Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mereka Yang Ikut Tersapu

Dengan adanya operasi sapujagat, penjual senjata & industri senjata (di desa ciberuk dan cipacing) merasa terpukul. (eb)

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDUL Hasan, pemilik toko senjata di pusat perbelanjaan Duta Merlin, Jaliarta, di hari kerja pekan lalu membiarkan pegawainya bermain catur "Ya, setelah ada Operasi Sapu Jagat, jangankan senapan benaran, senapan angin pun tak ada yang membeli" kata pemilik CV Wanajaya itu. Biasa menjual rata-rata 10 pucuk senapan angin setiap hari, anak Betawi ini mengatakan penjualan seret sekarang. "Baru dua pucuk senapan angin yang laku sejak berlakunya Sapujagat," katanya. Kisah serupa menimpa pemilik toko alat-alat berburu Golden Alpine, tetangga Wanajaya. Gregorius Sunario, pemiliknya, terpaksa menyegel 1.700 pucuk senjata angin jenis pistol. Sebelum Operasi Sapujagat, iklan pistol dan senapan angin serta bedil untu, berburu sungguh menggebu. Itu bisa dilihat di beberapa koran besar di Jakarta. Kini suasana lesu seperti di toko-toko senjata di Jakarta itu juga menjalar ke Medan, Bandung dan Surabaya. Sekalipun tak seramai di ibukota, Hin Lie Kie, pemilik toko senjata Sin Huat di Jl. A. Yani, Medan, termasuk yang laris. Begitu juga tiga toko senjata lainnya di sana. "Rata-rata setiap toko menjual enam pucuk sebulan," kata Hin. Menurut dia, sejak lima tahun ini, toko-toko senjata di Medan itu lebih banyak menjual senjata buatan dalam negeri, terutama buatan Surabaya, dibandingkan yang impor. Desa Senapan Tapi di Kota Buaya itu pun terjadi pembatalan impor senjata dari Australia. Ini dilakukan oleh Gatut Supangkat, pemilik toko Indonesia, satu-satunya importir dan penjual senjata terbesar di sana. Gatut merasa tidak kaget. "Dagang senjata memang begitu. Waktu Pemilu dulu, enam bulan sebelum dan sesudahnya juga terjadi pengamanan terhadap senjata," katanya tenang. Dia memang punya usaha lain, sebagai pedagang mangga. Dan pensiunan TNI-AU yang dulunya atlet Dasalomba PON I Ja-Tim itu, saat ini memiliki cadangan senjata dan peluru seharga Rp 25 juta. "Kami ini kan hanya menjual kepada orang yang sudah mempunya izin," katanya. "Pengawasan terhadap kami cukup ketat," kata H. Mohamad Anwar, Direktur PT Lokta Karya Perbakin -- salah satu importir senjata yang mendapat izin dari Kapolri. Mengimpor senjata pistol dan senapan nonorganik ABRI dari AS, Jerman Barat dan Spanyol, harga sebuah pistol dan senapan yang dijual perusahaan ini berkisar antara Rp 400 ribu sampai Rp 5 juta. Menurut Mohamad Anwar, yang juga menjabat Ketua I Perbakin, permintaan akan senapan meningkat ketika digalakkannya olal-raga menembak. "Rata-rata 200 pucuk terjual dalam setahun," katanya. Di Indonesia cuma sembilan perusahaan yang memiliki izin sebagai importir senjata. Terbatas pada senjata bahu kaliber 22 dan senjata genggam kaliber 32, keduanya bukan yang otomatis. Menurut taksiran Abdullah S., Dir-Ut PT Hera Palma, importir dan penjual senjata di Jl. H.A. Salim, Jakarta, omset perdagangan senjata tidak besar. "Taksiran saya sekitar Rp 200 juta," katanya. Dan Abdullah, bekas kepala bagian penerangan Konsulat RI di Hongkong. Sehari-hari juga menjadi peyalur televisi berwarna merk Grundig. Seperti halnya importir Gatut dan Mohamad Ansari. Abdullah yang punya hobi menembak merasa tak begitu terpukul. Barangkali yang paling menjerit adalah para pembuat senjata di Desa Cikeruh dan Desa Cipacing, Kabupaten Sumedang, Ja-Bar. Sebelum ada Opsgat, suara riuh para pandai besi itu biasa terdengar di sana. Sekarang di dua desa yang berpenghuni sekitar 9000 jiwa itu terasa sepi. Tak kurang dari 400 industriawan kecil membuat senapan angin, beromset sekitar Rp 26 juta. Biaya membuat sepucuk senjata kurang lebih Rp 10.000. Rata-rata setiap pengusaha di Cikeruh dan Cipancing mempekerjakan empat sampai lima buruh. Adang Kapidin, 4 tahun, pemilik industri kecil Rahayu mengaku biasa menjual rata-rata 10 pucuk senapan angin kaliber 4,5. Dari Rp 25 ribu yang termahal sampai Rp 20 ribu yang termurah. Sejak tahun 1966 membuka usahanya, dia mengatakan tak memiliki keahlian lain kecuali membuat senapan angin. Sekarang ayah dari tujuh anak itu sedih, karena "sudah sebulan ini tak ada satu pun yang laku," katanya. Enam buruh mingguan yang biasa kerja di tempat Adang Kapidin, sudah berkurang separuh. "Tapi saya tetap memberi gaji setengah," katanya. Seorang buruh di kedua desa itu menerima antara Rp 5.000 sampai Rp 10.000 setiap minggu, ditambah makan satu kali sehari. Tak semua pengusaha di sana menjual produknya kepada bandar dalam jumlah besar. R. Pipik, 54 tahun, misalnya lebih senang membuat senapan berdasarkan pesanan perorangan. Tapi ia menekankan pada kualitas. Tak heran kalau sepucuk senapan jenis BSA yang ia beri nama Repindo -- singkatan dari Republik Indonesia - bisa laku sampai di atas Rp 50.000. Pipik yang memimpin industri Poesaka -- warisan nenek moyangnya sejak 1884 -- butuh waktu paling sedikit seminggu untuk membuat sepucuk senapan Repindo itu. Sedang yang borongan bisa sampai empatlima senapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus