Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menilai orang kaya tidak berhak menggunakan liquefied petroleum gas atau LPG 3 Kg bersubsidi. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Miftahul Huda menyebut penggunaan elpiji bersubsidi oleh orang kaya bisa dianggap haram dalam hukum Islam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Miftah mengatakan elpiji bersubsidi adalah barang yang telah diperuntukkan untuk kelompok yang membutuhkan. Maka dari itu, orang kaya sebaiknya tidak menggunakan elpiji bersubsidi. "Orang kaya tidak berhak menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan gas bersubsidi," kata Miftah seperti diberitakan MUI Digital pada 6 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Miftah, gas elpiji 3 kilogram yang mendapat subsidi pemerintah hanya boleh digunakan rumah tangga miskin, usaha mikro, hingga nelayan dan petani miskin. "’Semua itu sudah diatur distribusinya dan termasuk sanksi serta hukuman atas orang yang menyalahgunakan," ucap Miftah.
Miftah menilai ajaran Islam melarang seseorang secara tidak berhak menggunakan hak orang lain. "Adapun dalam hukum Islam, penggunaan BBM dan gas bersubsidi oleh orang kaya yang tidak berhak adalah haram," ujar Miftah.
Miftah menyampaikan sejumlah prinsip yang menjadi dasar agama Islam mengharamkan tindakan itu. Di antaranya karena melanggar prinsip keadilan, penyelewengan amanah dari pemerintah untuk rakyat miskin, hingga dapat dianggap sebagai ghasab atau memakai hak orang lain tanpa izin.
Maka dari itu, Miftah mengimbau agar masyarakat lebih bijak dalam memanfaatkan subsidi pemerintah dan tidak mengambil apa yang bukan hak mereka. "Perbuatan ini termasuk dosa besar," ucap Miftah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia sebelumnya mengatakan nilai subsidi energi yang berpotensi tidak tepat sasaran mencapai Rp 100 triliun. Jumlah tersebut mencapai 22,9 persen dari total alokasi subsidi dan kompensasi energi tahun ini yang sebesar Rp 435 triliun.
“Kurang lebih sekitar 20-30 persen subsidi BBM dan listrik itu berpotensi tidak tepat sasaran, dan itu gede angkanya, kurang lebih Rp 100 triliun,” ujar Bahlil di Jakarta, Senin, 4 November 2024.
Lebih lanjut, Bahlil mengatakan bahwa adanya subsidi dari pemerintah bertujuan untuk disalurkan kepada warga yang berhak menerima subsidi. “Tidak mau kan subsidi yang harusnya itu untuk saudara-saudara kita yang ekonominya belum bagus, kemudian malah diterima oleh saudara-saudara kita yang ekonominya sudah bagus,” ujarnya.
Pilihan Editor: Gurih Tambang Ormas Keagamaan