SUASANA menyambut Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 sudah ditiup-tiupkan ke banyak negeri. Bahkan tak kurang dari Presiden Soeharto sendiri ikut mengibarkan semangat promosi pariwisata itu. Dalam perjalanan pulang dari lawatannya ke Jepang, RRC, dan Vietnam, Pak Harto mempersoalkan frekuensi penerbangan antara Jakarta dan Tokyo, yang berkaitan langsung dengan kegiatan pariwisata. Presiden berbicara kepada para wartawan ketika pesawat yang membawa rombongan belum mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma. Penerbangan JAL ke Indonesia, misalnya, baru diselenggarakan lima kali sepekan. Bukan 12 kali seperti tertuang dalam perjanjian antara JAL dan Garuda. Sementara itu, Garuda, yang selama ini sudah terbang 12 kali seminggu ke Jepang, ingin pula menambah jumlah penerbangannya. Pak Harto memang mengharapkan, jumlah pelancong Jepang yang ke Indonesia bisa lebih banyak. Harapan itu tak berlebihan. Potensi Jepang sebagai negeri yang mengirim wisatawan ke mancanegara sudah tak perlu diragukan. Karena pemerintahnya sendiri (Departemen Perhubungan Jepang) sejak 1987 memang sengaja ingin meningkatkan jumlah warganya yang berpesiar ke luar negeri. Ini dimaksudkan mengurangi beban surplus neraca pembayarannya akibat yendaka atau kenaikan nilai yen. Menurut wartawan TEMPO Seiichi Okawa di Tokyo, warga Jepang yang melancong ke luar negeri mulai 1991 nanti harus berjumlah 10 juta orang setahun atau dua kali lipat dari 1987 yang sudah mencapai 5 juta. Rupanya, target itu sudah tercapai tahun ini juga. Sampai akhir Oktober lalu, jumlah orang Jepang yang berwisata ke mancanegara sudah sembilan juta. Awal Desember ini, angka 10 juta sudah terlampaui. Mengingat yen tetap menguat dibanding dolar AS, agaknya turis Jepang akan terus meningkat tahun depan, melewati 10 juta orang. Jumlah uang yang mereka belanjakan pada 1989 mencapai US$ 22,5 milyar, dan pada 1990 ini diperkirakan US$ 30 milyar. Cuma, sebagian besar lebih suka berkunjung ke Hawaii. Negeri-negeri ASEAN (Oseania) masuk pilihan kedua. Kalau yang ke Indonesia, menurut Dirjen Pariwisata Joop Ave, baru sekitar 200 ribu orang per tahun. Untuk mendatangkan lebih banyak, faktor utama yang harus disediakan ialah transportasi. JAL, yang sejak tahun lalu bahkan sudah mendapatkan hak terbang langsung ke Bali, sampai sekarang tetap belum bisa meningkatkan kapasitas angkutnya ke Indonesia secara maksimal. Baru pada Desember ini JAL menambah jadwal penerbangannya menjadi enam kali seminggu -- semuanya mendarat di Jakarta. Menurut keterangan Asisten Manajer JAL di Jakarta Bambang Soedewo, penambahan frekuensi penerbangan tak bisa begitu saja dilaksanakan. JAL kini kekurangan pesawat dan awak. Sejak swastanisasi pada 1987, JAL benar-benar berorientasi pada keuntungan. Maka, sebagian besar pesawat dan awaknya diterbangkan untuk melayani jalur-jalur gemuk. Ke Indonesia mengangkut turis? Nanti dulu. Turis akan selalu memilih kelas ekonomi yang tak banyak memberi keuntungan bagi JAL. Menurut Joop Ave, bisnis penerbangan memperoleh keuntungannya terutama dari kelas bisnis dan kelas utama. JAL memang perusahaan yang ongkosnya dianggap lebih besar dibanding dengan maskapai besar lainnya. Antara lain disebabkan oleh gaji karyawan yang sangat tinggi. Sedangkan bagi Garuda, penerbangan ke dan dari Jepang (yang rata-rata 70% terisi) merupakan jalur menguntungkan. "Memberi sumbangan cukup besar, yakni 22%, untuk seluruh pendapatan Garuda," kata Direktur Niaga Soenarjo. Maka, Garuda sudah merencanakan menambah frekuensinya ke Jepang. Kalau bisa, 16 kali seminggu. Kemungkinannya, tak semuanya mendarat di Narita yang sudah padat itu karena, kabarnya, Pak Harto sudah sempat menyinggungnya dalam pembicaraan dengan PM Kaifu. MC
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini