NASIB kapal trawl sudah ditentukan mati tepat pada hari
Kesaktian Pancasila 1 Oktober. Setelah beroperasi dan mengeduk
keuntungan selama 10 tahun, semua kapal jenis ini tak boleh lagi
beroperasi di perairan Jawa dan Bali.
Untuk meringankan beban si pemilik, pemerintah memang akan
memberikan ganti rugi. Tapi para pengusaha trawl se-Jawa Tengah
yang dikumpulkan di Semarang 13 September tercengang. Besarnya
ganti rugi yang ditentukan 25% oleh Direktorat Jenderal
Perikanan, menyebabkan sebuah kapal buatan 1980 bermesin 80 PK
dengan ukuran 20 GT cuma dapat ganti rugi Rp 6.750.000. Padahal
harganya semula Rp 24,6 juta.
Yang lebih parah kapal buatan di bawah tahun 1975. Samasekali
tidak mendapat ganti rugi. Karena kapal yang berumur lima tahun
itu, sebagaimana dikatakan seorang juragan trawl dari Semarang,
oleh pemerintah digolongkan mutunya sudah jadi kayu bakar".
Sekalipun di perairan Sumatera kapal trawl masih boleh
beroperasi sampai Januari 1981, sebagaimana ditetapkan Keppres
39/1980, para pengusaha malahan sudah bersiap-siap menjual
peralatan mereka. Kapal trawl yang di daerah ini --terkenal
dengan kapal pukat harimau -- betul-betul jatuh harganya. "Saya
tawarkan Kp 15 juta, tapi tawaran hanya Rp 2,5 juta," keluh Sam
Sui, juragan pukat harimau di Sibolga.
Baba Hui tahan harga, tapi yang lain sudah melepaskannya. Yang
membeli justru pribumi, seperti S.D.T. Manurung, pengurus KUD
Kowarne Sibolga yang juga bergerak dalam pukat cincin dan pukat
pancing yang kurang "buas". Sedangkan di Kabupaten Asahan
(Sum-Ut), para juragan masih punya harapan suatu ketika pukat
harimau akan bisa dipergunakan. Mesin-mesin pukat mereka simpan
baik-baik.
Peraturan yang mengakibatkan harus ditambatkannya kapal-kapal
trawl itu, ternyata membawa pengaruh yang cukup luas, terutama
terhadap buruh: Ribuan kehilangan mata pencaharian.
Mujur buat yang di Cirebon karena, juragan mereka akan mengganti
trawl dengan peralatan yang diizinkan. Untuk menyambut sikap ini
rupanya, Gubernur Jawa Barat membentuk Pos Komando di
Pangandaran. Tugasnya memberikan penyuluhan dan latihan kepada
buruh kapal trnwl dan nelayan tradisional bagaimana menggunakan
alat jaring baru yang dibuat dari gill net dan purse seine.
Buruh yang terancam kehilangan pekerjaan, bukan hanya di laut,
tetapi juga di darat. "Begitu trawl dihapus secara konsekuen
oleh pemerintah, hari itu pula pabrik saya tutup," ucap Haji
Sulchan, pemilik pabrik cold starage PT Cejamp, Semarang. Pabrik
patungan (Sulchan-perusahaan Jepang) ini mempekerjakan 500 buruh.
Tanpa trawl pabrik pendingin ini tak bisa bekerja, karena dia
memang menyandarkan suplai udang dari peralatan yang kini
terlarang itu.
Di samping memiliki cold storage. Haji Sulchan boleh disebut
"raja trawl". Dia memiliki 20 kapal yang beroperasi di
Kalimantan ditambah delapan di perairan Ambon dan Irian. "Saya
terus bicara dan peras otak agar buruh itu tak menganggur. Saya
pernah merencanakan mengekspor buah-buahan ke luar negeri. Tapi
saya pikir tak ada gunanya. Saya takut setelah usaha itu besar,
pemerintah membunuh lagi usaha saya itu," katanya.
King Horse
Di ruangan tamu yang artistik di runahnya yang bertingkat di
Semarang, kepada wartawan TEMPO Putu Setia dia kembali mengritik
pemerintah yang melarang trawl. Bentrokan antara nelayan
tradisional dengan trawl yang dijadikan alasan larangan menurut
dia masalah kecil. Dan bisa diatasi. "Meningkatkan yang lemah
tidak harus membunuh yang kuat," jawabnya. Dia beranggapan
nelayan tradisional itu perlu dibina dan ditingkatkan
peralatannya. "Kalau mereka sudah mampu, maka batas operasi
trawl dijauhkan lagi dari pantai," katanya.
Di Cirebon cold storage PT Indra Deli yang beroperasi sejak i975
juga diancam gulung tikar. Pabrik yang memproduksi udang beku
dengan label King Horse ini mengalami kemerosotan tak terelakkan
dengan dilarangnya trawl. "Saat ini kami hanya memproduksi 2,5
ton udang sehari. Jelas tak bisa menutupi biaya produksi yang Rp
35 juta tiap bulan. Kalau tak ada lagi udang dengan sangat
menyesal pabrik akan kami tutup," kata Kembaren, direktur Indra
Deli.
Surabaya Marine Product (SMP) yang berkapasitas 4 ton (biasanya
menampung 3 ton udang perhari), sekarang hanya menerima sekitar
100 kg saja. "Padahal batas minimal untuk menutup biaya produksi
2,5 ton," ulas Sumarto, direktur SMP, cabang Surabaya.
PT Tofico di Surabaya cuma kebagian beberapa ratus kilo udang
sehari. Tapi SMP belum putus asa untuk menutup pabrik, karena
masih ada harapan nelayan mau menangkap udang dengan jaring
'gondrong'.
Dari Sumatera Utara belum terdengar kekecewaan para pengusaha
cold storage. PT Indra Deli, Es Sari Tirta, Surya Sakti (milik
T.D. Pardede), Amal Wahana, Redbon dan Timur Jaya masih jalan
normal. "Tak ada masalah. Stok kami untuk enam bulan mendatang,
sampai 1981 cukup," kata Hendrik Benny, Wakil direktur PT Indra
Deli di Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini