OPEC, kelompok 13 produsen minyak, membikin harga. Dunia
terpaksa menerimanya. Tapi CIPEC, kelompok 9 produsen tembaga,
selalu menerima harga. Kini dunia mempunyai surplus tembaga
sebanyak Ik. dua juta ton yang membuat harganya terus merosot.
Dalam keadaan harganya mencapai titik terendah - sekitar 54
dollar sen per pound -- minggu lalu, Conseil Intergouvernemental
Des Pays Exportateurs De Cuivre mengadakan konperensi tingkat
Menterinya yang ke-12 di Jakarta. CIPEC ini pada hakekatnya
mewakili cuma 40% dari produksi dunia dan suara negara
berkembang. Para anggotanya - Chili, Peru, Zaire, Zambia,
Indonesia, Australia, Papua Nugini, Mauritania dan ugoslavia
(empat belakangan ini adalah anggota asosiasi) - dihadapkan pada
persoalan: Apakah perlu dikurangi produksi guna mencegah
kemerosotan harga selanjutnya?
Pengurangan produksi tembaga sesungguhnya sudah terjadi,
terutama sejak 1974. Zambia, yang ekonominya sangat bergantung
pada ekspor tembaga menganjurkan supaya CIPEC serer.tak
mengurangi lagi produksi 10-15%. Usulnya tidak diterima tapi
konperensi menyerahkan pada kemauan masing-masing. Tahun 1975,
CIPEC juga pernah memutuskan supaya produksi dikurangi, tapi
ternyata pelaksanaannya tidak efektif. Soalnya ialah di antara
negara pembeli tembaga terdapat juga produsen besar, a.l. Canada
dan Amerika Serikat. Mereka yang 60% -- produsen di luar CIPEC
-- itu memegang peranan lebih menentukan dalam soal harga.
Seruan Sadli
Ada pula pemikiran dari CIPEC, a.l. suara Indonesia supaya
didesak pembentukan bufferstock atau cadangan penyangga.
Tembaganya supaya disediakan oleh kaum produsen, sedang uang
tunai -- diperlukan US$ 1 milyar -- supaya ditarik dari kaum
pembeli untuk cadangan besar guna menjaga kestabilan harga.
Jadi, ini memerlukan pendekatan bersama antara produsen dan
pembeli yang sudah dicoba via Kelompok 77 di UNCTAD dengan
gagasan Program Terpadu Untuk Komoditi.
Beberapa minggu sebelumnya di Jenewa, pembicaraan tentang
gagasan itu gagal. Kegagalan itu membuat suasana lebih suram
dalam konperensi CIPEC itu. Namun Indonesia yang menjadi
jurubicara dari Kelompok-77 di Jenewa memompakan semangat supaya
CIPEC tetap percaya pada dan membantu usaha via UNCTAD itu.
"Janganlah kita memisahkan diri dari mereka (Kelompok-77)," kata
Dr. Moh. Sadli yang mengetuai delegasi Indonesia. "Jika memisah,
kita tidak bakal mencapai Persetujuan Timah Internasional dan
Bufferstock." Konperensi CIPEC kelihatannya menerima seruan
Sadli ini.
Bagi Chili, Peru, Zambia dan Zaire terutama sekali, tembaga
merupakan komoditi ekspornya yang utama--soal hidup atau mati.
Bagi Indonesia, yang mengekspor konsentrat tenbaga-(sebanding
65.000 ton dalam bentuk logam tahun ini sesudah diolah di Jerman
Barat dan Jepang), komoditi itu jauh di bawah daftar ekspornya.
Namun kemerosotan harga ini mungkin menghalang rencana investasi
baru, a.l. di Sulawesi Tengah, yang diduga kaya biji tembaga. PT
Freeport Indonesia, modal Amerika, yang semula akan memperluas
investasinya di pegunungan Jayawijaya, Irian Jaya, dikuatirkan
merobah pikirannya. Para ahli, menurut Sekjen Departemen
Pertambangan Soetaryo Sigit, menghitung bahwa investasi baru
tidak akan beruntung jika harga di bawah US$ 1 per pound.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini