SEWAKTU berkunjung ke Jepang untuk menghadiri Sokui No Rei, upacara penobatan Kaisar Akihito, Presiden Soeharto ternyata telah melakukan lobi dengan PM Toshiki Kaifu. Bisa dibayangkan, dalam kesibukannya menerima tamu sekitar 160 kepala negara, PM Toshiki Kaifu mau memberikan perhatian khusus bagi Presiden Soeharto. Waktu yang disediakan sungguh istimewa, sekitar 30 menit. Para kepala negara lainnya hanya mendapat waktu 10 menit. Menurut seorang pejabat dari Departemen Luar Negeri Jepang di Tokyo, Presiden berbicara sekitar 25 menit. Masalah yang dikemukakan Pak Harto ternyata memang serius. Sebagaimana diungkapkan dalam konperensi pers di pesawat Hanoi-Jakarta Rabu pekan lalu, Presiden berterima kasih atas bantuan ekonomi Jepang untuk Indonesia. Namun, selain itu, ia mengingatkan Jepang agar tidak salah pengertian seolah-olah Indonesia mendapat keuntungan besar dari naiknya harga minyak. Bila benar kaya, Indonesia bisa dianggap tak lagi membutuhkan special assistance loan. Sebab, tambahan pendapatan dari kenaikan harga minyak itu sebagian dipakai untuk subsidi, sebagian lagi untuk memenuhi kewajiban membayar utang. "Bahkan kalau kenaikan minyak itu dihitung untuk membayar kewajiban utang setelah ditambah akibat apresiasi beberapa mata uang asing, khususnya yen terhadap dolar, hasil dari kenaikan minyak itu selisihnya lebih kecil daripada beban membayar utang karena apresiasi ini," kata Kepala Negara. Special assistance loan adalah pinjaman khusus dari anggota IGGI. Khususnya untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang berantakan pada tahun 1986 akibat jatuhnya harga minyak dan gerak menguatnya sejumlah valuta asing (currency realignment) terhadap dolar. Pinjaman khusus ini bisa dicairkan secepatnya, dan berbentuk valuta asing tunai. Pinjaman dari pemerintah Jepang cuma berbunga 2,5%, masa pengembaliannya 30 tahun dengan masa tenggang (grace period) 10 tahun. Ada pula yang diberikan Bank Exim Jepang dengan bunga 6,5%, masa pengembalian 15 tahun termasuk masa tenggang lima tahun. Menurut laporan Bank Dunia yang disampaikan di sidang IGGI Juni lalu, pinjaman khusus yang telah dicairkan selama tiga tahun terakhir tak kurang dari US$ 5,4 milyar. Dana ini telah memungkinkan Indonesia meneruskan restrukturisasi ekonomi. Sambil melanjutkan pembangunan, itu sekaligus mengurangi kemiskinan. Dana ini juga telah menyebabkan struktur utang Indonesia menjadi lebih ringan (favourable), meningkatkan kepercayaan para investor sekaligus kepercayaan dunia perbankan internasional. Tahun lalu, Indonesia masih menerima pinjaman khusus US$ 1,8 milyar. Sedang dalam sidang IGGI yang lalu, mereka sudah menjanjikan US$ 1,2 milyar. Jumlah itu diberikan oleh para donor, konon, karena kebetulan pada waktu sidang berlangsung, harga minyak sedang jatuh di bawah perkiraan APBN. Namun, untuk tahun anggaran mendatang, kata Bank Dunia, pinjaman khusus ini masih perlu diberikan IGGI jika perkembangan ekonomi Indonesia, khususnya neraca pembayaran (balance of payment), masih lebih buruk daripada proyeksi. Sewaktu menyusun laporan terakhir, Bank Dunia konon sudah memperkirakan harga minyak untuk tahun anggaran 1990-1991 akan lebih baik daripada perkiraan APBN. Kenyataan, sejak terjadi krisis Teluk Persia, harga minyak memang naik melampaui harga patokan APBN. Namun, kenaikan harga minyak tampaknya belum akan membuat neraca pembayaran akan membaik. Masalahnya, kenaikan penerimaan ekspor minyak itu tidak diikuti oleh kenaikan ekspor nonmigas. Berbarengan dengan itu, sebagaimana dikemukakan pengamat ekonomi Mari Pangestu dalam suatu diskusi ekonomi belum lama ini, transaksi berjalan diperkirakan akan menyebabkan defisit sampai US$ 2 milyar. Padahal, transaksi berjalan untuk tahun anggaran berjalan, menurut APBN, diperkirakan hanya sekitar US 1,3 milyar. Pemerintah agaknya berpendapat bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya belum membaik. Pemerintah akan tetap mematuhi kewajiban membayar utang dan bunga, tetapi sekaligus juga merasa perlu melanjutkan pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Jika rezeki minyak dipakai untuk membayar utang, apakah masih akan ada tabungan yang bisa dipakai untuk membiayai pembangunan? Masalahnya, sebagian beban utang yang harus dibayar sekarang dan untuk tahun mendatang adalah beban yang diakibatkan dari menguatnya yen terhadap dolar sejak tahun 1986. Dewasa ini, kurs yen memang belum jauh berbeda dengan kurs pada tahun 1986, yakni 130-140 per dolar. Situasi ekonomi Indonesia memang tidak separah tahun 1986 lagi. Namun, masalahnya, apakah pendapatan migas benar-benar akan cukup memberikan tambahan devisa untuk memperkuat cadangan di BI sehingga bisa menutup kebutuhan impor enam bulan? Dewasa ini cadangan devisa di BI diperkirakan berkisar US$ 7 milyar, sudah termasuk swap, pinjaman bank-bank komersial dari luar negeri. Sementara itu impor yang selama tujuh bulan pertama rata-rata masih berkisar US$ 1,1 milyar per bulan Agustus lalu melonjak sampai US$ 2 milyar. Dengan dibukanya keran impor truk dan semen, ada kemungkinan impor masih akan tinggi. PM Kaifu agaknya belum memberikan jawaban yang pasti. Namun, menurut seorang pejabat dari Biro Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri Kementerian Luar Negeri Jepang, pada prinsipnya pemerintah Kaifu bersikap mau membantu pembangunan ekonomi Indonesia secara positif. "Namun, kami mau meneliti dulu keadaan ekonomi dan perkembangan harga minyak sebelum memutuskan bantuan ekonomi, termasuk special assistance loan," kata pejabat di Tokyo tadi. Agaknya, mereka memang masih harus menunggu Laporan Bank Dunia dan sidang IGGI Juni mendatang. Max Wangkar, Bambang Aji (Jakarta), Seiichi Okawa (Jepang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini