Aturan main perusahaan publik dan underwriter diperkeras oleh Bapepam. Namun, masih ada pertanyaan. SUASANA bursa efek Jakarta, Senin pekan ini, tenang-tenang saja. Pada hari pertama operasi setelah seminggu penuh ditutup karena Lebaran, tampak hanya saham United Tractors yang tertonjok naik dari Rp 33.000 menjadi Rp 33.900. Saham-saham masal seperti Astra International dan Inco masih berputar pada harga sebelum Lebaran. Tujuh buah surat keputusan dari Ketua Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) bertanggal 19 April I991, tampaknya, tidak bergema di sana. Sebagian isi SK tersebut dipertanyakan oleh investor dan para pengamat. Lembaran keputusan pertama (No. 17) mengenai stabilisasi harga untuk penawaran umum, misalnya. Timbul pertanyaan bagaimana saham-saham yang baru ditawarkan sudah perlu diganjal oleh perusahaan penjamin ataupun pialang. Bukankah biasanya, harga saham di pasar perdana sudah ditentukan sendiri oleh penjamin emisi. Namun, rupanya, yang dimaksud adalah penawaran saham-saham emisi kedua. Konon, selama ini, harga saham semacam ini didongkrak dulu oleh pemilik lama (emiten). Setelah itu, barulah emiten mengeluarkan saham baru dengan harga yang relatif lebih rendah dari pasar. Maksudnya tentu untuk menarik investor. Celakanya, banyak investor yang mengharapkan saham-saham murah itu bakal memberi capital gain alias laba sampai 50%. Belakangan, mereka terkecoh. Gejala ini pernah terjadi pada Gajah Surya Multi Finance, Marein, dan Mayatexdian. Paling tragis adalah saham Mayatex. Sewaktu hendak mengeluarkan saham baru, Mayatex sempat berkibar sampai harganya Rp 12.000 per lembar. Begitu selesai pemasaran saham-saham baru, harga merosot sampai Rp 4.500 per lembar. Sejak itu, banyak perusahaan jera mengeluarkan saham baru dengan sistem opsi. Keluarnya juklak Bapepam tadi belum menjamin bahwa "tragedi" serupa tidak akan terulang. Pengamat pasar modal Kwik Kian Gie juga heran seputar SK Bapepam No. 17 tadi. Persoalannya, harga saham biasanya sudah ditentukan oleh penjamin emisi. Terlepas apakah mereka akan menjamin penjualan itu 10% atau seberapa bisa terjual (best effort), para penjamin emisi dan pedagang perantara boleh membeli saham atas nama mereka sendiri. "Itu kan hal yang wajar, mengapa mesti diatur," kata Kwik. SK 18 dinilai Kwik cukup bagus. "Ini menunjukkan Bapepam kini lebih fair bertindak hanya sebagai badan pengawas," katanya. Tapi, pengamat yang tajam ini heran mengapa SK No. 18 seperti bertentangan dengan SK No. 23. Dalam SK 23 dikatakan bahwa harus dicantumkan dengan huruf besar bahwa Bapepam tidak Memberikan Pernyataan Menyetujui atau tidak Menyetujui Efek ini, tidak juga Menyatakan Kebenaran atau Kecukupan isi Prospektus ini. Setiap Pernyataan yang Bertentangan dengan hal-hal Tersebut Adalah Perbuatan Melanggar Hukum. "Nah, jika SK 18 mengatakan Bapepam bisa menangguhkan penawaran umum, lalu siapa yang harus bertanggung jawab untuk pendaftaran saham yang bersangkutan di bursa? Bukankah Bapepam yang menerima pendaftaran itu?" tanya Kwik. Juga ada catatan Kwik pada SK No. 20. Secara garis besar, dia setuju SK ini menunjukkan itikad baik Pemerintah yang menuntut keterbukaan penuh dari perusahaan publik. Tapi, di situ dikatakan bahwa prospektus harus memberikan bahasan tentang seberapa jauh hasil usaha atau keadaan keuangan di masa datang, menghadapi risiko fluktuasi kurs atau suku bunga. "Apakah ini tidak overacting?" tanya Kwik. Sayang sekali, Ketua Bapepam Marzuki Usman seusai menyebarkan SK tersebut kepada wartawan Sabtu lalu terbang ke Amerika sehingga sulit dimintai penjelasan secara rinci. Menurut Wakil Ketua Bapepam, Djoko Kusnadi, ketujuh petunjuk pelaksanaan tadi merupakan hasil godokan Bapepam dengan melibatkan dua tenaga ahli dari perusahaan konsultan internasional Price Water House. Peran mereka tampaknya begitu menonjol sehingga bahasa ketujuh SK tadi agak sulit dimengerti. "Ketujuh SK ini, selain untuk mempersiapkan internasionalisasi bursa efek Indonesia, juga memberikan perlindungan bagi investor," kata Kepala Biro Hukum Bapepam, M. Irsan Nasaruddin, S.H. SK tersebut tampaknya memang mementingkan tanggung jawab para penjamin emisi. Namun, M. Hasan, Direktur Multicor, merasa perusahaan penjamin emisi tak perlu mengambil ancang-ancang khusus untuk menyesuaikan diri. "Cuma saja kami akan lebih selektif memilih perusahaan yang go public," katanya. Direktur PT Multipolar, Ir. Handoko, berkomentar, "Investor kini akan terbuka matanya. Bagi perusahaan publik tampaknya semakin tipis peluang untuk bermain sulap, tapi sebenarnya berkah juga bagi mereka." Max Wangkar, Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini