Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pahlawan Nasional Agus Salim selama kariernya terkenal sebagai penerjemah, aktivis politik, wartawan, diplomat ulung, alim dan intelektual kelas berat. Namun tahukah Anda bahwa Agus Salim pernah bercita-cita masuk sekolah kedokteran di Belanda selepas Hollandsch-Inlandsche School. Otaknya yang encer membuat anak Sutan Muhammad Salim, hoofd djaksa di Riau, itu terkenal hingga ke kediaman Raden Ajeng Kartini di Jawa Tengah. Kartini pun merelakan beasiswanya ke Belanda dialihkan ke Salim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Salim adalah sosok negarawan dan pembela perempuan. Pada kongres kedua Jong Islamieten Bond (JIB) di Solo, akhir 1927, secara demonstratif Agus Salim menegaskan sikapnya. Sebagai penasihat organisasi kepemudaan Islam itu, ia memerintahkan tabir yang memisahkan kelompok pria dan wanita disingkirkan. "Ini bertolak belakang dengan segala sesuatu yang menjadi kelaziman. Sikap ini nyata tidak benar," kata Salim kepada peserta kongres. Baca: Hari Kartini 2018: Kesetaraan Lewat Secangkir Kopi dan Teh
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perintah tersebut tentu menjadi tanda tanya hadirin. Membuat pembatas di antara mereka merupakan kebiasaan khas muslim. Ini kerap terjadi pada rapat yang digelar, termasuk dalam kongres pertama dua tahun sebelumnya di Yogyakarta. Karena itu, Ketua JIB Wiwoho meminta Salim memberi penjelasan kepada peserta pertemuan.
Di atas mimbar, Salim berceramah mengenai duduk perkara yang jadi sikapnya dengan tegas. Menurut dia, tujuan pendirian JIB adalah mengenal dan mengamalkan Islam secara sempurna. Caranya, segala sesuatu yang bukan hukum Islam atau tak bersumber pada ajaran Islam harus disingkirkan. "Pengucilan kaum wanita merupakan suatu adat Arab, bukan keharusan agama Islam," ujar Salim, yang kemudian menuliskannya pada majalah Het Licht, Tahun II, 1926. Baca: Hari Kartini 2018, Mengapa 4 Tokoh Wanita Ini Sering Disebut?
Dia lalu menukil Surat An-Nur ayat 30 untuk mendukung argumentasinya yang menyebutkan kaum lelaki diperintahkan menjaga pandangan mata dan memelihara rasa malunya. Dalam ayat selanjutnya, hal serupa dituntut untuk dilakukan perempuan. Dengan demikian, tanpa tirai pun, laki-laki dan perempuan bisa berkomunikasi.
Sutan Sjahrir bersama Agus Salim, Charles Tambu, Sumitro Djojohadikusumo dan Soedjatmoko dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success, 1947. Renungan dan Perjuangan Bianglala
Wakil Ketua Partai Sarekat Islam Indonesia ini juga menyitir pendapat Dr Th.W. Juynboll. Tokoh orientalis ini menyatakan, sebelum zaman Islam, penyelubung tubuh wanita dilazimkan di dunia Timur, termasuk oleh kaum Kristen. Namun kebiasaan itu rupanya malah tidak lazim di lingkaran Nabi Muhammad. "Lagi pula, pengucilan kaum wanita pada rapat-rapat JIB tidak menguntungkan untuk propaganda himpunan kita," katanya. Baca: Camilan Sehat Jennifer Lawrence agar Tetap Langsing
Pembelaan Salim terhadap perempuan juga diperlihatkan ketika muncul "serangan" kepada Raden Ajeng Kartini. Sebuah tulisan di Bendera Islam menghujat putri Rembang itu. Buku Door Duisternis tot Licht, yang berisi surat-surat pribadinya dan diterbitkan ketika dia sudah meninggal, dianggap melecehkan Islam. Salim mengajukan sejumlah alasan bahwa celaan itu tidak pada tempatnya.
Menurut dia, surat-surat Kartini merupakan pendapat pribadi yang tidak dimaksudkan untuk diterbitkan. Dari sisi pemikiran, pandangan Kartini dianggap belum stabil ketika ia mengungkapkan pikirannya pada usia dini. Selain itu, informasi mengenai Islam masih minim diperoleh putri Jawa ini. Ketika itu, Quran memang tidak boleh disalin atau diartikan.
MAJALAH TEMPO