Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Laporan kepentingan bersama

The independent commission on international development issues, oleh: willy brandt penerbit: leppenas, 1980 resensi oleh: juwono sudarsono.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

UTARA-SELATAN: Program Untuk Kelangsungan Hidup. Laporan The Independent Commission on International Development Issues, pimpinan: Willy Brandt Edisi Indonesia diterbitkan: LEPPENAS, 1980 Tebal: 356 hal. IKHTIAR mencapai keadilan ekonomi internasional sejak tahun 1945 telah dicoba beberapa kali di berbagai forum internasional. Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa secara implisit mencanangkan perlunya ikhtiar ini dalam pasal yang bertalian dengan dekolonisasi ekonomi dan "rekonstruksi dunia." Seruan menuju tatanan baru ekonomi internasional dikemukakan dalam pasal ekonomi hasil Konperensi Asia-Afrika di Bandung, April 1955. Tahun 1964, di Kairo, konperensi puncak negara non-blok pun berpetuah tentang perombakan sistem ekonomi internasional. Bekas perdana menteri Kanada Lester Pearson, menjelang dasawarsa tahun 1970-an, memimpin komisi yang kemudian menghasilkan dokumen Partners in Development. Tapi baru tahun 1974 negara kaya sungguh tersentak, ketika negara OPEC menaikkan secara drastis harga minyak bumi sebagai akibat perang Oktober 1973 di Timur Tengah. Dan dalam tahun 1974 dan 1975 dunia lebih sering mendengar tentang Tatanan Baru Ekonomi Internasional, setelah sidang-sidang istimewa Majelis Umum PBB resmi menerima resolusi berikut "program aksi" menuju sistem ekonomi internasional yang lebih adil. Kemiskinan Absolut Laporan Willy Brandt yang kini dibukukan ini, yang dimulai tahun 1977, meliput semua segi kehidupan ekonomi internasional dewasa ini pangan, energi, tatanan moneter dunia, perlucutan senjata, kependudukan, perusahaan transnasional, perdagangan, dan sebagainya. Hampir semua segi dibahas dengan jelas dan terus terang, berikut rekomendasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh di Utara maupun di Selatan. Sebagaimana telah ditulis dalam aneka ragam laporan dari berbagai komisi, forum dan konperensi sebelumnya, tema pokok yang kemudian diajukan ialah : yang kaya harus membantu yang miskin. Kalau tidak, pada akhirnya masalah-masalah yang timbul di negara miskin akan memukul kembali perekonomian negara kaya. Selang beberapa tahun, tema pokok ini sulit diterima di kalangan negara kaya. Kalaupun diterima, terbatas pada beberapa kalangan akademik dan pemerintahan yang amat terbatas pengaruhnya atas kemampuan politik yang diperlukan untuk menmenangkan kebijaksanaan di kabinet, parlemen, pers dan kaum berpengaruh. Muncul pertanyaan yang penting apakah realistis menghimbau negara kaya, sekalipun dengan argumen demi "kelangsungan hidup" bersama untuk mau mengadakan rangkaian tindakan perombakan struktural dan prosesual yang diperlukan? Lebih pokok lagi, kalau sudah disepakati secara global (orang akan lebih sering mendengar dan membaca "negosiasi global" dalam tahun-tahun mendatang) bisakah kesepakatan itu diterjemahkan dalam program-program politik? Orang bosan membaca pasal kemauan politik (political will). Bukankah permasalahannya sudah meningkat pada pasal kemampuan politik (political capacity)? Forum politik yang ditempuh negara Selatan umumnya dilakukan di dua jalur. Di Kelompok-77, yang beranggotakan hampir 120 negara dengan pendapatan per kapita berkisar antara US$ 200 sampai US$1000 setahunnya. Dan di gerakan non blok dengan jumlah anggota sekitar 93 negara. Di kedua forum itu diperjuangkan "perombakan struktural" sebagaimana telah berulang kali dilakukan di konperensi-konperensi UNCTAD (terakhir kali di Manila bulan September 1979). Dituntutlah misalnya Program Terpadu mengenai komoditi guna menaikkan dan mempertahankan harga komoditi pembaharuan sistem moneter yang memungkinkan negara Selatan secara langsung kian otomatis memperoleh cadangan devisa secara lebih luas dan lebih mudah pengaturan baru tentang pembayaran utang suatu code of corduct mengenai teknologi yang meringankan biaya pengalihan dari Utara ke Selatan. Jalur kedua, yang mungkin lebih penting, ialah keinginan negara Selatan mengubah institusi. Misalnya tawar menawar mengenai perluasan makna "satu negara. satu suara" di forum Majelis Umum, sehingga lebih memperhatikan nasib negara lemah. Juga tentang penentuan struktur dan kewenangan Otorita Dasar Laut, yang kerangkanya sudah dicapai pada konperensi Hukum Laut baru-baru ini di Jenewa tetapi yang harus dikonfirmasikan pada bulan Maret tahun depan di New York. Dan tentang Dana Bersama yang diperlukan untuk membiayai Program Terpadu mengenai komoditi. Bagaimana perspektif negara Utara? Di mata mereka, sistem yang ada sekarang pada dasarnya baik. Yang perlu diubah hanyalah sedikit-sedikit di sana-sini, sebab perubahan yang baik dan "bertanggung jawab" haruslah didasarkan atas stabilitas sistem yang ada, bukan malah merombaknya. Juga taktik negara Utara untuk melemahkan tuntutan negara Selatan pun tak kalah menariknya, istimewa kalau semata-mata dilihat dari segi intelektual. Kepada negara miskin dituntut kemampuan untuk menghilangkan "kemiskinan absolut". Keadaan dalam negeri masingmasing negara Selatan itulah, kata mereka, yang harus diperbaiki dulu sebelum ada tuntutan keadilan internasional . Ko-optasi Perbedaan penglihatan inilah yang mengakibatkan "dialog Utara-Selatan" sejak tahun 1974-1975 itu macet. Bahkan manuver politik yang diajukan negara Utara untuk memecah belah strategi bersama negara Selatan cukup lihai. Salah satu yang secara psikologis berhasil, ialah pengalihan tuntutan keadilan ekonomi internasional terhadap negara-negara OPEC agar mereka lebih banyak membantu negara Dunia Ketiga. Beberapa peristiwa skandal di negara Selatan (Idi Amin, "Kaisar" Bokassa) membantu pula negara Utara memperkuat tudingan ke arah perbaikan dan pembenahan dalam negeri, sebagai prasyarat tuntutan perbaikan struktur intcrnasionai . Menghadapi keadaan seperti ini, negara kaya cenderung menggunakan siasat ko-optasi: agar perombakan sistem dilakukan secara bertahap sambil sesedikit mungkin mengalah pada tuntutan negara Selatan. Contoh strategi ko-optasi ini misalnya, negara Selatan yang relatif kaya dan kuat akan diberi tempat dalam forum-forum klub negara kaya. Maksudnya memberi kesan pembaharuan di dalam sistem yang ada, tanpa mengubah keunggulan dan dominasi negara Utara. Sudah barang tentu negara Selatan yang dimaksud (Arab Saudi, Brazilia, Meksiko, Nigeria, dan barangkali Indonesia) cukup waspada untuk tidak terjerat ke dalam permainan "kasih satu, ambil dua." Lagipula, bila strategi kooptasi ditempuh oleh masing-masing negara Selatan, implikasi politik yang dihadapi cukup serius: keretakan dalam solidaritas negara Selatan. Dasawarsa tahun 1980-an sudah mulai. Bulan Desember mendatang seminar dan diskusi tentang Utara-Selatan akan dibuka di Indonesia. Peningkatan kemampuan intelektual dan kesadaran aspek politik tentang masalah ekonomi internasional niscaya akan tercapai. Semoga saja pada akhir dasawarsa ini, orang tidak melupakan Laporan Willy Brandt -- sebagaimana sekarang, orang sudah melupakan Laporan Pearson sepuluh tahun yang lalu. Juwono Sudarsono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus