TENAGA kerja Indonesia mendapat perlindungan baru mulai awal
Januari 1978. Selama ini program asuransi bagi tenaga kerja
belum merata. Kini pemerintah segera akan membuatnya merata ke
semua propinsi, kecuali Timor Timur, dengan Perum Astek.
Asuransi sosial tenaga kerja (astek), menurut Menteri
Nakertranskop Dr. Subroto, adalah bersifat wajib untuk disertai
oleh seluruh perusahaan, ermasuk milik negara. Dan pengertian
"wajib" di sini ialah supaya semua menyertai program Perum
Astek. Perusahaan Umum baru ini dipastikan akan menggaet banyak
bisnis dari tangan dunia usaha sejenis lainnya yang sudah
berjalan. Maka Dewan Asuransi Indonesia (DAI) telah tidak
gembira. DAI ini mewakili 65 perusahaan (12 asuransi jiwa dan 53
asuransi kerugian milik swasta maupun negara.
Herman Syaftari, ketua DAI, yang juga Dir-Ut PT Asuransi
Jiwasraya mengatakan bahwa dewan itu sudah meminta pemerintah
supaya meninjau kembali program tersebut. "Adanya (Perum) Astek
ini tidak kelop," kata Syaftari kepada TEMPO. "Ia akan mencaplok
porsi perusahaan-perusahaan asuransi yang sudah ada, padahal
dalam GBHN pemerintah berkewajiban menciptakan iklim yang sehat
bagi perkembangan dunia usaha."
Perum Astek akan diberi monopoli terutama untuk tiga program -
asuransi kecelakaan kerja, asuransi kematian dan tabungan hari
tua bagi karyawan. Ketiganya adalah tergolong gampang dilola,
malah untuk itu perusahaan-perusahaan asuransi memasang tarif
lebih murah. "Tarif Astek lebih mahal jatuhnya," kata Subagio
Sutjitro, Dir-Ut PT Asuransi Jiwa Buana Putra.
Dalam tahap pertama tiap perusahaan yang memakai 100 tenaga
kerja, atau bila membayar upah sedikitnya Rp 5 juta sebulan,
dikenakan wajib mengikuti Perum Astek. Sedikitnya 1,6 juta orang
yang akan dicakupnya, menurut taksiran Menteri Subroto, Selain
meluaskan program asuransi, Perum ini juga rupanya bertujuan
menghimpun dana dalam jumlah besar.
Namun program tabungan llari tuanya, jika tidak menawarkan bunga
lebih tinggi daripada Tabanas, dikuatirkan akan dirasakan
masyarakat sebagai paksaan. "Suatu sistim pemasaran yang
bersifat paksaan," kata Syaftari, "pasti akan membuat masyarakat
bukan gandrung, sebaliknya membenci asuransi."
Dari 12 perusahaan asuransi jiwa di Indonesia sampai tahun lalu
terkumpul 1,5 juta peserta dengan jumlah premi Rp 16,5 milyar.
Tahun ini pemasukan premi diperkirakan sekitar Rp 20 milyar.
Dengan monopoli, sungguh besar porsi itu.
Tapi jika monopoli tetap dijalankan, demikian Sutjitro dari PT
Buana Putra selanjutnya, "itu berarti lonceng kematian kami."
Dia terutama ngeri rupanya karena ada ketentuan pemerintah
supaya kontrak asuransi kolektip yang sedang berjalan, setelah
satu tahun, harus dihentikan dan dipindahkan ke Perum Astek.
Direktur Slamet Sudirga dari Pan Union lnsurance dan PT Asuransi
Jiwa Panin Putra, seperti lain rckannya, rela menyambut
kelahiran Perum Astek asalkan tidak main monopoli. Sudirga
menantang: "Marilah kita saling berkompetisi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini