PELITA Air Service diam-diam sudah, siap disapih dan bahkan mampu memberi tambahan penghasilan bagi perusahaan induknya. Perusahaan penerbangan itu, semula, memang dimaksudkan sebagai beban biaya Pertamina. Baru sejak 1981 Pelita mulai menguntungkan, sehingga Pertamina mencabut subsidi operasinya. "Kini subsidi gaji, yang Rp 280 juta per bulan, kalau dicabut pun kami tak keberatan," kata Dirut Wage Mulyono, dalam suasana HUT ke-14 Pelita Air Service, pekan lalu. Penghasilan perusahaan penerbangan carter terbesar di Indonesia itu tahun lalu mencapai sekitar Rp 135 milyar. Biaya operasional, menurut Wage, cuma sekitar 60% dari penghasilan. Dengan demikian, setoran Pelita kepada Pertamina, 1984, sekitar Rp 54 milyar. Pendapatan Pelita Air Service sebesar itu berasal dari pengoperasian 123 pesawat terbang, termasuk 73 helikopter. Perusahaan penerbangan ini semula hanya merupakan salah satu bagian integral Pertamina, yakni Divisi Penerbangan, dengan hanya memiliki tujuh pesawat terbang. Asetnya, yang sewaktu diresmikan oleh dirut Pertamina (waktu itu) Ibnu Sutowo, 1970, baru sebesar US$ 200 juta, kini sudah meningkat mencapai US$ 650 juta. Sebagian besar armada Pelita dibelikan Pertamina. Tapi sejak 1981 Pelita sudah mampu membeli sendiri 15 pesawat, termasuk enam helikopter. Pesawat-pesawat yang dibeli sendiri oleh Pelita ialah sebuah Gulf Stream-3, lima Dash-7, dua F-28, sebuah Albatros, empat heli Sikorsky-76, sebuah heli Bell-206, dan sebuah heli Bell-212. "Semua itu berharga US$ 107,2 juta, dibayar tunai," tutur Wage. Selain itu, ada lagi dua Dash-7 yang dibeli dengan kredit ekspor pemerintah Kanada, dan sebuah F-28 yang diperoleh dengan kredit ekspor pemerintah Belanda. "Cicilan kredit itu sangat kecil: hanya 5% dari omset tahun lalu yang US$ 135 juta," kata Wage pula. Armada yang dibelikan Pertamina, menurut dirut Pelita itu, tak semuanya ekonomis - dalam arti bisa dioperasikan sesuai dengan medan. Misalnya enam pesawat Transal, yang sebenarnya didesain untuk keperluan militer, memakai banyak komponen dari baja sehingga berat. Memang kuat, dan bisa mendarat di landasan pendek, tapi boros. Untuk angkutan barang, tentu kalah bersaing dengan segala jenis pesawat Boeing. "Akibatnya, kami sering kalah tender dan sangat tergantung pada bantuan Pertamina," tutur Wage Mulyono. Demikian pula empat heli Hughes-500, kalah bersaing dengan Puma. Karena itu, Pelita hendak menghapus pesawat-pesawat yang dinilai tidak ekonomis, atau juga sudah tua. Bahkan dua pesawat F-27 sudah diganti dengan Dash-7, enam pesawat Sky Van diganti dengan Casa-212, dan heli Hughes diganti dengan BO-105. Para langganan pencarter pesawat Pelita hanyalah pemerintah, kontraktor asing Pertamina, dan Pertamina sendiri. Pelayanan kepada pejabat pemerintah dan tamu negara berikut angkutan transmigrasi, tahun lalu, menghasilkan US$ 36 juta. Penghasilan terbesar diterima dari kontraktor asing, US$ 84,6 juta, sedangkan dari Pertamina sendiri cuma US$ 14,4 juta. Pelita masih merasakan pelayanannya terbatas, karena masih kekurangan tenaga penerbang, terutama untuk helikopter. Dari hampir 2.250 karyawan Pelita, cuma 300-an yang menjadi crew, dan sebagian jadi teknisi perbengkelan di Pondok Cabe. Dewasa ini perusahaan masih harus mengontrak penerbang asing untuk helikopter. Tahun lalu, Pelita cuma mendapatkan lima pilot lokal. "Kalau begini terus, enam tahun lagi baru kami bisa menggantikan 29 tenaga asing itu, dengan catatan pesawat tidak bertambah," kata Wage. Sejak tahun lalu, anak perusahaan Pertamina ini sudah mulai dipersiapkan untuk berjalan sendiri. Tinggal lagi menghitung berapa besar aset Pertamina dalam Pelita Air Service. "Nantinya, status Pertamina di sini sebagai penyerta modal," kata dirut Pelita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini