Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2024 mencatatkan surplus sebesar US$ 2,93 miliar atau sekitar Rp47,9 triliun. Hal ini memperpanjang tren surplus yang telah terjadi 49 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febri Kacaribu mengatakan kinerja perdagangan menunjukkan ketahanan di tengah aktivitas ekonomi yang melambat. "Ini memberikan indikasi ketahanan ekonomi kita cukup kuat," ujarnya dalam pernyataan resmi, Kamis, 20 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski demikian, ia mengatakan masih perlu untuk waspada dan terus memperkuat dukungan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan. Untuk itu, ia mengatakan pemerintah akan melakukan beberapa cara, termasuk memantau dampak perlambatan global terhadap ekspor nasional dan menyiapkan langkah antisipasi lewat dorongan keberlanjutan penghiliran serta diversifikasi mitra dagang utama.
Surplus neraca dagang pada Mei sebelumnya diumumkan oleh Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statistik, M. Habibullah. Surplus kali ini ditopang oleh surplus neraca perdagangan nonmigas yang besarnya US$ 4,26 miliar.
"Komoditas nonmigas yang penyumbang surplus adalah barang mineral, lemak/minyak hewan nabati serta besi dan baja," ujarnya Rabu, 19 Juni 2024.
Sedangkan neraca perdagangan migas mengalami defisit sebesar US$ 1,33 miliar di bulan Mei 2024. Komoditas nonmigas penyumbang defisit adalah hasil minyak dan minyak mentah.
Surplus neraca perdagangan kali ini juga meningkat dibanding April yang sebesar US$ 2,72. Secara kumulatif, dari Januari hingga Mei 2024 surplus neraca perdagangan mencapai US$ 13,06 miliar.
Surplus terjadi karena nilai ekspor yang lebih besar dari nilai impor. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor Mei 2024 tercatat sebesar US$ 22,33 miliar, atau naik 13,82 persen secara bulanan.
Adapun nilai impor tercatat sebesar US$ 19,40 miliar, atau naik 14,82 persen secara bulanan. Penyumbang utama peningkatan nilai impor adalah impor bahan baku penolong, sedangkan peningkatan ekspor disumbang oleh sektor industri pengolahan.