Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencari manajer indonesia

Liku-liku dunia manager & perusahaan yang saling membajak seorang manager, akibat kebutuhan akan manager yang terasa mendesak. profil 2 orang manajer indonesia. pendidikan manajemen yang terbatas. (eb)

7 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA sebuah benda langka yang kini ramai dicari di Indonesia. "Benda" itu adalah manajer. Dengan menengok sekilas gerak dunia bisnis di Jakarta akhir-akhir ini, orang bisa menyimpulkan: perebutan manajer siap pakai memang sedang terjadi dengan hebat. PT Bank Niaga, misalnya, Maret silam kehilangan seorang manajer umum dan seorang kepala cabang. Keduanya pindah ke Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Dir-Ut Bank Niaga, Idham, menerimanya dengan sikap apa-boleh-buat. "Apa boleh buat: jika ada manajer yang mau pindah kerja ke bank lain relakan saja," katanya. Menurut Idham, kepergian dua manajer itu cukup membuatnya repot. Tapi segera ia memperoleh hikmahnya juga perbaikan sistem. "Sesudah sistem (promosi dan pendidikan) kami rapi, siapa pun yang pindah pasti bisa digantikan dengan yang lain," katanya. PT Unilever juga pernah mengalami peristiwa serupa. Perpindahan tenaga pengelola dari perusahaan multinasional penghasil berbagai kebutuhan rumah tangga itu berkisar 1% dari sekitar 400 manajer tiap tahunnya. Dan seperti Idham dari Bank Niaga, Ir. Yamani Hasan, Ketua Dewan Direksi PT Unilever Indonesia, menganggap perpindahan itu suatu kemungkinan yang harus diterima kini -- selama persediaan manajer di pasar masih kurang. Apalagi, "Pada tingkat sekarang (1%), perpindahan tenaga manajer dari Unilever ke perusahaan lain belum mengkhawatirkan," katanya kepada wartawan TEMPO Marah Sakti. Tapi Tanri Abeng, Presiden Direktur PT Multi Bintang, agak sempoyongan juga ketika manajer pemasarannya yang dididiknya selama dua tahun mendadak direbut sebuah perusahaan farmasi. Hanya ada hiburannya: "Saya rela karena yang membajak perusahaan nasional," katanya. Ironisnya Abeng sendiri adalah manajer yang direbut dari PT Union Carbide Indonesia. Dia ketika itu lebih suka menerima tawaran Korn and Ferry International (pencari tenaga eksekutif) untuk mengisi kursi presiden direktur di PT Multi Bintang. Abeng (1979) keluar dari Union Carbide -- ketika itu sebagai asisten manajer umum karena menganggap sistem promosi di perusahaan itu tidak konsisten berjalan. Sementara dia, yang tidak suka karirnya kepentok, ingin menduduki jabatan yang punya tanggung jawab menyeluruh -- menjadi manajer umum (lihat box). Jalan satu-satunya, tentu saja, keluar. Dengan pertimbangan seperti itu pula, Tigran T. Adhiwiyogo, ketika itu (1974) manajer pemasaran IBM Indonesia mau menerima tawaran Astra International Inc. "Saya ingin punya tanggung jawab lebih besar, dan bisa berperan lebih banyak dalam pengambilan keputusan," katanya. Keinginan seperti itu, tentu sulit diperolehnya di perusahaan transnasional semacam IBM. "Soal harga (komputer dan mesin tulis perlengkapan kantor), serta strategi pemasaran IBM, semuanya ditentukan dari pusat," katanya. "Kami di sini sebagai pelaksana tinggal memakannya saja." Merasa tidak suka jadi boneka, Tigran akhirnya mau menerima jabatan sebagai wakil direktur utama PT Astra Graphia. Yang cukup risau karena banyak kehilangan manajer terlatih tampaknya memang Union Carbide, penghasil batu baterai Eveready. "Namun yang akan keluar kami wawancarai dulu (exit interview) sebagai bahan introspeksi buat kami," kata Sugiarta Gandasaputra, Direktur Union Carbide. Kasus perpindahan manajer dengan motivasi semacam Abeng dan Tigran itu belakangan ini cukup menonjol. Belajar dari serangkaian pengalaman pahit yang menimpanya, Union Carbide kini berusaha menyusun suatu program promosi, training, dan alih posisi tempat kerja dengan jelas. "Promosi dari dalam ini penting. Karena sistem itu mampu memberi gairah dan motivasi buat orang-orang yang memenuhi syarat," kata Sugiarta Gandasaputra. Jauh sebelum menduduki jabatannya yang kini, Sugiarta pernah memegang tanggung jawab di berbagai bidang, antara lain di pabrik dan pemasaran. Menurut dia, pengalaman seperti itu penting sebagai bekal kelak untuk memahami setiap situasi yang bakal dihadapi. "Seorang yang berhasil di Union Carbide Indonesia, misalnya, kemudian dicoba di Singapura. Jika yang bersangkutan tetap berfungsi baik di lingkungan yang baru, itu berarti dia capable," katanya. Sedang Idham, Dir-Ut Bank Niaga, lebih suka memberikan otoritas kerja lebih mantap untuk membuat betah paramanajernya. Di situ setiap manajer diberi wewenang mengambil keputusan penuh terhadap suatu persoalan yang jadi tanggung jawab. Dalam menyetujui kredit untuk nasabah, misalnya, seorang manajer bisa langsung mengambil keputusan tanpa menunggu lampu hijau dari Idham. "Di sini tak ada cerita: seorang manajer yang mengurus kredit menjawab harus menunggu keputusan direksi," kata Idham. "Dalam melayani kepentingan nasabah hanya ada dua jawaban dari manajer saya: beri atau tidak." Di Multi Bintang, Tanri Abeng berusaha membuat betah manajer dengan menyusun tangga gaji yang baik buat mereka. Dia menganggap unsur penting bagi manajer adalah gaji. Karena itu dia tak menginginkan punya gaji jauh menyolok di atas para manjer bawahannya. Menurut dia, seorang manajer yang agresif selalu berusaha melihat kesempatan untuk mencapai jenjang yang lebih tinggi lagi. "Kalau saya tidak bisa menampung keinginannya, manajer jenis ini akan cepat keluar," katanya. Supaya bisnis perusahaan tetap tumbuh, demikian Abeng, diversifikasi usaha harus dilakukan. Dengan cara itu pula, keinginan manajer yang agresif -- yang menginginkan punya tanggung jawab menyeluruh -- bisa ditampung. Untuk membuat manajer betah, PT Astra International Inc. akan membangun departemen recruiting, placementand promotion. Di tempat inilah para manajer terbaik, dinilai, dan dididik -- untuk selanjutnya dikirim ke anak perusahaan Astra yang membutuhkan. Tempat latihan dan persemaian dilakukan di induk perusahaan: Astra International. "Kami ingin meniru Exxon (perusahaan minyak terbesar di AS) dalam melihat dan mengawasi para manajernya," kata Ir. T.P. Rachmat, Wakil Presiden Direktur Astra. Astra, yang terutama bergerak di bidang industri automotive, juga berusaha merangsang agar setiap manajer turut berperanan dalam proses pengambilan keputusan. Total Quality Control (TQC) adalah gaya manajemen Jepang yang sedang diterapkan di Astra. Dengan model manajemen itu, inisiatif dan kesempatan ditumbuhkan dari karyawan paling bawah sekalipun. "Suksesnya suatu perusahaan tidak tergantung pada satu orang saja, melainkan merupakan kerjasama setiap individu," kata Presiden Direktur Astra Ir. B.A. Suriadjaya. "Ibarat mesin, sekalipun sekerup tetap mempunyai fungsi."Dengan membangkitkan motivasi semacarm itu, dan menyusun career planning, perusahaan tersebut berusaha membuat karyawan dan manajernya betah bekerja. Rasa betah itu perlu juga untuk keperluan lain. Sering pindah kerja, buat seorang manajer pada akhirnya juga tidak baik. Menurut seorang ahli manajemen dari Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, Winoto Doeriat, manajer yang suka pindah kerja di Indonesia ini justru akan dicurigai dan dianggap tidak loyal. Karena itu, katanya, pindah dari satu perusahaan ke perusahaan lain --apalagi dengan tawaran gaji tinggi -- pada dasarnya tidak sehat. "Hal itu justru akan merusak lingkungan kerja yang baru," katanya. Agaknya hal itu termasuk "kepribadian" Indonesia. Sebab di AS hal itu justru merupakan kebanggaan. Semakin sering seorang manajer pindah kerja, semakin mahal harganya. Di AS itu terdapat sejumlah sekolah bisnis (di antaranya Harvard, Stanford, Wharton, Columbia, dan Chicago) yang menghasilkan tenaga manajer menengah dan puncak (menyandang gelar MBA) yang umumnya menuntut gaji tinggi. Pada tahun 1980, seorang mahasiswa lulusan Harvard Business School bisa memperoleh standar gaji US$ 59 ribu (hampir Rp 39 juta) setahun di awal masa kerja. Berarti lebih dari Rp 3 juta sebulan. Dan agaknya merupakan adat Amerika dia tidak terdengar "laris" bila tetap di perusahaan awal. Karenanya, tidak heran jika seorang lulusan sekolah bisnis bisa pindah kerja dua kali selama setahun. Loyalitas terhadap perusahaan? Sudah umum diketahui bahwa itu cuma terdapat pada para manajer Jepang. Di Jepang, para manajer justru berusaha mengembangkan sikap loyal, dan punya ikatan kuat (shaen) dengan perusahaan. Berbeda dengan gaya manajemen AS, berbagai perusahaan di Jepang lebih menghargai senioritas (senpai) para manajernya. Indonesia nampaknya masih mencoba mencari mana yang lebih cocok: gaya Amerika atau Jepang. Buktinya: meskipun manajer yang suka pindah kerja dicurigai, tapi perpindahan toh terjadi terus. Sebabnya tentu saja antara lain: kelangkaan. Tapi manajer bidang apa yang sesungguhnya paling dicari perusahaan Indonesia? Astra International, kata Rachmat, sulit mencari manajer keuangan di pasar. Karena Indonesia tak mengenal teknologi automotive sebelumnya, manajer manufacturing juga sulit diperoleh. Jika manajer keuangan sulit diperoleh, Astra kadang terpaksa menempuh cara tidak populer merebut. Pendeknya jika sudah terdesak "ada buah yang setengah matang pun kalau sudah lapar, kami makan juga," kata Rachmat. Bob Hasan, pengusaha terkemuka di bidang pengusahaan hutan dan industri kayu lapis (Presiden Komisaris PT George Pacific dan Kalimanis Plywood Industries), juga merasa sulit mencari manajer keuangan. Ketimbang repot-repot mendidik, katanya, dia lebih cenderung mengambil tenaga terdidik dari perbankan. Ini nampaknya disepakati secara luas. Sumber utama terbaik untuk manajer keuangan, demikian Rachmat, dari Citibank. Menurut pengalaman Astra, IBM juga merupakan pensuplai utama manajer terbaik. "Kalau ambil tenaga eks IBM kansnya 90% bakal jadi," ujar Rilchmat pula. Kekurangan tenaga manajer terdidik sesungguhnya tidak hanya terjadi pada bidang keuangan dan manufacturing. Menurut perkiraan LPPM, setiap tahun berbagai perusahaan di Indonesia membutuhkan sedikitnya 62 ribu manajer baru untuk berbagai lapisan, termasuk supervisor (lapisan paling bawah). Suatu riset yang diselenggarakan LPPM tahun lalu, menunjukkan bahwa kebutuhan manajer suatu perusahaan akan meningkat dua kali lipat dalam tempo lima tahun. Drs. Kwik Kian Gie, Direktur Pengelola Management Development Centre (MDC), Yayasan Prasetiya Mulya (Jakarta), juga mengemukakan anggapan serupa. "Yang paling mendesak adalah memenuhi kebutuhan akan tenaga manajer puncak," katanya. Kelangkaan akan suplai manajer puncak itulah yang mendorong YPM, yang mendirikan sejumlah pengusaha kakap seperti William Soeryadjaya (Astra) dan Hendra Rahardja (Grup Harapan), menyelenggarakan MDC. Dengan program pendidikan modul selama 18 bulan (dimulai September depan), lembaga ini kelak menghasilkan lulusan (calon manajer puncak) dengan gelar MBA (Master of Business Administration). Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (LPPM, Jakarta) juga menyelenggarakan pendidikan untuk para manajer. Ada sejumlah lokakarya yang diselenggarakan dalam jangka pendek, untuk manajer yang sudah bekerja. Selain itu juga ada program Wijawiyata Manajemen (Management Trainee, MT), 10 bulan, yang diikuti lulusan perguruan tinggi dari berbagai disiplin ilmu. Hari-hari ini, misalnya, di lantai tiga gedung LPPM sedang digembleng peserta program MT angkatan kedelapan (19 orang) yang rata-rata berusia di bawah 25 tahun. "Pendidikan Wijawiyata Manajemen (MT)bukan membuat orang siap pakai jadi manajer. Melainkan mendidik mereka agar pada saatnya nanti bisa menjadi manajer," kata A. Winoto Doeriat, Direktur Pendidikan dan Pembinaan Manajemen LPPM. Mengapa "Sebab yang kami didik adalah yang baru saja lulus dari universitas," tambah Winoto. LPPM baru satu-satunya di Indonesia yang mendidik calon manajer dari nol. Dan dengan cara itu, LPPM berusaha mensuplai calon manajer terdidik dan profesional. Sejak tahun 1977 sampai tahun lalu, sudah 128 orang, 97 di antaranya berlatar belakang pendidikan eksakta, lulus dari program MT. Hasilnya: laris bukan main. Sebanyak 35 perusahaan yang mensponsori peserta telah memanfaatkan lulusan program itu. Bahkan, "Belum jadi (lulus) saja mereka sudah dipesan," kata Winoto kepada wartawan TEMPO Saur Hutabarat. Kendati LPPM sudah berusaha mensuplai calon manajer terdidik, kebutuhan berbagai perusahaan akan tenaga itu tetap belum terpenuhi. Dengan kata lain, persediaan terbatas, tapi permintaan tetap meningkat. Celakanya lagi, menurut Winoto, mencari manajer bermutu sulit dilakukan di pasar bebas. "Kelangkaan terjadi karena yang siap pakai umumnya sudah terpakai," katanya. "Dan banyak perusahaan ternyata justru lebih suka mencari tenaga yang siap pakai." Bagaimana dengan tenaga (calon manajer) dari perguruan tinggi? Tanri Abeng, Presdir Multi Bintang menganggap para sarjana pada umumnya terlalu generalize. "Mereka tidak tahu mau jadi apa. Spesialisasi mereka tidak terarah," ujarnya. "Lulusan universitas itu ternyata tidak siap pakai," tambah Kwik Kian Gie. Hal itu disebabkan, dosen yang berpenghasilan rendah, tidak sepenuhnya mencurahkan perhatian buat kepentingan mahasiswa. Dosen yang sama sekali tak punya pengalaman praktek bisnis itu pun, katanya, lebih suka cari kerja tambahan. Dunia usaha, tentu saja, tak bisa menunggu perguruan tinggi mensuplai calon manajer yang bermutu. Kebutuhan akan manajer terdidik mulai terasa sejak pemerintah di awal tahun 1970-an membuka pintu bagi Penanaman Modal Asing (PMA). Banyak perusahaan asing yang sulit mencari manajer, memboyong serta sejumlah manajernya ketika mulai beroperasi di Indonesia. Menurut M. Djoeana Koesoemahardja, Managing Partner SGV-Utomo, perusahaan jasa pencari tenaga eksekutif, perusahaan asing pada umumnya mengajukan syarat tinggi untuk memperoleh manajer. Padahal kondisi waktu itu, katanya, tidak ada satu pun perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan siap pakai. "Kami selalu menekankan kepada partner agar bersedia membimbing mereka untuk mencapai syarat yang diminta," ujarnya. "Jadi dengan on the job training terbukti berhasil baik," SGV-Utomo setahun rata-rata menyalurkan sekitar 60, (calon) manajer ke berbagai perusahaan. Dalam situasi seperti itulah, berbagai perusahaan kemudian berusaha memperoleh manajer dari dalam dengan menyelenggarakan pendidikan sendiri dalam (in house training), atau mengirimkan karyawannya ke lembaga pendidikan manajemen. Unilever, misalnya, sering meminta LPPM dan Lembaga Manajemen, Fak. Ekonomi UI, untuk melatih (calon) manajernya. Bahkan sejak tiga tahun lalu, perusahaan itu sudah menjadi sponsor kursus manajemen program pasca sarjana di LPPM. Peserta program itu biasanya dipilih dari calon yang punya angka terbaik. Kendati dibiayai Unilever, misalnya, perusahaan itu tidak berusaha mengikat calon untuk bekerja di situ. Tapi jika calon yang sudah lulus dari program LPPM itu mau bekerja di Unilever, dia diwajibkan mengikuti masa percobaan setahun -- sesudah itu diangkat sebagai asisten manajer. "Paling lama dalam tempo tiga tahun jika yang bersangkutan mampu, sudah bisa diangkat sebagai manajer penuh," kata Ketua Dewan Direksi Unilever, Yamani Hasan. Juga dalam usaha memperoleh tenaga manajer, Bank Niaga sejak tahun 1973 menyelenggarakan kerjasama dengan Citibank. Berkat bantuan bank asing itu (kendati hanya berlangsung dua tahun), Bank Niaga mengenal sistem manajemen Amerika yang dianutnya kini. Bank devisa itu kadang juga mengambil tenaga segar lulusan perguruan tinggi, yang kemudian dididiknya 10 bulan. Sesudah itu baru bisa diangkat sebagai manajer junior. "Salah satu ukuran keberhasilan, adalah seberapa jauh yang bersangkutan mampu mendidik bawahannya," ungkap Idham, Dir-Ut Bank Niaga. Setiap tahun, kata Idham, Bank Niaa mengevaluasi hasil kerja para manajer. Setiap tahun seorang manajer diwajibkan menyerahkan rencana kerja tahunan. Menurut dia, manajer yang benar-benar trampil bisa dilihat sesudah dua tahun bekerja. Sadar akan pentingnya manajer, PT Berca Indonesia (agen dari sejumlah produk elektronik dan alat-alat berat) yang punya divisi sumber daya manusia, secara khusus menyediakan anggaran besar untuk program pendidikan. Tapi untuk memperoleh manajer senior, perusahaan ini lebih suka mencetaknya sendiri. Hakikatnya memang, menurut Bob Hasan setiap orang (meskipun hanya berpendidikan SMA) bisa jadi manajer. "Itu Poeng Poerwadi (Wakil Presiden Direktur George Pacific) latar belakang pendidikannya Sekolah Guru Olahraga. Tapi karena setiap hari menghadapi soal perkayuan, akhirnya dia bisa juga mengelola perusahaan itu," katanya. Poeng yang tak pernah mengenyam pendidikan manajemen masuk GP 13 tahun lalu -- sebagai clerk. Bermanfaatkah program pendidikan manajer itu? "Saya kini lebih jernih dalam menganalisa suatu persoalan," kata bekas peserta program Minaut LPPM. Dulu, katanya, sebelum mengikuti program itu dia merasa sulit dalam mengambil suatu keputusan. Kini sesudah tahu hal-hal apa yang harus diprioritaskan semuanya kelihatan jernih. "Untuk membeli rumah pun kini bisa diputuskan dengan gampang," katanya berseloroh. Pendapat serupa juga dikemukakan Ir. Dwiyana D. Sutardja, 26 tahun, yang kini pejabat kepala bagian umum di sebuah perusahaan penerbitan terkemuka. Disebut Dedy sehari-hari, dia lulusan program Wijawiyata Manajemen 1981. Dedy kini merasa lebih sistematis dalam cara berpikir. Di perusahaannya itu, dia berusaha menerapkan metode pengambilan keputusan yang dipelajarinya dalam pengadaan alat-alat tulis dan percetakan. Dengan cara itulah Dedy memutuskan berapa jumlah pembelian suatu barang, dan juga persediaan yang diperlukan. "Hingga tidak terjadi over stock atau under stock," katanya. Dia ditransfer perusahaan penerbitan itu yang "membeli" dari LPPM dengan nilai sekitar Rp 4 juta. Kendati pendidikan MT di LPPM sudah baik, T.P. Rachmat, Wakil Presdir Astra mengkritik sikap sejumlah lulusannya. "Mereka menyangka kalau sudah dilatih di LPPM jabatannya harus tinggi. Karena dengan bekal pendidikan yang diterima, mereka menganggap sudah qualified menduduki jabatan tertentu," katanya. "Mereka lupa bahwa bekal menjadi seorang manajer bukan cuma kepandaian, tapi juga kerjasama." Pada akhirnya memang, demikian Winoto, Direktur LPPM, yang diperlukan dari seorang manajer bukanlah kepandaiannya. "Tapi bagaimana integritasnya. Makin tinggi tingkatnya makin penting sifat-sifat pribadinya," katanya. "Manajer yang dicita-citakan LPPM adalah manajer yang punya sifat jujur, loyal, menghargai waktu, serta mementingkan kepentingan bersama ketimbang kepentingan individu." Mudah-mudahan sifat ini ada pada para manajer perusahaan anda -- sebelum direbut orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus