Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berdisiplin Menjaga Pasar Obligasi

Pemerintah merancang defisit anggaran 2022 sebesar 4,85 persen terhadap produk domestik bruto. Langkah penting membatasi utang baru untuk menghindari risiko merosotnya harga surat utang negara.

21 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Apa saja isi RAPBN 2022

  • Bagaimana defisit 2022 dipertahankan?

  • Akankah pengelolaan anggaran menyelamatkan ekonomi Indonesia?

INVESTOR obligasi pemerintah RI boleh lega melihat rancangan anggaran negara 2022. Ada sinyal bahwa pemerintah tetap memegang disiplin fiskal dan taat aturan. Pemerintah akan menurunkan rasio defisit anggaran terhadap produk domestik bruto (PDB) menjadi di bawah 3 persen pada 2023. Itu perintah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang mengatur kebijakan keuangan negara untuk penanganan wabah Covid-19.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi pemerintah, menjaga disiplin fiskal di masa wabah bukanlah perkara mudah. Pengeluaran melonjak, sementara penerimaan merosot karena ekonomi melesu. Itu sebabnya dalam dua tahun terakhir, 2020-2021, utang pemerintah menggelembung, bertambah sekitar Rp 1.000 triliun setiap tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kendati kebutuhan pada tahun-tahun mendatang masih mendesak, pemerintah tak mungkin terus menambah utang dalam jumlah besar. Selain terganjal batas undang-undang, ada risiko pasar yang amat serius. Tambahan utang berarti tambahan pasokan obligasi pemerintah di pasar. Pasokan baru yang melimpah akan menurunkan harga obligasi. Investor yang berinvestasi dalam obligasi pemerintah bisa celaka jika harga obligasi turun drastis.

Pemerintah tak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Ada satu hal penting yang harus menjadi pertimbangan. Struktur pasar obligasi di dalam negeri sudah berubah semenjak pandemi terjadi. Profil investor yang menanamkan dana dalam obligasi pemerintah bergeser cukup signifikan. Dana investor asing menurun ketimbang sebelum pandemi, dari Rp 1.065 triliun per Februari 2020 menjadi Rp 974 triliun. Sebaliknya, dana milik lembaga-lembaga keuangan dalam negeri, terutama perbankan, melonjak tajam.

Kini, per 18 Agustus 2021, ada Rp 1.562 triliun dana perbankan yang mengeram dalam obligasi pemerintah, naik dua kali lipat dari posisi sebelum pandemi yang sebesar Rp 767 triliun. Sedangkan dana milik reksa dana, asuransi, maupun dana pensiun kini mencapai Rp 768 triliun. Sebelum pandemi, posisinya Rp 609 triliun.

Jika harga obligasi pemerintah merosot, perbankan dalam negeri akan menjadi korban pertama. Jatuhnya harga obligasi dapat membuat nilai aset bank ikut merosot ketika bank harus menyesuaikan nilai investasi portofolionya dengan harga pasar. Perbankan yang sudah menanggung beban berat, karena melambungnya kredit bermasalah akibat pandemi (lihat kolom ini pekan lalu), bisa sempoyongan jika tertimpa masalah lagi. Bayangkan pula jika nilai aset dana-dana pensiun atau industri asuransi mendadak juga merosot.

Maka niat pemerintah mengerem rasio defisit anggaran pada 2022 cukup melegakan pasar. Pemerintah mengusulkan target rasio defisit terhadap PDB sebesar 4,85 persen, menurun dari 5,7 persen proyeksi tahun ini. Untuk menutup defisit itu, pemerintah harus menjual obligasi baru senilai Rp 991,3 triliun selama 2022. Angka ini masih besar, turun sedikit dari Rp 992,8 triliun proyeksi tahun ini. Namun setidaknya pasar bisa menilai pemerintah sudah berada di jalur yang benar: mengurangi pasokan obligasi baru agar dapat mencapai rasio defisit di bawah 3 persen pada 2023.

Sekarang realisasi rencana ini bergantung pada hasil sidang di Dewan Perwakilan Rakyat. Tawar-menawar kepentingan akan menentukan bagaimana hasilnya nanti. Masalahnya, bukan cuma para politikus DPR yang menginginkan pemerintah tetap berbelanja besar-besaran meskipun harus berutang. Sebagian menteri, yang berlatar belakang partai politik, punya aspirasi sama.

Tarik-ulur politik dalam soal ini juga bisa melebar, lebih dari sekadar rincian belanja atau defisit anggaran. Hingga kini, wacana mengubah undang-undang yang membatasi defisit anggaran pemerintah masih beredar. Selain itu, masih ada rencana mengubah Undang-Undang Bank Indonesia sehingga bank sentral bisa lebih agresif membeli obligasi pemerintah. Kepentingan politik, yang menginginkan hilangnya kekang bagi pemerintah untuk berutang, masih kuat.

Pergulatan politik inilah yang akan menentukan nasib pasar obligasi. Negeri ini akan menghadapi risiko besar jika para politikus mengabaikan kepentingan investor, yang sudah membenamkan lebih dari Rp 4.000 triliun dalam obligasi pemerintah RI.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Kontributor Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus