HUMAS dan wartawan ternyata bisa saling kritik. Ini terjadi dalam acara dialog Pers dan Bako Humas (Badan Koordinasi Hubungan Masyarakat) Jawa Barat, Rabu pekan lalu, di aula Kanwil Deppen Jawa Barat di Bandung. Dialog yang diikuti 70 orang itu -- dari para Kepala Humas, Pengurus PWI Cabang Jawa Barat, Pimpinan Redaksi media massa sampai wartawan perwakilan media Ibu Kota di Bandung -- semula berjalan enteng. "Kami cuma saling bertanya, kesulitan apa yang ditemui masing-masing dalam melancarkan pemberitaan," kata Yayat Hendayana, 43, Ketua PWI Jawa Barat, kepada TEMPO. Itu sebabnya, dalam pertemuan itu Yayat menyampaikan "program penertiban wartawan" sebagai program kerja PWI Ja-Bar. Tapi suasana berubah hangat ketika Yayat mensinyalir, "Kehadiran wartawan sering kali dimanfaatkan humas untuk menambah pendapatan." Ia mengambil contoh, seorang bupati yang akan melakukan kunjungan kerja. "Humas mendaftarkan nama wartawan sebanyak-banyaknya, padahal yang ikut cuma sedikit," kata Yayat bernada menuduh. Tapi Yayat menolak menjelaskan bupati mana yang dimaksud. "Itu sekadar contoh saja," kilahnya. Gayung pun bersambut. Hurnas yang hadir tak kalah sengit balik menyerang kalangan pers. "Yang diundang lima orang, yang datang 20 orang, tentu kami kewalahan," kata A.M. Zuhud, Kepala Humas Kanwil Departemen Agama Jawa Karat. "Memang tak ada kewajiban memberi apa-apa tapi, namanya tamu, masa tak disuguhi," sambungnya berkelakar. Tapi H.S.A. Yusacc, Kepala Humas Pemda Provinsi Jawa Barat, yang tak sempat hadir dalam dialog itu, berpendapat, jumpa pers yang dihadiri banyak wartawan seharusnya dinilai sukses. Sebab, publikasi akan lebih luas. "Saya sendiri tak pernah membatasi jumlah wartawan dalam berbagai kegiatan. Diundang atau tidak, itu tugas wartawan untuk hadir," kata humas yang juga pimpinan redaksi koran Bandung Pos itu kepada TEMPO. Jumlah wartawan baru terpaksa perlu dibatasi bila kegiatan itu memerlukan dana transportasi. "Kalau yang datang terlalu banyak, kami sulit mengaturnya," katanya. Uang transpor itulah, agaknya, yang dimaksud "suguhan" oleh Zuhud. Dan, inilah yang jadi daya tarik sebagian wartawan untuk beramai-ramai mendatangi jumpa pers, walau tak diundang. Di sini biasanya muncul ekses. Seorang koresponden salah satu harian Ibu Kota yang bertugas di Bandung misalnya bercerita, pernah memergoki seorang oknum staf humas dititip dana untuk menyelenggarakan jumpa pers oleh boss-nya. Yang dilakukan ternyata cuma membuat press release yang dikirim ke berbagai media massa, dan dimuat. "Ke mana larinya dana itu, bisa ditebak," katanya. Tak semua wartawan, tentu, biasa menerima "uang amplop" itu. Karena Kode Etik Jurnalistik jelas melarang pemberian dalam bentuk apa pun sebagai imbalan langsung maupun tak langsung atas pemberitaan, wartawan jenis ini biasanya menolak amplop. Tapi pengembalian itu ternyata malah sering menimbulkan tawa kecut. Pernah terjadi seorang wartawan, yang mengembalikan amplop Rp 10 ribu dari staf humas sebuah instansi ke pimpinannya, dibuat merah-biru mukanya. "Dikasi Rp 50 ribu, kok yang kembali cuma Rp 10 ribu," kata kepala instansi itu. Penyunatan, begitu kalangan wartawan menyebutnya, memang sudah lazim dilakukan. Kadang ada orang humas yang malah nekat menyodorkan kuitansi kosong untuk diteken sang wartawan. Toh ada juga yang menyebut pemberian itu sebagai uang bensin, pengganti tiket pesawat, atau bekal untuk beli oleh-oleh bagi orang rumah. Di sinilah biasanya keteguhan hati sang jurnalis diuji. Ujian tak hanya berlaku untuk si jurnalis koran kecil. Yang besar, kadang, malah disodori sangu lebih tebal. Tahankah mereka menampik? Tidak semuanya. Tinta cetak boleh sama hitam, tapi menghadapi uang orang boleh tak sependapat. "Kami malah berterima kasih kepada humas yang memberi amplop, asal hal itu tak mempengaruhi pemberitaan," kata seorang wartawan di Bandung. Kurangkah gajinya? "Payah," tambahnya. Ayah empat anak ini mengaku, setiap berita yang dimuat di korannya cuma dihargai Rp 500, tanpa dipersoalkan apakah berita itu menarik atau tidak. Foto yang dimuat honornya Rp 250. Itu semua tanpa gaji basis. "Walhasil, pemilik koran itu tak lebih dari 'tengkulak berita'", katanya. Dari honor berita itu, dia mengaku rata-rata menerima Rp 30 ribu, sementara dari amplop bisa mencapai Rp 60 ribu sebulan. Krishna Harahap, pimpinan redaksi harian Mandala, menolak anggapan itu. "Wartawan amplop sebenarnya cerita lama. Sumbernya mental wartawan Juga, sebab ada koran besar nyatanya oknum wartawannya masih juga menerima amplop," katanya tanpa menyebutkan koran mana yang dimaksud. Tapi ia mengakui dari 38 orang wartawan yang dipimpinnya cuma 8 orang bergaji tetap. Itu pun staf redaksi. Krishna menilai sistem honor tanpa gaji basis malah bisa meningkatkan prestasi wartawan. "Banyak berita berarti tambah pendapatan," kata sarjana hukum alumnus Universitas Parahiyangan, Bandung, yang pernah menjadi Ketua Yayasan Kesejahteraan Wartawan RI (Yakeswari) PWI Jawa Barat itu. Koran yang dipimpinnya itu kini beroplah sekitar 15 ribu eksemplar tiap hari. Tak cuma wartawan tanpa gaji yang suka menerima imbalan dari humas. "Bagaimana kami bisa hidup hanya mengandalkan gaji Rp 45 ribu sebulan?" kata Suparta (bukan nama sebenarnya), 46 tahun, salah seorang wartawan koran daerah di Bandung. Menurut ayah enam anak yang jadi wartawan sejak usia 25 tahun itu, pendapatan dari sumber berita pun kini sepi-sepi saja. "Kalau humas kini menyelenggarakan jumpa pers, tarifnya pun cuma Rp 5 ribu sampai Rp 15 ribu saja kayak tak terpengaruh devaluasi," kelakarnya. Lepas dari siapa yang memancing lebih dulu, Jusacc minta agar dialog itu dijadikan sarana mawas diri, bak bagi humas maupun pers. "Ini juga peringatan bagi para penerbit yang kurang memperhatikan wartawannya," kata Jusacc. Paham, 'kan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini