REY Altin Lumenta, yang baru dua bulan menduduki kursi direktur utama PT Garuda Indonesian Airways, muncul dengan sodokan-sodokan mengagetkan. Di depan ribuan karyawan yang berkumpul di hanggar Kemayoran memperingati hari ulang tahun ke-36 badan usaha milik negara itu, pekan lalu, dia mengumumkan kenaikan gaji 60% - 70% bagi seluruh karyawan darat dan pilot. Struktur gaji juga diubah, hingga tak ada lagi seorang pilot pesawat F-28 hanya bergaji pokok Rp 15 ribu. Singkat kata, mulai Januari itu, struktur gaji di sana lebih sederhana, karena sejumlah tunjangan yang, ternyata, tak banyak menambah penghasilan itu dihilangkan. Sebagai kompensasinya, gaji pokok para karyawan dan pilot dinaikkan cukup besar. "Kalau dulu gaji pokok karyawan darat dan pilot cuma sekitar 3% dari penghasilan, sekarang masing-masing jadi 55% dan 16%," ujar Lumenta. Dengan demikian, seorang pilot yang karena suatu hal terpaksa tidak bisa terbang (grounded) tidak jatuh miskin mendadak lantaran selama itu hanya menerima gaii pokok. Penyederhanaan dan penyesuaian gaji itu menyebabkan penghasilan pilot pesawat F28, yang semula hanya Rp 455 ribu, naik jadi Rp 743 ribu. Sejak itu pula seorang penerbang Boeing 747 bisa membawa pulang Rp 1,22 juta setiap bulan, sedangkan sebelumnya hanya sekitar Rp 700 ribu. Batas usia pensiun juga diperpanjang dari 50 tahun jadi 55 tahun. Tapi asuransi penerbang, untuk sementara, masih 8.000 poundsterling. Sebelum itu, hanya beberapa hari sesudah memasuki kantor Garuda di Jalan Juanda, Jakarta, Lumenta memutuskan untuk menyediakan makan dan minuman ringan di setiap pesawat penerbangan pendek. Peningkatan pelayanan, yang akibatnya dirasakan oleh konsumen secara langsung itu, membuat pengeluaran Garuda bertambah Rp 1,5 juta setiap harinya. Jumlah itu, tentu, kecil dibandingkan dengan kenaikan gaji tadi. Dari mana Lumenta memperoleh uang untuk membiayai perubahan itu? Sumbangan penghasilan cukup besar, boleh jadi, bakal datang dari usaha menyewakan lima pesawat berbadan lebar, yang selama ini lebih banyak ngendon di darat. Dua DC-10, satu Boeing 747 (untuk masa sewa tidak lebih dari satu tahun), dan dua Airbus A-300 sudah ditawarkannya. Kepada peminat, dia meminta agar semua pesawat itu bisa ditarik kembali ke jajaran Garuda jika musim haji tiba untuk mengangkut jemaah - kecuali sebuah DC-10. SAS dari Skandinavia dan Air Tunis dari Tunisia sudah menyatakan minat mereka. Bahkan Air Tunis minta agar Garuda menyediakan sekaligus penerbangnya bagi A-300. Apa boleh buat, usaha menyewakan pesawat itu tampaknya tak terelakkan ditempuh mengingat enam DC-I0 yang dimiliki, misalnya, rata-rata hanya terbang 4,5 sampai 5,5 jam sehari. Padahal, untuk menutup biaya operasi, setiap pesawat seharusnya terbang antara 10 dan 14 jam sehari. Dengan menyewakan lima pesawat berbadan lebar itu, Lumenta berharap bisa meningkatkan penggunaan pemakaian kapasitas menjadi rata-rata 11 jam. Yang lebih penting dari menyewakan pesawat itu, Garuda akan memperoleh tambahan penghasilan US$ 350 ribu setiap bulan per pesawat. Dengan cara ini, direksi Garuda berusaha mengubah kekayaan perusahaan yang semula merupakan "beban" menjadi sebuah "kekuatan". Di luar dugaan direksi lama, tentu, sejumlah pesawat berbadan lebar - yang dibeli pada 1980-1981 - dalam dua tahun terakhir lebih terasa sebagai beban. Untuk meningkatkan penggunaan kapasitas pesawat itu. Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin pernah berniat memperbanyak trayek, bukan menciutkan. Tapi usaha itu, karena menyangkut juga kepentingan negara lain, tidak mudah dilakukan. Usaha memperoleh tambahan penghasilan, sambil membantu program pengembangan pariwisata, akan dilakukannya melalui angkutan khusus: Visit Indonesia Fare. Dengan program ini, seorang turis yang sudah tiba di sini hanya perlu mengeluarkan uang US$ 500 untuk bisa menyinggahi 33 kota pilihan selama 60 hari di luar biaya hotel. Ia bisa juga hanya menyinggahi 10 kota selama 20 hari dengan tarif US$ 400, atau lima kota dalam lima hari dengan biaya US$ 300. Sementara itu, dari penerbangan regulernya, mulai 28 Januari itu, Garuda memberlakukan Promotional Fare. Lewat fasilitas ini, seseorang yang membeli tiket pulang pergi akan membayar leblh murah 5%. Potongan cukup menarik juga akan diberikan untuk penumpang reguler berombongan pulang pergi. Tahun 1985 ini jumlah kewajiban Garuda memang cukup besar: perusahaan harus menyisihkan US$ 234 juta untuk mencicil utangnya. Tahun berikutnya, cicilan itu turun, akan meliputi US$ 207 juta. Sekalipun Garuda masih punya uang US$ 74 juta di kantung, jumlah kewajiban yang harus ditepatinya itu cukup membuat usaha Garuda mengarungi angkasa terseok-seok. Kewajiban itu, tentu, akan mengganggu perputaran dana perusahaan bila penghasilan Garuda dari trayek reguler jauh di bawah perkiraan: Karena itu, direksi akan berusaha agar tahun ini si burung besi itu jangan sampai berada pada landasan yang paling dasar, alias kepentok kesulitan likuiditas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini