MATA I.G.K. Manila, Sekretaris Jenderal Departemen Penerangan, berkaca-kaca. "Ini namanya kualat," katanya dengan suara tersendat. Betapa tidak, departemen yang telah menjadi alat penguasa informasi nasional sepanjang 32 tahun Orde Baru itu—dengan "prestasi" lebih dari 100 media massa dibredel, baik sementara maupun selamanya—pekan lalu dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Maka, kegelisahan dari 50.860 karyawannya pun muncul di berbagai penjuru. Di Kendari, Sulawesi Tenggara, puluhan pegawai Departemen Penerangan (Deppen) menduduki kantor RRI selama tiga jam. Sementara itu, rekan-rekannya di Kupang, Nusa Tenggara Timur, menggelar doa bersama agar pemerintah membatalkan keputusan tersebut. Di Jakarta, ribuan karyawan Deppen—bersama karyawan Departemen Sosial—berunjuk rasa di halaman Istana Negara.
Mantan Menteri Penerangan M. Yunus, yang bertindak sebagai juru bicara karyawan Deppen, menilai pembubaran departemen di masa krisis ekonomi sebagai langkah yang tidak bijaksana. Yunus mengakui ia pernah melontarkan ide pembubaran Deppen. Tapi ia tetap menyesalkan langkah Gus Dur yang mendadak tanpa penjelasan resmi.
Namun, segala aksi itu tak menyurutkan tekad pemerintah. Gus Dur, saat berdialog dengan wakil pengunjuk rasa di Istana Negara, menegaskan bahwa langkah pembubaran tak bisa ditawar lagi. Penerangan adalah urusan masyarakat yang tak layak dicampuri pemerintah. Keberadaan Deppen, menurut Gus Dur, hanya akan membuat rakyat berhadapan dengan pemerintah yang selalu ngotot mengatur lalu-lintas informasi. Sekarang, zaman sudah berganti. "Biarkan masyarakat ngomong a-b-c-d, masyarakat sendiri yang menyaring," katanya.
Soal kepegawaian? Gus Dur meyakinkan, tak satu pun pegawai Deppen bakal kehilangan pekerjaan. Pemerintah sudah siap dengan sejumlah skenario. Fungsi penerangan akan dibebankan kepada setiap menteri atau departemen teknis. RRI dan TVRI diarahkan menjadi BUMN yang siap bersaing secara profesional. Tak ada lagi berita titipan pemerintah. Semua diserahkan pada dinamika masyarakat. Lalu, pegawai Deppen non-RRI-TVRI akan disalurkan ke pemerintah daerah atau instansi pusat yang lain. Tak adanya pemecatan ini dibenarkan oleh Sofian Efendi, Ketua Badan Administrasi Kepegawaian Negara. Penyaluran pegawai, menurut Sofian, tetap dilakukan meskipun hal ini membuat lembaga yang dititipi menjadi gemuk dan tidak efisien. Apa boleh buat.
Pada dasarnya, kehadiran Deppen memang tak lagi sejalan dengan semangat zaman. Fungsi departemen ini untuk memberikan penerangan kebijakan pemerintah menjadi tak ada artinya dibandingkan dengan derasnya laju informasi lewat parabola atau internet, yang tidak mungkin disensor pemerintah. Tugas lain Deppen untuk mengontrol media massa dengan cara memberi—baca: jualan—surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), yang di zaman Soeharto berharga Rp 1 miliar, sudah disunat ketika mantan Menteri Penerangan Yunus di masa pemerintahan Presiden Habibie membuka keran kebebasan pers. Siapa pun dengan gampang bisa memperolah SIUPP hanya dalam waktu satu minggu. Alhasil, sepanjang masa pemerintahan Habibie yang 512 hari itu, terbit 1.184 SIUPP baru—melonjak hampir lima kali lipat dibandingkan dengan SIUPP yang terbit di masa Soeharto.
Semula, gebrakan Yunus ini membuat takut banyak pihak pada dampak kebebasan SIUPP. Masyarakat dikhawatirkan tak sanggup menyaring berita-berita sampah yang tidak bermutu. Terbukti, ketakutan ini tak beralasan. Seleksi alam berlangsung ketat. Pembaca tidak melirik media massa yang semata bertumpu pada berita sensasional. Menurut catatan Rhenald Kasali, pengamat pemasaran, dari seribu lebih SIUPP baru itu, hanya kurang dari separuhnya yang masih bertahan terbit. Sisanya, selain tak bisa terbit karena tak ada dana, sudah berstatus almarhum karena tak diminati pembaca.
Agaknya, fakta-fakta ini membuat Gus Dur yakin bahwa Departemen Penerangan tak perlu ada, sama seperti di banyak negara. Amerika Serikat, misalnya, memercayakan soal penerangan ini kepada lembaga public affairs yang menyebarluaskan kebijakan pemerintahnya di berbagai negara. Langkah likuidasi ini dipuji oleh Atmakusumah Asraatmadja, pengamat media massa dari Lembaga Pers Dr. Soetomo. Cuma, ia menyesalkan tak adanya diskusi publik sebelum keputusan penting diketuk. Alhasil, masyarakat belum bersiaga dan muncul panenan reaksi. Maklum, yang dibredel adalah sang raja bredel.
Mardiyah Chamim dan Ardi Bramantyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini