Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menjelang belahong tersauk hilang

Kehidupan sosial budaya suku dayak kenyah di pedalaman kalimantan berubah oleh kemajuan zaman. rumah panjang, gotong royong tanah pemukiman mereka hilang, karena anjuran pemerintah sejak 1980.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang kekal. Cepat atau lambat semua akan berubah lebih baik atau beranjak punah, itu waktulah yang menentukan. Begitu adab alam raya ini, menurut si cerdik. Nun di pedalaman rimba Kalimantan Timur, sekelompok suku Dayak Kenyah juga mengalami perubahan itu. Juga belahong, hiasan, di kuping mereka akan punah? Penduduk asli pulau ketiga terbesar di dunia ini, yang semula hidup menuruti aturan nilai leluhur yang disebut Bungan, kini tersauk dengan "kemajuan" zaman. Penghuni hulu Sungai Mahakam yang diperhitungkan 40 ribu jiwa itu, sekarang sudah bertebar di seratus permukiman -- yang pecahannya terbagi ke dalam 40 anak suku. Peperangan dengan suku pengayau (pemenggal kepala) yang terkenal ganas akhirnya mendorong mereka mencari permukiman baru yang lebih aman. Sudah seratus tahun lebih suku Dayak Kenyah berkelana di rimba belantara. Hidup dalam tatanan nilai atau kepercayaan nenek moyang, yang mengatur secara harmonis hubungan antarmanusia, kelompok, alam roh, dan alam benda. Misalnya, di Uma Dado alias rumah panjang -- yang biasanya dihuni sekitar 40 keluarga komunikasi antara sesama dapat berjalan lancar dan akrab. Ada sistem tak tertulis yang dipatuhi dan dihormati setiap warga lamin, petak keluarga. Contohnya, gotong-royong dan tolong-menolong tak cuma dalam ucapan, tapi terwujud dalam tindakan -- seperti di pesta, juga ketika membagi hasil perburuan. Hampir seratus tahun lalu masih ada 17 rumah panjang di pedalaman Kalimantan Timur. Kini, "kemajuan zaman" telah mengharuskan mereka tinggal dalam rumah yang terpisah. Dan, peradaban baru itu malah mengundang problem tersendiri bagi suku Kenyah dari rumpun Uma' Tao. Penduduk Tanjung Manis, Kabupaten Tenggarong, Kalimantan Timur, ini adalah tetangga yang datang dari Kabupaten Bulungan. Karena memenuhi anjuran pemerintah itu, mereka kemudian mendiami rumah terpisah, sejak 1980. Kini, mereka merasakan bahwa apa yang disebut solidaritas di lingkungan keluarga itu semakin menurun. Komunikasi mereka kian tersekat: oleh petak rumah. Rasa kebersamaan sudah ciut. "Dulu tidak perlu memukul lonceng untuk isyarat pertemuan musyawarah. Dan bila ada yang memetik kecapi, yang lain langsung menari. Yah, sekarang sudah banyak yang hilang," ujar Ngang Bilung, kepala suku Uma' Tao, pada TEMPO. Sejak pindah permukiman, bukan hanya kehilangan rumah panjang yang mereka rasakan. Masalah tanah ikut pula membuat runyam. Lahan yang ditanami itu adalah milik suku Mudang. Karena itu, mereka harus membayar sewa lahan pertanian yang digarap itu dengan 10 kaleng minyak tanah, untuk tiap kali panen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus