GROZNY menjelma menjadi kota hantu. Rumah-rumah besar bergaya Eropa abad lalu, yang menjadi landmark ibu kota Chechnya, nyaris rata dengan tanah karena hujan bom Rusia. Medecin du Monde, satu-satunya lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang kemanusiaan di Grozny, harus keluar dari kota itu, Rabu pekan lalu. Menurut Aset Sharipova—seorang pengungsi yang berhasil sampai ke Gekhi, kota kecil sekitar 16 kilometer dari Grozny—tujuh orang keluarganya tewas saat rumahnya dihajar bom tentara Rusia. Tampaknya tinggal para pimpinan Chechnya merdeka saja yang masih bertahan di ibu kota, sembari memberikan siaran pers ke seluruh penjuru dunia.
Belum ada yang mampu memprediksikan bagaimana akhir perang tak seimbang antara Rusia dan Chechnya yang meletus sejak tank Rusia memasuki wilayah Chechnya, Agustus lalu, itu. Presiden Chechnya, Aslan Maskhadov, mendeklarasikan keadaan darurat militer. Pimpinan gerakan militan Islam fundamentalis Chechnya bertekad jihad, sementara pemerintah Rusia bersikeras mempertahankan kontrol atas Chechnya—negara yang tak pernah diakui kemerdekaannya. Saat ini, tentara Rusia sudah berhasil mengepung Grozny dan hanya memberikan delapan koridor untuk lewatnya pengungsi.
Sebenarnya, perang Chechnya dengan Rusia ini bukan yang pertama kali. Pertama kali perang meletus adalah tahun 1994, tiga tahun setelah Chechnya menyatakan merdeka. Sejak itu, hubungan kedua negara buruk. Pada 1994, konflik di antara keduanya memanas karena Rusia memperkuat kontrol di Chechnya dengan mengirim tentaranya. Terjadilah tragedi itu: 120 ribu jiwa melayang, sebagian besar terdiri dari penduduk sipil etnis Rusia yang tinggal di Chechnya.
Perdana Menteri Rusia, BorisYeltsin, segera memutuskan menghentikan perang di Chechnya pada Februari 1996, sebelum pemilihan umum. Langkah itu dilakukan agar popularitas Yeltsin tak merosot. Dalam kesepakatan damai yang ditandatangani kedua belah pihak, Rusia tetap tak mengakui kemerdekaan Chechnya dan hanya menawarkan pilihan merdeka atau tetap menjadi salah satu provinsi Rusia, dengan batas waktu tahun 2001. Nama Rusia pun jatuh di mata internasional.
Lalu, mengapa Rusia nekat mempertaruhkan namanya dengan kembali membakar perang di Chechnya? Padahal, Yeltsin harus membenahi banyak hal sebelum pemilihan umum awal 2000, seperti krisis ekonomi dan tuntutan korupsi terhadap kroni-kroninya.
Memahami hubungan Rusia dan Chechnya tak bisa hanya mundur sampai Chechnya merdeka, tapi harus ditarik jauh lebih lama, yaitu sejak abad ke-19, ketika imperium Rusia sudah menguasai kontinen kaukus utara. Etnis Chechen—suku yang tinggal di Chechnya—adalah satu dari lima puluh etnis yang hidup di wilayah tersebut. Sejak masa itu juga, kaukus utara selalu diwarnai dengan gerakan separatisme yang diwujudkan dalam upaya memisahkan diri dari pemerintahan pusat Rusia. Menurut Sergei Plekhanov—ahli politik Rusia pascakomunis dari Universitas York, Kanada—Rusia sudah merasa kaukus itu bagian dari wilayahnya.
Keinginan Chechnya untuk merdeka didorong oleh merdekanya negara-negara kaukus bekas Uni Sovyet, seperti Georgia, Azerbaijan, dan Armenia. Apalagi rakyat Chechnya merasa mampu menghidupi diri sendiri karena kawasan itu kaya minyak. Pecahnya Uni Sovyet menjadi 15 negara merdeka juga semakin memperkuat atmosfer itu.
Sedangkan bagi Rusia, Chechnya adalah batu ujian terhadap kemampuan untuk mempertahankan keutuhan kesatuan negara. Apalagi, beberapa elite politik Chechnya berhasil memperluas "pembangkangan" dengan mendukung kelompok pejuang muslim di Dagestan, negara bagian Rusia yang bertetangga dengan Chechnya dan Rusia. Lebih jauh, pemerintah Rusia merasa memiliki "hak" untuk mengebom Chechnya karena merasa yakin bahwa Chechnya adalah sarang teroris. Serentetan pengeboman di apartemen-apartemen Moskow, September lalu, yang menewaskan ratusan orang, dicurigai pemerintah Rusia sebagai aksi balas dendam Chechnya karena telah kalah di Dagestan. "Kecurigaan itu memang tidak pernah terbukti hingga kini," kata Plekhanov.
Bagaimana menyelesaikan perang antara Rusia dan Chechnya? Tidak ada jalan lain kecuali penyelesaian politik. Kemarahan Rusia tidak akan mampu menundukkan Chechnya. Sebaliknya, dunia semakin tidak berpihak pada Rusia, walaupun pemerintahan Yeltsin berusaha meyakinkan bahwa urusan Chechnya adalah masalah dalam negeri, yakni karena pemerintah Rusia harus mengendalikan separatisme dan menghapus terorisme.
Bina Bektiati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini