TOYOTA, merk dari Jepang itu, masih erat lekat pada Astra. Meski Astra, yang di situ lekat nama William Soeryadjaya, sudah merakit dan menjual mobil Jepang lain, seperti Daihatsu dan Nissan Datsun. Bahkan merk mobil Eropa di sini, seperti BMW, Renault, dan Peugeot, sudah diambil oper. Sekali waktu "Toyota" mungkin bakal berganti nama menjadi "Soeryadjaya". Tidak ada perang antara Om Willem dan keluarga Toyoda yang melahirkan dan membesarkan Toyota. Toh, melalui Astra-nya Om Willem, penjualan Toyota di sini dari 1969 sampai tahun ini sudah mencapai 400.000 unit. Namun, melihat pesat laju roda-roda mobil keluaran Astra, si Bos pagi-pagi menyatakan bahwa tidak selamanya ia akan membawa nama Jepang. Astra memang mulai mengekspor Kijang, nama lokal, tapi masih tetap menggandengkannya dengan nama Toyota. Salah satu sebab, menurut direksi Astra, masih terikat komponen dan desain Toyota. Untuk itu Astra masih harus membayar royalti sekitar 2% kepada prinsipal Toyota Motor Company. Jumlahnya cukup besar, kalau dilihat omset konglomerat Toyota Astra (Toyota Astra Motor, Multi Astra, Toyota Engine Indonesia, Toyota Mobilindo, dan Astra Motor Sales), yang merupakan kelompok pertama dan masih yang utama, berjumlah Rp 300 milyar tahun 1986, dan diperkirakan mencapai Rp 500 milyar tahun ini. Tetapi, bila industri otomotif lokal penuh tercapai tahun 1990-an, bila pemakaian komponen lokal sudah mencapai 100%, dan bila semuanya mulus, Astra tentu saja berhak memilih nama untuk produk sendiri. Kewajibannya terhadap Toyota tinggal berupa pembayaran dividen. Toyota memang memegang saham 56,7% di pabrik komponen Toyota Mobilindo, 51% di Toyota Engine Indonesia, dan 49% di Toyota Astra Motor. Hingga kini, seperti dikemukakan kalangan direksi Astra sendiri, betapapun Toyota masih merupakan tulang punggung mereka dari 42 perusahaan yang tergabung dalam tujuh kelompok Astra. Seluruh omset tahun silam, Rp 1.200 milyar, dan tahun ini, yang diperkirakan Rp 1.800 milyar, masih 25%-27% berputar di kelompok Toyota. Kelompok kedua. Baru dibentuk tahun ini, konglomerat industri mobil non-Toyota di bawah National Astra Motor yang dipimpin Himawan Surja, omsetnya sudah Rp 300 milyar. Kekayaannya, sekitar 70 juta dolar, tertanam pada pabrik perakitan Gaya Motor, pabrik mesin Daihatsu Engine Indonesia, agen tunggal Daihatsu yang bernama National Astra Motor Sales, perusahaan pemasaran BMW yang bernama PT Tjahaja Motor Sakti, agen tunggal Peugeot dan Renault yang bernama PT Multi France, pada United Imer Motors yang mengageni truk Nissan Datsun, serta pada pabrik batere GS. Kedua kelompok industri mobil Astra itu kini menguasai sekitar 48% pasar mobil Indonesia. Mitsuo Yamada, 54, yang sudah 33 tahun bekerja di Toyota dan menjadi presiden direktur pada Toyota Astra Motor sejak 1984, pekan lalu mengatakan bahwa masuknya mobil-mobil non-Toyota ke lingkungan Astra -- sejauh ini -- belum menjadi masalah. "Pak William mungkin ingin menjadi raja industri mobil di sini sehingga mau menangani produk non Toyota," kata Yamada-san. Toh, BMW, Renault, dan Peugeot berada di kelas lain, bukan pesaing langsung Toyota. "Toyota juga mempunyai saham pada perusahaan Daihatsu di Jepang," katanya. Hubungan antara Astra dan Toyota, tutur William, terjadi karena "kebetulan" memang banyak serba kebetulan terjadi di Astra. Semula, Astra ingin menjadi agen tunggal Chevrolet, merk AS milik General Motor. Pada 1967 Astra pernah mendapat tender untuk memasok generator listrik buatan GM bagi PLN. Kebetulan, terjadi kesalahan pencatatan LC, sehingga genset itu jatuh ke PT Garuda Diesel. Astra, yang telanjur membayar kepada GM, meminta ganti 800 truk Chevrolet. "Waktu itu kami mendapatkan keuntungan dan bunga sekitar 400 ribu dolar," cerita William. Keuntungan itulah yang digunakan Astra sebagai modal terjun ke industri mobil. Adanya ketetapan pemerintah, bahwa mobil impor harus lewat sistem agen tunggal untuk menuju tahap perakitan lokal, Astra membeli saham di pabrik perakitan PN Gaya Motor, Februari 1969. Niat Astra untuk menjadi agen tunggal Chevrolet ternyata gagal. Chevrolet jatuh ke perusahaan lain. Astra kemudian mengontak Nissan. "Tetapi Nissan tak mau, karena menganggap kami perusahaan kecil," kata William. Maklum, Astra -- yang didirikan pada Februari 1957 oleh William dan adiknya, Mendiang Tjia Kian Tie -- selama sepuluh tahun pertama sulit berkembang. Padahal, Astra pernah menjadi kontraktor pertama yang mengimpor konstruksi baja untuk proyek Jatiluhur. Juga pernah mengimpor aspal untuk dinas pekerjaan umum di daerah-daerah. Selama sepuluh tahun pertama, Astra bertahan sebagai perusahaan limun, dan berdagang hasil bumi. Akhirnya, datanglah kebetulan kedua: Toyota Motor Company, Jepang, atas anjuran pemerintah bekerja sama dengan Astra di Gaya Motor. Maka, resmilah Gaya Motor menjadi agen tunggal Toyota pada 1969. Dua tahun kemudian, lahir pabrik perakitan Toyota Astra Motor, dengan saham 51% dipegang pihak Jepang dan 49% dimiliki Astra bersama pemerintah. Kelompok ketiga. Sejak Toyota masuk ke Astra itu William dan Astra-nya naik daun. Terbukti, setahun setelah itu, Honda memberikan keagenan sepeda motornya. Om Willem, kelahiran Majalengka dan tamatan sekolah penyamakan kulit di Belanda, terampil menciptakan pasar. Penjualan sistem kredit sepeda motor menyebabkan Honda mampu menggasak pasar Yamaha. Muncullah PT Federal Motor, 1971, untuk merakit sendiri sepeda motor Honda. Dua tahun kemudian, menyusul Honda Federal yang memproduksi komponen dan subkomponen sepeda motor. Konglomerat ketiga grup Astra itu saat ini terdiri dari PT Federal Motor, Honda Federal, dan Honda Astra Engine. Grup ini sudah mulai mengekspor produknya (lihat Roda Dua Astra). Kelompok keempat. Bersamaan dengan masuknya Honda, 1970, alat-alat berat Allis-Chalmers Amerika juga masuk ke Astra. Dua tahun kemudian dibentuk PT United Tractors yang kemudian tak kalah gesitnya dengan Honda dalam mencari pasar dengan sistem kredit. Bekerja sama dengan perusahaan leasing AS, Wardley, berdirilah PT Wardley Summa Leasing yang merupakan perusahaan leasing pertama di Indonesia. Melalui lembaga keuangan itulah pemasaran alat-alat berat Allis-Chalmer unggul atas Caterpillar dari Inggris yang dipasarkan PT Trakindo. Astra bercerai dengan Allis-Chalmer karena usulnya agar mengejar Caterpillar, yang memindahkan basisnya ke Jepang, tak digubris. Padahal, hal itu sangat menentukan dalam bersaing soal harga. Astra lalu kawin dengan Komatsu dari Jepang. Di dalam kelompok keempat ini, yang dipimpin Benny-Subianto, ada juga perusahaan perkayuan, PT Sumalindo, dan perusahaan yang bergerak di bidang agribisnis. Terjunnya Astra ke agribisnis ada kaitannya dengan kerusuhan Januari 1974 (Peristiwa Malari) di Jakarta. "Saya tergugah melihat daya beli masyarakat yang melemah," kata William Soeryadjaya. Kendati tidak disetujui penuh oleh para kapten di Astra International, Juli 1973, si Om mendirikan PT Multi Agro sebagai bagian dari Astra. Investasi untuk perusahaan ini lebih banyak keluar dari kantungnya -- konon ia sampai jual rumah. Baru belakangan semua mata terbuka ketika ekspor komoditi nonmigas didorong-dorong. Multi Agro kini tengah mengembangkan perkebunan inti rakyat (PIR) seluas 120.000 hektar dengan anggaran sekitar Rp 500 milyar. "Perkebunan adalah tempat investasi yang paling aman: yang ditanam rupiah, yang dipanen dolar," kata William. Sekian kali devaluasi rupiah, katanya, sekian kali pula besar keuntungan yang akan diperoleh. "Sejak 1973 sudah tiga kali devaluasi, rata-rata 30%. Coba, kalau kapten-kapten saya dulu setuju, mestinya investasi kami 'kan hampir menjadi nol," kata si Bos, sambil melirik para direksi yang mendampinginya. Astra sekarang boleh bangga sebagai eksportir karet terbesar. Tahun ini, menurut Benny Subianto, modal Astra ada di empat perusahaan pengolahan karet di Jambi, Kalimantan Barat, dan Sumatera Utara. Sedangkan ekspor karetnya ke AS, antara lain memasok pabrik ban Goodyear, tahun ini ikut mengumpulkan devisa 97 juta dolar. Sebagian dari karet ekspor itu merupakan hasil perkebunannya sendiri. Dewasa ini, Astra tengah mengembangkan perkebunan karet, kelapa sawit, cokelat, dan teh dengan sistem PIR. Perkebunan karet sudah jalan, tetapi perkebunan kelapa, cokelat, dan teh masih dibangun. Sekarang ini, menurut Benny, sudah ada 15 anak perusahaan perkebunan Astra, antara lain PT Perkasa dan PT Sari Lembah Sabana di Riau, PT Karya Tanah dan PT Fortindo di Jawa Barat, dan Lembah Bakti di Aceh. Semuanya bergerak di tanaman keras dan bertujuan ekspor. Karena itu, pertanian sayur dan buah-buahan seperti yang ada di kawasan Bogor, menurut Benny Subianto sudah akan dijual. "Itu 'kan modalnya kecil, biarkan untuk rakyat saja," katanya. "Perkebunan sistem PIR ini jelas akan melibatkan banyak orang," kata Benny Subianto. Ia memberikan contoh perkebunan transmigran di Desa Air Molek. Di situ Astra mempunyai perkebunan seluas 10.000 ha, 2.000 ha di antaranya disediakan untuk menampung 4.000 keluarga transmigran. "Jangan lupa," ujar Benny, "Perkebunan itu akan memberikan kesempatan kerja lebih luas lagi, misalnya bagi pedagang beras, pedagang kebutuhan pokok lainnya, serta pengelola kendaraan angkutan umum." Kelompok kelima. Dari mulai hanya mengelola lisensi fotokopi Xerox, 1970, Astra membentuk divisi elektronik dan perdagangan umum. Dalam kelompok ini muncul PT Jaya Pirusa yang berusaha di bidang percetakan. Kelompok ini kemudian berkembang lebih lanjut sehingga menjadi konglomerat Astra Graphia. Selain merakit mesin fotokopi, sejak empat tahun silam Astra Graphia memasarkan komputer digital, dan tahun ini merakit komputer pribadi. Di kelompok ini juga termasuk dua perusahaan eksportir: PT Astra Export, yang menangani ekspor otomotif, dan PT Menara Alam Tehnik sebagai eksportir komoditi nonmigas lainnya, yaitu karet, kayu lapis, sepeda, sampai dengan buku komik. Komik? Ya, pada 1985, di grup ini lahir PT Midas Surya Grafindo (Midsurin), sebuah perusahaan penerbitan yang menerbitkan, antara lain, buku-buku manajemen dan komik serial dongeng Jaka Tingkir, Ken Arok, dan kisah Mahabarata-Ramayana. Maret lalu buku komik itu diekspor juga, antara lain, ke Belanda. Selain itu, menurut Presiden Direktur PT Menara Alam Tehnik Edwin Soeryadjaya, putra makota, perusahaannya juga mengekspor sepeda buatan Astra dan kayu lapis. Kelompok keenam. Yang ini bergerak di bidang konstruksi dan real estate. Antara lain kontraktor PT Nusa Raya Cipta, PT Sky Lift, dan Town & City Properties. Tak banyak yang diceritakan William Soeryadjaya tentang kelompok yang satu ini. Kelompok ketujuh. Astra juga bergerak di bidang keuangan. Sejauh ini, direksi Astra mengaku baru mempunyai dua perusahaan, yakni PT Wardley Summa Leasing dan PT Swadarma Bhakti Sedaya. Swadharma baru didirikan April 1986 sebagai perusahan patungan Astra dengan BNI 1946. Perusahaan yang didirikan dengan modal Rp 10 milyar itu dimaksudkan sebagai penunjang pemasaran otomotif dengan kredit. Kegiatannya kurang lebih sama dengan PT Wardley Summa Leasing (14% milik Astra) yang menunjang pemasaran alat-alat berat Komatsu. Kaitannya dengan perusahaan Summa International Finance di Hong Kong? Edward Soeryadjaya disebut tercatat sebagai salah satu pemilik lembaga keuangan di Hong Kong itu. Para direksi Astra membenarkan, ada orang-orangnya yang terlibat di sana, tapi lembaga itu bukan anggota grup Astra. Tapi majalah Asian Finance menyebutkan bahwa Summa merupakan salah satu kendaraan Astra di luar negeri untuk mencari modal. Astra pertama kali terjun ke pasar modal internasional, 1981, dengan menjual surat berharga (bond) bernilai 25 juta dolar. Ternyata, penjualan surat-surat utang Astra yang dijamin Wardley Hong Kong dan Summa International Finance, dibeli bank-bank internasional di Singapura, seperti Citibank, Chase Manhattan, Manufacturers Hanover, dan Sumitomo. Pada 1982, Astra sekali lagi terjun di pasar modal di Singapura, dengan menjual surat utang bernilai 60 juta dolar untuk keperluan pabrik perakitan alat-alat berat. Astra, menurut big boss sebenarnya sejak 1982 berniat terjun di pasar modal di Jakarta, tetapi terhambat oleh beberapa persyaratan. "Di sini Astra harus menjual saham seluruh grup -- tidak mungkin hanya salah satu anak perusahaan saja. Itu bisa merepotkan perpajakan masing-masing perusahaan," kata P.A. Lapian, salah satu komisaris Astra. Liem Sioe Liong punya Bank Central Asia (BCA). Astra? "Dalam waktu dekat, kami mungkin masuk ke Bank Perkembangan Asia," tutur Edwin. Katanya, perundingan sudah dilangsungkan dengan para komisaris BPA, sejak Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo masuk ke situ. "Majunya Astra, saya sangka, pertama karena pribadi William Soeryadjaya yang selalu melihat ke depan, dan karena pembinaan tenaga ahli di situ benar-benar dilaksanakan secara konsekuen," kata Direktur Utama Overseas Express Bank Trenggono. Selain itu, menurut Trenggono, yang pernah menjabat direktur keuangan di Federal Motor itu, ada satu hal lagi yang penting: "Astra selalu menawarkan apa yang dicari konsumen." Soebronto Laras, Ketua Gaikindo yang juga menjabat presiden direktur grup otomotif Liem Sioe Liong, menilai, Astra kini berada di atas angin. "Pertama, mereka mempunyai kuda tunggang Kijang, sehingga mobil lainnya mudah menembus pasar," katanya. Menurut penilaian Soebronto, Astra kini sangat kukuh keuangannya. "Kendati harus membangun pabrik untuk dua jenis mesin mobil pun mereka mudah mencari dana", kata Soebronto, tanpa menyembunyikan nada kagum bicaranya. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini