBB karena menyangkut pajak.

    Siapa saja yang akan dibebaskan dari pungutan PBB?

    Kami mengusulkan pungutan itu dibebaskan bagi mereka yang tidak mampu.

    Apa batasan tidak mampu?

    Kalau dua tahun berturut-turut mengajukan keringanan pajak, kami anggap dia tidak mampu. Data pengajuan keringanan ini menjadi data awal.

    Anda tidak khawatir kebijakan ini disalahgunakan?

    Pembebasan pungutan akan diberikan dengan menjalankan verifikasi yang ketat, di antaranya verifikasi sumber penghasilan per bulan. Kami juga akan menelisik besaran surat pemberitahuan pajaknya.

    Siapa yang akan memverifikasi?

    Petugas yang selama ini datang ke tiap rumah untuk memungut PBB bisa sekaligus melakukan verifikasi. Tugas itu sudah bisa dimulai dari sekarang.

    Kenapa Anda selalu mengatakan pembebasan PBB bisa mengerem kapitalisasi harga tanah dan bangunan?

    Kebijakan ini setidaknya memberikan ketenangan hidup bagi masyarakat yang tinggal di atas tanahnya, terutama mereka yang menetap di kota besar. Selama ini banyak masyarakat merasa tertekan akibat harus membayar PBB, padahal jelas-jelas dia tidak mampu.

    Tapi sejumlah bupati dan wali kota menolak usul Anda?

    Masak, kemampuan bupati dan wali kota hanya menarik pungutan dari masyarakat. Lagi pula pembebasan pungutan PBB tidak relevan dikaitkan dengan berkurangnya pendapatan daerah. Toh, yang dibebaskan dari pungutan ini hanya mereka yang tidak mampu.

    Dari mana mereka menambal hilangnya pendapatan daerah?

    Mereka harus mengejar wajib pajak yang tidak bayar.

    Apakah dampak dari kebijakan ini sudah ada hitung-hitungannya?

    Perhitungannya nanti. Sekarang ini yang penting filosofinya. Kami berharap pemerintah pusat dan daerah bisa bekerja dalam kerangka yang sama, yakni membebaskan beban hidup masyarakat tidak mampu.

    Negara mana yang sudah menerapkan kebijakan serupa?

    Jerman salah satu yang sudah menerapkan kebijakan ini.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    close

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus