Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Probolinggo- Arham masih cukup hapal dengan momen-momen ambruknya PT Kertas Leces (PTKL) yang berada di Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anak perusahaan BUMN ini tutup pada Juli 2015 setelah sebelumnya beberapa kali buka tutup produksi kertas. Pada September 2018, pabrik kertas tertua di Indonesia ini dinyatakan pailit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemudian pada Februari 2023, Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa pabrik yang membuat kertas yang digunakan Presiden Soekarno untuk menuliskan naskah proklamasi ini, resmi bubar.
"Kami masih berjuang untuk pelunasan hak-hak kami," kata aktivis Serikat Karyawan PT Kertas Leces ini dihubungi TEMPO, Kamis, 23 Februari 2023.
Para eks karyawan PTKL mempunyai posko perjuangan yang berada di Kecamatan Leces. Posko tersebut buka tiap hari sebagai wadah memperjuangkan aspirasi mantan buruh yang belum memperoleh hak-haknya sebagaimana mestinya seperti yang telah diatur dalam perundang- undangan.
Arham mengaku baru menerima hak gaji Rp 19 juta dari total sebesar Rp 32 juta. "Masih terhutang sekitar Rp 14 juta," kata Arham.
Dengan gaji sebagai pendamping desa, Arham harus menghidupi empat anaknya. "Anak saya empat, tiga masih kuliah di Malang dan satu mondok di pesantren di Jombang," ujarnya.
Hal senada diungkapkan Karyono, bekas Manajer HRD PT Kertas Leces. Dihubungi TEMPO, Kamis sore, 23 Februari 2023, Karyono yang saat ini tinggal di Leces mengatakan ada sebanyak 1.879 buruh kertas Leces yang masih memiliki hak-hak yang belum terselesaikan pemenuhannya.
"Saya memegang kuasa penyelesaian sebanyak 1.277 karyawan," ujar dia.
Dia mengatakan Presiden Joko Widodo baru-baru ini meneken Peraturan Pemerintah yang mengatur soal pembubaran BUMN beserta alasan hukumnya. "Untuk pembubaran PTKL, alasan hukumnya adalah karena pailit. Sementara BUMN lainnya karena antara lain berhenti beroperasi total serta karena alasan lainnya," ujarnya.
Ia menambahkan alasan hukum pembubaran BUMN itu menentukan nasib Hak-hak Normatif (H2N) eks karyawan PTKL. "Untuk karyawan eks PTKL, pembubaran perusahaan karena pailit membuat nasib gak gak normatif karyawan paling terpuruk dibanding nasib karyawan BUMN lainnya," kata dia.
Saat ini, gaji terutang masih 40 persen. "Karyawan baru mendapatkan 60 persen dari total gaji terhutang," ujar Karyono.
Yang lebih membuat ngenes eks karyawan PTKL adalah pesangon terutang baru terbayar 0,5 persen. "Pesangon yang telah berumur 8 tahun ini baru terbayar 0,5 persen. Semisal, pesangonnya Rp 100 juta, baru terbayar Rp 500 ribu," kata Karyono.
Selanjutnya: Penyelesain hak terutang karyawan tergantung aset terjual
Kondisi ini karena alasan hukum pailit sehingga penyelesaian hak-hak terutang karyawan tergantung pada aset yang terjual. "Dengan adanya PP baru tersebut, maka kami akan menempuh perjuangan di jalur pengadilan dan di luar pengadilan. Kami sangat merasakan penderitaan 1.277 eks karyawan PTKL ini," katanya
Di satu sisi, dia mengakui putusan pailit ada kepastian hukumnya. Namun, pada prakteknya membuat hak-hak karyawan menjadi tidak menentu sebagaimana seperti dalam UU. "Dan praktek dalam pemberesan pailit menimbulkan persoalan baru yaitu masalah sosial kemanusiaan," ujarnya.
Karyono mengungkapkan nasib sebagian besar eks karyawan PTKL pasca penutupan pabrik kertas sangat tidak menentu. "Mereka hidup ala kadarnya. Pontang-panting dalam bertahan hidup," katanya.
Sebanyak 200 eks karyawan meninggal dunia sebelum menikmati hak-hak mereka. "Memang takdir ada di tangan Tuhan. Tapi mereka meninggal ada sebabnya. Salah satunya sakit dan tidak ada biaya untuk berobat. Akhirnya meninggal dunia," ujarnya.
Belum lagi cerita banyak anak eks karyawan PTKL yang putus sekolah hingga kasus perceraian. "Karena itulah, kami masih akan terus memperjuangkan hak-hak kami," kata Karyono.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.