Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengibarkan Bendera Delapan Goresan

50 th usia Toyota Motor Company. Kini usahanya tersebar seluruh dunia tahun depan Toyota City terwujud di AS dan Kanada. Di Indonesia PT. Astra sebagai wakilnya. kekayaannya kedua setelah grup BCA.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH puncak acara, 3 November, di Toyota City: ribuan orang mengangkat gelas sampanye masing-masing, lalu "banzai ... ", mangayu bagya keluarga besar Toyoda yang merayakan 50 tahun usia Toyota Motor Company (TMC). Itu semacam balasan atas hadiah yang sebelumnya ditebarkan keluarga Toyoda ke alamat anak perusahaan dan mitra dagang di berbagai penjuru dunia. Peristiwa itu memang luar biasa. Karena keluarga Toyoda, yang sekarang dipimpin Shoichiro Toyoda, selama ini sangat tertutup. Wartawan lokal sering menyisipkan kata "Otoboke", artinya "bisu" atau bisa juga "berlagak bego", di antara dua kata nama presiden TMC itu. Tokoh itu memang jarang ke luar kandang. Kontaknya dengan dunia luar hanya dianggap basa-basi. Misteri seperti dibangun di sekeliling tembok Toyota City. Pintu Toyota, boleh dibilang, hanya dibuka untuk karyawan dan keluarganya. Entah anak, entah cucunya. Di luar itu, boleh-boleh saja masuk, tapi jangan terlalu berharap bisa dapat promosi. Dan model pintu tertutup itu sangat diyakini keluarga Toyoda sebagai kunci sukses. Kekompakan bisa dipelihara, karena para karyawan senior tak hanya makin setia, tapi juga tidak akan mengeluh macam-macam. Kisah sukses Toyota diyakini orang Jepang lahir dari mistik. Kata toyota dalam huruf kanji terdiri dari 8 goresan. Angka yang diyakini oleh orang Jepang sebagai angka keberuntungan. Juga berasal dari kekompakan antara kejengkelan dan nafsu besar. Adalah Shotaro Kamiya, salah satu manajer kantor perwakilan General Motor di Tokyo, jengkel pada perusahaannya, karena dianggap tak mau tahu soal adat dan kondisi bisnis di Jepang. Omongannya tak pernah didengar oleh rekan-rekan Amerika-nya yang hanya menganut satu prinsip: "Agen harus mampu menyetor hasil penjualannya sesuai dengan jadwal, atau didrop." Lebih frustrasi, kantor pusat di Detroit menugasinya untuk mengirim semua informasi tentang Jepang. Mengingat, pada 1934, Jepang angkat kaki dari Liga Bangsa-Bangsa dan tak mengakui lagi Perjanjian Perlucutan Senjata Washington. Patriotisme tersentuh. "Konflik ini membuat saya berpikir untuk mengundurkan diri," demikian tulis Kamiya dalam otobigrafinya, yang berjudul My Life With Toyota. Nasib kemudian mempertemukannya dengan teman lamanya di Nagoya, Tojiro Okamoto, yang pernah menjadi manajer di Toyoda Spinning and Weaving Co., milik Sakichi Toyoda. Dari sini ia tahu bahwa anak sulung pengusaha elite itu, Kiichiro Toyoda, sedang kerja keras untuk mendirikan pabrik mobil. Sudah sejak 1921, Kiichiro mempelajari industri mobil, baik di Eropa maupun Amerika Serikat. Ditemukan kenyataan bahwa dia harus berhadapan dengan Ford dan GM yang mendominasi pasar industri otomotif di negerinya. Lalu Kiichiro, pada 1930, nekat minta ruangan khusus di salah satu pabrik mesin tenun otomatis ayahnya, Toyoda Automatic Loom Works (TALW). Di sana dia mengumpulkan sekelompok insinyur. Mereka kerja keras siang-malam. Sang ayah ternyata mendukung. Pada 1933, ia membuka departemen otomotif di pabriknya, untuk menampung kegiatan Kiichiro. Pertemuan antara Kiichiro dan Kamiya diatur Okamoto pada 1934. Blak-blakkan mereka berbicara: Kiichiro, dengan para insinyurnya, hanya mampu membuat mobil tapi nol besar dalam pemasaran. Kamiya tentu saja dapat mengisi kelemahan itu. Berapa bulan kemudian setelah menyaksikan sendiri beberapa model truk karya kelompok insinyur Kiichiro, tekad Kamiya bulat sudah. Oktober 1935, cikal bakal pabrik mobil Toyota ini memiliki manajer penjualan yang pertama, dan tangguh. Sebulan kemudian, sebuah truk model G-1 dipromosikan besar-besaran di Tokyo Automobile Hotel. Langkah yang sedikit nekat, mengingat Kamiya sendiri tahu, karya pertama itu masih rapuh. Langkah berikutnya adalah menerapkan jurus banting harga: per unit 2.900 yen atau 200 yen lebih murah dibanding truk buatan GM dan Chevrolet. Tentu saja rugi. Karena biaya produksi masih tinggi. Kamiya lalu mulai bergerilya. Agen-agen GM, yang kebetulan sudah lama memendam rasa jengkel, satu per satu digarap. Sebagian besar ternyata terbujuk dengan janji Kamiya: mereka akan mendapat bantuan modal, dan diperlakukan sebagai partner, bukan anak buah. Dewi Keberuntungan rupanya berpihak pada Toyoda dkk. Mei 1936, pemerintah mengumumkan undang-undang pembuatan kendaraan bermotor, yang, disamping memperpanjang jalur birokrasi, juga mengenakan tarif tinggi bagi mobil impor. Bisnis Ford dan GM kontan melorot. Sigap Kiichiro memanfaatkan peluang itu. Dua bulan sesudah perundangan itu keluar, Kiichiro mengadakan kontes desain logo, dan memilih nama paling tepat untuk sedan barunya yang bernama Toyoda AA. Yang terpilih adalah modifikasi Toyoda menjadi Toyota. Nama Toyota dianggap lebih jelas, mudah diingat, dan secara psikologi periklanan seni goresannya juga tampak lebih indah. Politik ekspansi, menjelang Perang Dunia II, membuat TALW menjadi industri yang penting. Pemerintah Jepang, September 1936, meminta industri "balita" itu memproduksi 3.000 unit mobil -- truk dan sedan -- per tahun untuk keperluan militer. Untuk itu Kiichiro membentuk perusahaan baru, Toyota Motor Company (TMC), yang diresmikan Agustus 1937. Presiden pertamanya adalah Risaburo Toyoda, paman Kiichiro, "Tapi semua keputusan final tetap d tangan Kiichiro," tulis Kamiya. Tahun itu juga TMC mulai membangun pabrik di Koromo, sekarang Toyota City, berkapasitas 1.500 unit per bulan. Untuk tahap pertama TMC harus menyisihkan 30 juta yen dari seluruh modalnya yang hanya 37 juta yen -- yang 25 juta yen itu pun pinjaman. Sejak itu TMC, yang kini lebih dikenal sebagai Toyota Group, terus menapak jauh di depan para saingan lokalnya. Menakjubkan. Bayangkan, sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, Toyota sudah menduduki peringkat ketiga produsen mobil dunia. Bahkan tahun lalu, dengan memproduksi 3,6 juta unit mobil semua jenis, perusahaan itu berhasil menarik 6,3 triyun yen dari langganannya. Atau 3% dari GNP Jepang. Untung ada yendaka, makin menguatnya yen terhadap dolar, yang memaksa TMC mengubah sikap: tak lagi melihat negara sedang berkembang hanya sebagai pasar, tapi juga sebagai produsen suku cadang dan bahan baku. Maksud sebenarnya, tentu untuk menekan biaya produksi. Ketergantungannya pada impor mulai tampak mencolok sejak 1984: impornya naik 13 milyar yen menjadi 47 milyar yen. Sedangkan tahun lalu tercatat 74 milyar yen. Padahal, sebelumnya, pertumbuhannya per tahun paling di seputar 6 milyar yen. Memang tak ada jalan lain. Karena saingan ketat membayanginya. Belum lagi untuk mengejar yang masih di depan, GM dan Ford, yang menguasai Amerika Serikat dan Kanada -- pasar kedua Toyota setelah Jepang sendiri. Dan mereka, yang merasa rezekinya digerogoti, sudah lama berkampanye untuk mengikis pasar mobil Jepang di situ. Masuk akal juga. Tahun lalu, ekspor mobil segala jenis Toyota ke sana mencapai lebih dari sejuta unit, atau naik 14,8% dari tahun sebelumnya. Sebagian besar berupa mobil penumpang. Ditambah penjualan di negara-negara lain, secara keseluruhan, hampir separuh omset Toyota berasal dari pasar ekspor. Apalagi Toyota terus memberi tanda akan membanjiri dunia dengan mobilnya. Seperti diucapkan Shoichiro Toyoda, dua pekan ilam, "Pasar dunia akan terus naik 2% sampai 3% per tahun." Sebuah ucapan yang meremehkan kekhawatiran para eksekutif puncak produsen mobil lainnya di Eropa dan Amerika. Kekhawatiran itu, tak lain, berpangkal pada kejenuhan pasar. Dan malah sudah melanda pimpinan puncak General Motor, Roger Smith, yang meramalkan bahwa pada 1990 kelebihan kapasitas produksi mobil di dunia akan mencapai 6,5 juta unit per tahun. Di Amerika sendiri akan tercatat 2,5 juta unit kapasitas pabrik yang menganggur. Tapi, seperti umumnya orang Jepang, Shoichiro tetap mengibarkan semangat samurainya. Dua proyek raksasanya, yang dianggap paling prestisius, tetap dijalankan. Yakni pembangunan dua pabrik mobil sekaligus di Kanada dan Amerika Serikat, yang peletakan batu pertamanya sudah dilakukan tahun lalu, dan harus selesai tahun depan. Masing-masing berkemampuan produksi 50 ribu dan 200 ribu unit per tahun. Siapa tak gentar? Karena lewat kedua pabrik barunya itu, Toyota jelas sudah berencana membangun Toyota City di sana, kota benteng berisi jaringan produksi tertangguh saat ini, yang belum dimiliki oleh saingan-saingannya di sana. Jadi, tak mengherankan kalau Toyota justru dianggap ancaman terberat bagi Ford. "Toyota adalah saingan kami nomor satu," ujar Peter Slater, ahli strategi dari Ford. Baginya, ancaman General Motor atau Honda jauh lebih ringan. Bukti rencana itu juga sudah ada. Nippondenso Co. sudah mendirikan bengkel perakitan tak jauh dari lokasi pabrik di Battle Creek, Michigan. Perusahaan itu tak hanya sebagai pemasok komponen elektronik Toyota, tapi juga sebagai anak perusahaan. "Awas," begitu peringatan Maryann Keller, seorang analis industri otomotif papan atas di Amerika. Dia yakin, kalau proyek prestisius itu terwujud, Toyota akan muncul sebagai produsen mobil dengan biaya produksi terendah. Tak hanya itu. Keller juga menduga, Toyota sedan mempersiapkan produk-produk baru berteknologi tinggi. Antara lain mobil four heel steering, yaitu yang keempat rodanya bisa digerakkan untuk belok, dan mesin turbo berkomputer. Kecanggihan Toyota tak hanya dalam bidang pemasaran dan teknologi. Keluarga Toyoda juga memperkukuh bisnisnya lewat diplomasi perkawinan. Adik laki Shoichiro, misalnya, kawin dengan keluarga Shimizu, pemilik dan pengelola perusahaan konstruksi terbesar di Jepang. Sedangkan anak perempuannya dikawinkan dengan seorang pejabat tinggi di kementerian keuangan. Masuknya Toyota ke Indonesia, dalam bentuk investasi, 1969, tentu bukan melalui diplomasi perkawinan. Toh, Toyota dapat menjadi tulang punggung grup Astra, yang kini menjadi perusahaan otomotif terbesar di sini dengan aset Rp 1,8 trilyun. Dari sini juga sudah mulai diekspor "mobil Jepang" made in Indonesia ke mancanegara. Kelak mungkin ke Jepang -- siapa tahu? Praginanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus