ABDUL Hasan, pemilik toko senjata di pusat perbelanjaan Duta
Merlin, Jaliarta, di hari kerja pekan lalu membiarkan pegawainya
bermain catur "Ya, setelah ada Operasi Sapu Jagat, jangankan
senapan benaran, senapan angin pun tak ada yang membeli" kata
pemilik CV Wanajaya itu. Biasa menjual rata-rata 10 pucuk
senapan angin setiap hari, anak Betawi ini mengatakan penjualan
seret sekarang. "Baru dua pucuk senapan angin yang laku sejak
berlakunya Sapujagat," katanya.
Kisah serupa menimpa pemilik toko alat-alat berburu Golden
Alpine, tetangga Wanajaya. Gregorius Sunario, pemiliknya,
terpaksa menyegel 1.700 pucuk senjata angin jenis pistol.
Sebelum Operasi Sapujagat, iklan pistol dan senapan angin serta
bedil untu, berburu sungguh menggebu. Itu bisa dilihat di
beberapa koran besar di Jakarta. Kini suasana lesu seperti di
toko-toko senjata di Jakarta itu juga menjalar ke Medan, Bandung
dan Surabaya.
Sekalipun tak seramai di ibukota, Hin Lie Kie, pemilik toko
senjata Sin Huat di Jl. A. Yani, Medan, termasuk yang laris.
Begitu juga tiga toko senjata lainnya di sana. "Rata-rata setiap
toko menjual enam pucuk sebulan," kata Hin. Menurut dia, sejak
lima tahun ini, toko-toko senjata di Medan itu lebih banyak
menjual senjata buatan dalam negeri, terutama buatan Surabaya,
dibandingkan yang impor.
Desa Senapan
Tapi di Kota Buaya itu pun terjadi pembatalan impor
senjata dari Australia. Ini dilakukan oleh Gatut Supangkat,
pemilik toko Indonesia, satu-satunya importir dan penjual
senjata terbesar di sana. Gatut merasa tidak kaget. "Dagang
senjata memang begitu. Waktu Pemilu dulu, enam bulan sebelum dan
sesudahnya juga terjadi pengamanan terhadap senjata," katanya
tenang.
Dia memang punya usaha lain, sebagai pedagang mangga. Dan
pensiunan TNI-AU yang dulunya atlet Dasalomba PON I
Ja-Tim itu, saat ini memiliki cadangan senjata dan peluru
seharga Rp 25 juta. "Kami ini kan hanya menjual kepada orang
yang sudah mempunya izin," katanya.
"Pengawasan terhadap kami cukup ketat," kata H. Mohamad Anwar,
Direktur PT Lokta Karya Perbakin -- salah satu importir senjata
yang mendapat izin dari Kapolri. Mengimpor senjata pistol dan
senapan nonorganik ABRI dari AS, Jerman Barat dan Spanyol, harga
sebuah pistol dan senapan yang dijual perusahaan ini berkisar
antara Rp 400 ribu sampai Rp 5 juta.
Menurut Mohamad Anwar, yang juga menjabat Ketua I Perbakin,
permintaan akan senapan meningkat ketika digalakkannya olal-raga
menembak. "Rata-rata 200 pucuk terjual dalam setahun," katanya.
Di Indonesia cuma sembilan perusahaan yang memiliki izin sebagai
importir senjata. Terbatas pada senjata bahu kaliber 22 dan
senjata genggam kaliber 32, keduanya bukan yang otomatis.
Menurut taksiran Abdullah S., Dir-Ut PT Hera Palma, importir dan
penjual senjata di Jl. H.A. Salim, Jakarta, omset perdagangan
senjata tidak besar. "Taksiran saya sekitar Rp 200 juta," katanya.
Dan Abdullah, bekas kepala bagian penerangan Konsulat RI di
Hongkong. Sehari-hari juga menjadi peyalur televisi berwarna
merk Grundig. Seperti halnya importir Gatut dan Mohamad Ansari.
Abdullah yang punya hobi menembak merasa tak begitu terpukul.
Barangkali yang paling menjerit adalah para pembuat senjata di
Desa Cikeruh dan Desa Cipacing, Kabupaten Sumedang, Ja-Bar.
Sebelum ada Opsgat, suara riuh para pandai besi itu biasa
terdengar di sana. Sekarang di dua desa yang berpenghuni sekitar
9000 jiwa itu terasa sepi. Tak kurang dari 400 industriawan
kecil membuat senapan angin, beromset sekitar Rp 26 juta. Biaya
membuat sepucuk senjata kurang lebih Rp 10.000.
Rata-rata setiap pengusaha di Cikeruh dan Cipancing
mempekerjakan empat sampai lima buruh. Adang Kapidin,
4 tahun, pemilik industri kecil Rahayu mengaku biasa menjual
rata-rata 10 pucuk senapan angin kaliber 4,5. Dari Rp 25 ribu
yang termahal sampai Rp 20 ribu yang termurah. Sejak tahun 1966
membuka usahanya, dia mengatakan tak memiliki keahlian lain
kecuali membuat senapan angin. Sekarang ayah dari tujuh anak itu
sedih, karena "sudah sebulan ini tak ada satu pun yang laku,"
katanya.
Enam buruh mingguan yang biasa kerja di tempat Adang Kapidin,
sudah berkurang separuh. "Tapi saya tetap memberi gaji
setengah," katanya. Seorang buruh di kedua desa itu menerima
antara Rp 5.000 sampai Rp 10.000 setiap minggu, ditambah makan
satu kali sehari.
Tak semua pengusaha di sana menjual produknya kepada bandar
dalam jumlah besar. R. Pipik, 54 tahun, misalnya lebih senang
membuat senapan berdasarkan pesanan perorangan. Tapi ia
menekankan pada kualitas. Tak heran kalau sepucuk senapan jenis
BSA yang ia beri nama Repindo -- singkatan dari Republik
Indonesia - bisa laku sampai di atas Rp 50.000. Pipik yang
memimpin industri Poesaka -- warisan nenek moyangnya sejak 1884
-- butuh waktu paling sedikit seminggu untuk membuat sepucuk
senapan Repindo itu. Sedang yang borongan bisa sampai empatlima
senapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini