ADA sebuah benda langka yang kini ramai dicari di Indonesia.
"Benda" itu adalah manajer. Dengan menengok sekilas gerak dunia
bisnis di Jakarta akhir-akhir ini, orang bisa menyimpulkan:
perebutan manajer siap pakai memang sedang terjadi dengan hebat.
PT Bank Niaga, misalnya, Maret silam kehilangan seorang manajer
umum dan seorang kepala cabang. Keduanya pindah ke Bank Dagang
Negara Indonesia (BDNI). Dir-Ut Bank Niaga, Idham, menerimanya
dengan sikap apa-boleh-buat. "Apa boleh buat: jika ada manajer
yang mau pindah kerja ke bank lain relakan saja," katanya.
Menurut Idham, kepergian dua manajer itu cukup membuatnya repot.
Tapi segera ia memperoleh hikmahnya juga perbaikan sistem.
"Sesudah sistem (promosi dan pendidikan) kami rapi, siapa pun
yang pindah pasti bisa digantikan dengan yang lain," katanya.
PT Unilever juga pernah mengalami peristiwa serupa. Perpindahan
tenaga pengelola dari perusahaan multinasional penghasil
berbagai kebutuhan rumah tangga itu berkisar 1% dari sekitar 400
manajer tiap tahunnya. Dan seperti Idham dari Bank Niaga, Ir.
Yamani Hasan, Ketua Dewan Direksi PT Unilever Indonesia,
menganggap perpindahan itu suatu kemungkinan yang harus diterima
kini -- selama persediaan manajer di pasar masih kurang.
Apalagi, "Pada tingkat sekarang (1%), perpindahan tenaga manajer
dari Unilever ke perusahaan lain belum mengkhawatirkan," katanya
kepada wartawan TEMPO Marah Sakti.
Tapi Tanri Abeng, Presiden Direktur PT Multi Bintang, agak
sempoyongan juga ketika manajer pemasarannya yang dididiknya
selama dua tahun mendadak direbut sebuah perusahaan farmasi.
Hanya ada hiburannya: "Saya rela karena yang membajak perusahaan
nasional," katanya. Ironisnya Abeng sendiri adalah manajer yang
direbut dari PT Union Carbide Indonesia. Dia ketika itu lebih
suka menerima tawaran Korn and Ferry International (pencari
tenaga eksekutif) untuk mengisi kursi presiden direktur di PT
Multi Bintang.
Abeng (1979) keluar dari Union Carbide -- ketika itu sebagai
asisten manajer umum karena menganggap sistem promosi di
perusahaan itu tidak konsisten berjalan. Sementara dia, yang
tidak suka karirnya kepentok, ingin menduduki jabatan yang punya
tanggung jawab menyeluruh -- menjadi manajer umum (lihat box).
Jalan satu-satunya, tentu saja, keluar. Dengan pertimbangan
seperti itu pula, Tigran T. Adhiwiyogo, ketika itu (1974)
manajer pemasaran IBM Indonesia mau menerima tawaran Astra
International Inc. "Saya ingin punya tanggung jawab lebih besar,
dan bisa berperan lebih banyak dalam pengambilan keputusan,"
katanya.
Keinginan seperti itu, tentu sulit diperolehnya di perusahaan
transnasional semacam IBM. "Soal harga (komputer dan mesin tulis
perlengkapan kantor), serta strategi pemasaran IBM, semuanya
ditentukan dari pusat," katanya. "Kami di sini sebagai pelaksana
tinggal memakannya saja." Merasa tidak suka jadi boneka, Tigran
akhirnya mau menerima jabatan sebagai wakil direktur utama PT
Astra Graphia.
Yang cukup risau karena banyak kehilangan manajer terlatih
tampaknya memang Union Carbide, penghasil batu baterai Eveready.
"Namun yang akan keluar kami wawancarai dulu (exit interview)
sebagai bahan introspeksi buat kami," kata Sugiarta
Gandasaputra, Direktur Union Carbide.
Kasus perpindahan manajer dengan motivasi semacam Abeng dan
Tigran itu belakangan ini cukup menonjol. Belajar dari
serangkaian pengalaman pahit yang menimpanya, Union Carbide kini
berusaha menyusun suatu program promosi, training, dan alih
posisi tempat kerja dengan jelas. "Promosi dari dalam ini
penting. Karena sistem itu mampu memberi gairah dan motivasi
buat orang-orang yang memenuhi syarat," kata Sugiarta
Gandasaputra.
Jauh sebelum menduduki jabatannya yang kini, Sugiarta pernah
memegang tanggung jawab di berbagai bidang, antara lain di
pabrik dan pemasaran. Menurut dia, pengalaman seperti itu
penting sebagai bekal kelak untuk memahami setiap situasi yang
bakal dihadapi. "Seorang yang berhasil di Union Carbide
Indonesia, misalnya, kemudian dicoba di Singapura. Jika yang
bersangkutan tetap berfungsi baik di lingkungan yang baru, itu
berarti dia capable," katanya.
Sedang Idham, Dir-Ut Bank Niaga, lebih suka memberikan otoritas
kerja lebih mantap untuk membuat betah paramanajernya. Di situ
setiap manajer diberi wewenang mengambil keputusan penuh
terhadap suatu persoalan yang jadi tanggung jawab. Dalam
menyetujui kredit untuk nasabah, misalnya, seorang manajer bisa
langsung mengambil keputusan tanpa menunggu lampu hijau dari
Idham. "Di sini tak ada cerita: seorang manajer yang mengurus
kredit menjawab harus menunggu keputusan direksi," kata Idham.
"Dalam melayani kepentingan nasabah hanya ada dua jawaban dari
manajer saya: beri atau tidak."
Di Multi Bintang, Tanri Abeng berusaha membuat betah manajer
dengan menyusun tangga gaji yang baik buat mereka. Dia
menganggap unsur penting bagi manajer adalah gaji. Karena itu
dia tak menginginkan punya gaji jauh menyolok di atas para
manjer bawahannya. Menurut dia, seorang manajer yang agresif
selalu berusaha melihat kesempatan untuk mencapai jenjang yang
lebih tinggi lagi. "Kalau saya tidak bisa menampung
keinginannya, manajer jenis ini akan cepat keluar," katanya.
Supaya bisnis perusahaan tetap tumbuh, demikian Abeng,
diversifikasi usaha harus dilakukan. Dengan cara itu pula,
keinginan manajer yang agresif -- yang menginginkan punya
tanggung jawab menyeluruh -- bisa ditampung.
Untuk membuat manajer betah, PT Astra International Inc. akan
membangun departemen recruiting, placementand promotion. Di
tempat inilah para manajer terbaik, dinilai, dan dididik --
untuk selanjutnya dikirim ke anak perusahaan Astra yang
membutuhkan. Tempat latihan dan persemaian dilakukan di induk
perusahaan: Astra International. "Kami ingin meniru Exxon
(perusahaan minyak terbesar di AS) dalam melihat dan mengawasi
para manajernya," kata Ir. T.P. Rachmat, Wakil Presiden Direktur
Astra.
Astra, yang terutama bergerak di bidang industri automotive,
juga berusaha merangsang agar setiap manajer turut berperanan
dalam proses pengambilan keputusan. Total Quality Control (TQC)
adalah gaya manajemen Jepang yang sedang diterapkan di Astra.
Dengan model manajemen itu, inisiatif dan kesempatan ditumbuhkan
dari karyawan paling bawah sekalipun. "Suksesnya suatu
perusahaan tidak tergantung pada satu orang saja, melainkan
merupakan kerjasama setiap individu," kata Presiden Direktur
Astra Ir. B.A. Suriadjaya. "Ibarat mesin, sekalipun sekerup
tetap mempunyai fungsi."Dengan membangkitkan motivasi semacarm
itu, dan menyusun career planning, perusahaan tersebut berusaha
membuat karyawan dan manajernya betah bekerja.
Rasa betah itu perlu juga untuk keperluan lain. Sering pindah
kerja, buat seorang manajer pada akhirnya juga tidak baik.
Menurut seorang ahli manajemen dari Lembaga Pendidikan dan
Pembinaan Manajemen, Winoto Doeriat, manajer yang suka pindah
kerja di Indonesia ini justru akan dicurigai dan dianggap tidak
loyal. Karena itu, katanya, pindah dari satu perusahaan ke
perusahaan lain --apalagi dengan tawaran gaji tinggi -- pada
dasarnya tidak sehat. "Hal itu justru akan merusak lingkungan
kerja yang baru," katanya.
Agaknya hal itu termasuk "kepribadian" Indonesia. Sebab di AS
hal itu justru merupakan kebanggaan. Semakin sering seorang
manajer pindah kerja, semakin mahal harganya. Di AS itu terdapat
sejumlah sekolah bisnis (di antaranya Harvard, Stanford,
Wharton, Columbia, dan Chicago) yang menghasilkan tenaga manajer
menengah dan puncak (menyandang gelar MBA) yang umumnya menuntut
gaji tinggi. Pada tahun 1980, seorang mahasiswa lulusan Harvard
Business School bisa memperoleh standar gaji US$ 59 ribu (hampir
Rp 39 juta) setahun di awal masa kerja. Berarti lebih dari Rp 3
juta sebulan.
Dan agaknya merupakan adat Amerika dia tidak terdengar "laris"
bila tetap di perusahaan awal. Karenanya, tidak heran jika
seorang lulusan sekolah bisnis bisa pindah kerja dua kali selama
setahun. Loyalitas terhadap perusahaan? Sudah umum diketahui
bahwa itu cuma terdapat pada para manajer Jepang.
Di Jepang, para manajer justru berusaha mengembangkan sikap
loyal, dan punya ikatan kuat (shaen) dengan perusahaan. Berbeda
dengan gaya manajemen AS, berbagai perusahaan di Jepang lebih
menghargai senioritas (senpai) para manajernya.
Indonesia nampaknya masih mencoba mencari mana yang lebih cocok:
gaya Amerika atau Jepang. Buktinya: meskipun manajer yang suka
pindah kerja dicurigai, tapi perpindahan toh terjadi terus.
Sebabnya tentu saja antara lain: kelangkaan.
Tapi manajer bidang apa yang sesungguhnya paling dicari
perusahaan Indonesia? Astra International, kata Rachmat, sulit
mencari manajer keuangan di pasar. Karena Indonesia tak mengenal
teknologi automotive sebelumnya, manajer manufacturing juga
sulit diperoleh. Jika manajer keuangan sulit diperoleh, Astra
kadang terpaksa menempuh cara tidak populer merebut. Pendeknya
jika sudah terdesak "ada buah yang setengah matang pun kalau
sudah lapar, kami makan juga," kata Rachmat.
Bob Hasan, pengusaha terkemuka di bidang pengusahaan hutan dan
industri kayu lapis (Presiden Komisaris PT George Pacific dan
Kalimanis Plywood Industries), juga merasa sulit mencari manajer
keuangan. Ketimbang repot-repot mendidik, katanya, dia lebih
cenderung mengambil tenaga terdidik dari perbankan. Ini
nampaknya disepakati secara luas. Sumber utama terbaik untuk
manajer keuangan, demikian Rachmat, dari Citibank. Menurut
pengalaman Astra, IBM juga merupakan pensuplai utama manajer
terbaik. "Kalau ambil tenaga eks IBM kansnya 90% bakal jadi,"
ujar Rilchmat pula.
Kekurangan tenaga manajer terdidik sesungguhnya tidak hanya
terjadi pada bidang keuangan dan manufacturing. Menurut
perkiraan LPPM, setiap tahun berbagai perusahaan di Indonesia
membutuhkan sedikitnya 62 ribu manajer baru untuk berbagai
lapisan, termasuk supervisor (lapisan paling bawah). Suatu riset
yang diselenggarakan LPPM tahun lalu, menunjukkan bahwa
kebutuhan manajer suatu perusahaan akan meningkat dua kali lipat
dalam tempo lima tahun.
Drs. Kwik Kian Gie, Direktur Pengelola Management Development
Centre (MDC), Yayasan Prasetiya Mulya (Jakarta), juga
mengemukakan anggapan serupa. "Yang paling mendesak adalah
memenuhi kebutuhan akan tenaga manajer puncak," katanya.
Kelangkaan akan suplai manajer puncak itulah yang mendorong YPM,
yang mendirikan sejumlah pengusaha kakap seperti William
Soeryadjaya (Astra) dan Hendra Rahardja (Grup Harapan),
menyelenggarakan MDC. Dengan program pendidikan modul selama 18
bulan (dimulai September depan), lembaga ini kelak menghasilkan
lulusan (calon manajer puncak) dengan gelar MBA (Master of
Business Administration).
Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM, Jakarta) juga
menyelenggarakan pendidikan untuk para manajer. Ada sejumlah
lokakarya yang diselenggarakan dalam jangka pendek, untuk
manajer yang sudah bekerja. Selain itu juga ada program
Wijawiyata Manajemen (Management Trainee, MT), 10 bulan, yang
diikuti lulusan perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu.
Hari-hari ini, misalnya, di lantai tiga gedung LPPM sedang
digembleng peserta program MT angkatan kedelapan (19 orang) yang
rata-rata berusia di bawah 25 tahun.
"Pendidikan Wijawiyata Manajemen (MT)bukan membuat orang siap
pakai jadi manajer. Melainkan mendidik mereka agar pada saatnya
nanti bisa menjadi manajer," kata A. Winoto Doeriat, Direktur
Pendidikan dan Pembinaan Manajemen LPPM. Mengapa "Sebab yang
kami didik adalah yang baru saja lulus dari universitas," tambah
Winoto.
LPPM baru satu-satunya di Indonesia yang mendidik calon manajer
dari nol. Dan dengan cara itu, LPPM berusaha mensuplai calon
manajer terdidik dan profesional. Sejak tahun 1977 sampai tahun
lalu, sudah 128 orang, 97 di antaranya berlatar belakang
pendidikan eksakta, lulus dari program MT. Hasilnya: laris bukan
main. Sebanyak 35 perusahaan yang mensponsori peserta telah
memanfaatkan lulusan program itu. Bahkan, "Belum jadi (lulus)
saja mereka sudah dipesan," kata Winoto kepada wartawan TEMPO
Saur Hutabarat.
Kendati LPPM sudah berusaha mensuplai calon manajer terdidik,
kebutuhan berbagai perusahaan akan tenaga itu tetap belum
terpenuhi. Dengan kata lain, persediaan terbatas, tapi
permintaan tetap meningkat. Celakanya lagi, menurut Winoto,
mencari manajer bermutu sulit dilakukan di pasar bebas.
"Kelangkaan terjadi karena yang siap pakai umumnya sudah
terpakai," katanya. "Dan banyak perusahaan ternyata justru lebih
suka mencari tenaga yang siap pakai."
Bagaimana dengan tenaga (calon manajer) dari perguruan tinggi?
Tanri Abeng, Presdir Multi Bintang menganggap para sarjana pada
umumnya terlalu generalize. "Mereka tidak tahu mau jadi apa.
Spesialisasi mereka tidak terarah," ujarnya. "Lulusan
universitas itu ternyata tidak siap pakai," tambah Kwik Kian
Gie. Hal itu disebabkan, dosen yang berpenghasilan rendah, tidak
sepenuhnya mencurahkan perhatian buat kepentingan mahasiswa.
Dosen yang sama sekali tak punya pengalaman praktek bisnis itu
pun, katanya, lebih suka cari kerja tambahan.
Dunia usaha, tentu saja, tak bisa menunggu perguruan tinggi
mensuplai calon manajer yang bermutu. Kebutuhan akan manajer
terdidik mulai terasa sejak pemerintah di awal tahun 1970-an
membuka pintu bagi Penanaman Modal Asing (PMA). Banyak
perusahaan asing yang sulit mencari manajer, memboyong serta
sejumlah manajernya ketika mulai beroperasi di Indonesia.
Menurut M. Djoeana Koesoemahardja, Managing Partner SGV-Utomo,
perusahaan jasa pencari tenaga eksekutif, perusahaan asing pada
umumnya mengajukan syarat tinggi untuk memperoleh manajer.
Padahal kondisi waktu itu, katanya, tidak ada satu pun perguruan
tinggi yang menghasilkan lulusan siap pakai. "Kami selalu
menekankan kepada partner agar bersedia membimbing mereka
untuk mencapai syarat yang diminta," ujarnya. "Jadi dengan on
the job training terbukti berhasil baik," SGV-Utomo setahun
rata-rata menyalurkan sekitar 60, (calon) manajer ke berbagai
perusahaan.
Dalam situasi seperti itulah, berbagai perusahaan kemudian
berusaha memperoleh manajer dari dalam dengan menyelenggarakan
pendidikan sendiri dalam (in house training), atau mengirimkan
karyawannya ke lembaga pendidikan manajemen. Unilever, misalnya,
sering meminta LPPM dan Lembaga Manajemen, Fak. Ekonomi UI,
untuk melatih (calon) manajernya. Bahkan sejak tiga tahun lalu,
perusahaan itu sudah menjadi sponsor kursus manajemen program
pasca sarjana di LPPM.
Peserta program itu biasanya dipilih dari calon yang punya angka
terbaik. Kendati dibiayai Unilever, misalnya, perusahaan itu
tidak berusaha mengikat calon untuk bekerja di situ. Tapi jika
calon yang sudah lulus dari program LPPM itu mau bekerja di
Unilever, dia diwajibkan mengikuti masa percobaan setahun --
sesudah itu diangkat sebagai asisten manajer. "Paling lama dalam
tempo tiga tahun jika yang bersangkutan mampu, sudah bisa
diangkat sebagai manajer penuh," kata Ketua Dewan Direksi
Unilever, Yamani Hasan.
Juga dalam usaha memperoleh tenaga manajer, Bank Niaga sejak
tahun 1973 menyelenggarakan kerjasama dengan Citibank. Berkat
bantuan bank asing itu (kendati hanya berlangsung dua tahun),
Bank Niaga mengenal sistem manajemen Amerika yang dianutnya
kini. Bank devisa itu kadang juga mengambil tenaga segar lulusan
perguruan tinggi, yang kemudian dididiknya 10 bulan. Sesudah
itu baru bisa diangkat sebagai manajer junior. "Salah satu
ukuran keberhasilan, adalah seberapa jauh yang bersangkutan
mampu mendidik bawahannya," ungkap Idham, Dir-Ut Bank Niaga.
Setiap tahun, kata Idham, Bank Niaa mengevaluasi hasil kerja
para manajer. Setiap tahun seorang manajer diwajibkan
menyerahkan rencana kerja tahunan. Menurut dia, manajer yang
benar-benar trampil bisa dilihat sesudah dua tahun bekerja.
Sadar akan pentingnya manajer, PT Berca Indonesia (agen dari
sejumlah produk elektronik dan alat-alat berat) yang punya
divisi sumber daya manusia, secara khusus menyediakan anggaran
besar untuk program pendidikan. Tapi untuk memperoleh manajer
senior, perusahaan ini lebih suka mencetaknya sendiri.
Hakikatnya memang, menurut Bob Hasan setiap orang (meskipun
hanya berpendidikan SMA) bisa jadi manajer. "Itu Poeng Poerwadi
(Wakil Presiden Direktur George Pacific) latar belakang
pendidikannya Sekolah Guru Olahraga. Tapi karena setiap hari
menghadapi soal perkayuan, akhirnya dia bisa juga mengelola
perusahaan itu," katanya. Poeng yang tak pernah mengenyam
pendidikan manajemen masuk GP 13 tahun lalu -- sebagai clerk.
Bermanfaatkah program pendidikan manajer itu? "Saya kini lebih
jernih dalam menganalisa suatu persoalan," kata bekas peserta
program Minaut LPPM. Dulu, katanya, sebelum mengikuti program
itu dia merasa sulit dalam mengambil suatu keputusan. Kini
sesudah tahu hal-hal apa yang harus diprioritaskan semuanya
kelihatan jernih. "Untuk membeli rumah pun kini bisa diputuskan
dengan gampang," katanya berseloroh.
Pendapat serupa juga dikemukakan Ir. Dwiyana D. Sutardja, 26
tahun, yang kini pejabat kepala bagian umum di sebuah perusahaan
penerbitan terkemuka. Disebut Dedy sehari-hari, dia lulusan
program Wijawiyata Manajemen 1981. Dedy kini merasa lebih
sistematis dalam cara berpikir. Di perusahaannya itu, dia
berusaha menerapkan metode pengambilan keputusan yang
dipelajarinya dalam pengadaan alat-alat tulis dan percetakan.
Dengan cara itulah Dedy memutuskan berapa jumlah pembelian suatu
barang, dan juga persediaan yang diperlukan. "Hingga tidak
terjadi over stock atau under stock," katanya. Dia ditransfer
perusahaan penerbitan itu yang "membeli" dari LPPM dengan nilai
sekitar Rp 4 juta.
Kendati pendidikan MT di LPPM sudah baik, T.P. Rachmat, Wakil
Presdir Astra mengkritik sikap sejumlah lulusannya. "Mereka
menyangka kalau sudah dilatih di LPPM jabatannya harus tinggi.
Karena dengan bekal pendidikan yang diterima, mereka menganggap
sudah qualified menduduki jabatan tertentu," katanya. "Mereka
lupa bahwa bekal menjadi seorang manajer bukan cuma kepandaian,
tapi juga kerjasama."
Pada akhirnya memang, demikian Winoto, Direktur LPPM, yang
diperlukan dari seorang manajer bukanlah kepandaiannya. "Tapi
bagaimana integritasnya. Makin tinggi tingkatnya makin penting
sifat-sifat pribadinya," katanya. "Manajer yang dicita-citakan
LPPM adalah manajer yang punya sifat jujur, loyal, menghargai
waktu, serta mementingkan kepentingan bersama ketimbang
kepentingan individu."
Mudah-mudahan sifat ini ada pada para manajer perusahaan anda --
sebelum direbut orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini