Hanya dalam waktu relatif pendek, ketentuan tentang kemasan rokok diralat. PR kecil aman-aman saja. Peta kretek akan berubah? PENGUSAHA rokok di Indonesia seharusnya tidak perlu khawatir karena jumlah pecandu rokok di negeri ini sudah bisa dipastikan akan bertambah dan terus bertambah. Namun, Drs. J.P. Soegiharto Prajogo bicara lain. "Inilah saat-saat pengusaha rokok tak bisa tidur nyenyak," begitu kata Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia itu. Periode susah tidur ini sudah dimulai sejak BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) menawarkan tata niaga cengkeh yang baru, yang menyebabkan harga si emas cokelat melayang di atas Rp 7.000 per kg dan sesampai di pabrik bisa menjadi Rp 13.000 per kg. Sementara harga cengkeh membubung tinggi, Pemerintah menurunkan beleid baru yang mengatur tata niaga rokok, termasuk cukai. Adanya kenaikan cukai tidaklah terlalu mengejutkan, tapi peraturan baru mengenai kemasan (masing-masing berisi 12, 16, dan 50 batang rokok) benar-benar membikin gila. SK Menteri Keuangan yang dikeluarkan 31 Maret lalu menetapkan bahwa ketentuan itu berlaku untuk pabrik besar yang berproduksi 30 milyar batang setahun, menengah besar (4,5 milyar - 30 milyar batang), menengah (750 juta - 4,5 milyar batang), dan kecil (di bawah 750 juta batang setahun). Akibatnya, pabrik besar kelabakan dan pabrik kecil pun ikut belepotan. Pabrik besar seperti Gudang Garam dan Djarum mau tak mau harus mengubah peta pasar yang sudah dikuasainya. Apalagi keduanya sudah mempunyai pasar untuk kemasan 18 batang dan 24 batang. Begitupun PT H.M. Sampoerna dengan Dji Sam Soe sebagai produk legendarisnya. Sampoerna tengah berjaya dengan Sampoerna Filter (tiga jenis produk), yang dikemas dalam bungkus 20 batang, ketika mendadak ia harus beralih ke bungkus 12, 16, ataupun 50 batang. Ini kan runyam. Lalu, apa jadinya produk 20 batang atau 10 batang yang sudah memiliki pasar itu? Memang, seorang direktur pabrik Bentoel menyatakan bahwa perkara mengubah jumlah batang dalam setiap bungkus bukan masalah. "Kami tinggal menambah modal untuk membuat kemasan baru," katanya. Tapi implikasinya itulah yang parah. Karena mengubah kemasan berarti mengubah harga. Dan untuk merebut perhatian dan kepercayaan konsumen pada produk baru berarti merintis pasar dari anak tangga terbawah alias dari nol. Keberatan serupa juga diajukan oleh pabrik-pabrik rokok kecil. Maklum, sejak awal berdirinya di sekitar tahun '60-an, kemasan 10 batang merupakan trademark yang diandalkan. "Itu sudah menjadi ciri rokok Indonesia sejak lahir," kata Th. D. Rachmat, Komisaris Gudang Garam. "Kalau diubah, bagaimana jadinya nanti?" kata seorang pengusaha rokok di Kudus. Apalagi ketentuan baru itu tampak tidak realistis. "Sejak kapan sih ada kemasan rokok berisi 50 batang," kata mereka. Dan tak kalah penting adalah kalimat ini, "Untuk apa Pemerintah sampai mengatur soal kemasan segala?" Kebetulan sekali, Pemerintah cepat tanggap. Sebelum Idul Fitri -tepatnya 15 April berselang -Departemen Keuangan membolehkan pabrik membuat kemasan untuk 10 batang. Ketentuan ini berlaku hanya untuk pabrik kelas menengah ke bawah, tetapi kata Soegiharto, "cukup menggembirakan." Ini berarti sudah ditarik garis pemisah antara pasar pabrik kecil dan pasar pabrik besar. Mengapa? Sebelumnya, pabrik rokok besar sering dituding serakah karena ikut-ikutan memproduksi rokok dalam kemasan di bawah 10 batang. Tujuannya tentu saja untuk merebut pasar si kecil. Taktik ini pernah dilakukan Bentoel, yang memproduksi kemasan berisi enam batang dengan harga Rp 275. "Padahal, harga sejumlah itu merupakan level pabrik kecil," ujar H.M. Atho'illah, pemilik pabrik rokok Jangger di Pasuruan. Sekalipun Pemerintah "cepat tanggap", keputusan yang membolehkan pembuatan kemasan berisi 10 batang itu, "datang agak terlambat". Pabrik rokok Klampok telanjur mengubah produksinya dari 10 batang menjadi 12 batang. Padahal, pasar untuk 12 batang ini belum ketahuan prospeknya. Kelak, kalau terbukti kurang laku, "Kami akan memikirkan untuk kembali ke produk yang 10 batang," kata Sunardi, pemilik PR Klampok, yang setiap hari memproduksi 600 ribu batang kretek. SK Menteri yang intinya mengatur kemasan rokok itu bahkan menimpakan akibat yang lebih fatal pada pabrik rokok Jambu Bol di Kudus. Jambu Bol sempat menutup pabriknya sementara hingga 4.000 karyawan terpaksa tidak bekerja. Soalnya, selain harus menunggu pita cukai baru, Jambu Bol juga harus melakukan penyesuaian untuk membuat kemasan baru. Tak heran ketika SK Menteri diralat, "Kami menyambutnya dengan gembira," ujar Alex Nawawie, Kepala Produksi PT Jambu Bol. "Batas pasar" pabrik besar dan kecil semakin jelas dengan ditentukannya harga jual per batang. Baik sigaret kretek tangan maupun sigaret kretek mesin yang diproduksi oleh pabrik besar ditetapkan Rp 65 per batang. Sedang yang dibuat oleh pabrik kelas menengah besar dan menengah ditentukan Rp 45 dan Rp 30 per batang. Akan halnya pabrik kecil, dipersilakan memilih harga jual antara Rp 1 dan Rp 30. Ini berarti, pabrik besar tak mungkin lagi membanting harga untuk memperebutkan pangsa pabrik kecil. Selain itu, pabrik besar harus merombak produksinya, termasuk merombak harga jual. Contoh: Sampoerna Exclusive 20 batang yang berbanderol Rp 700. Kini dengan aturan baru, harus diubah menjadi 16 batang atau 50 batang. Lalu harganya disesuaikan alias jadi naik. Merombak adalah soal teknis, tapi mungkinkah konsumen bisa menerima kemasan dengan isi yang lebih sedikit, tapi harganya lebih mahal? Pabrik kecil sih bisa tenang-tenang karena dengan kemasan 10 batang plus harga patokan yang Rp 30, dia tak perlu mengubah apa pun. Diperoleh kesan, utak-atik kemasan rokok itu bertujuan melindungi pabrik kretek kecil. Dan ini bukan mustahil. Seperti diakui oleh H.M. Atho'illah, "Keputusan Pemerintah ini sangat sesuai dengan usul yang kami ajukan dulu." Budi Kusumah, Jalil Hakim, dan Bandelan Amiruddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini