Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Pajak Bahan Bakar Kendaraan di Jakarta Naik 10 Persen, Pengamat: Picu Masalah Sosial

Kenaikan pajak bahan bakar kendaraan bermotor di Jakarta sebesar 10 persen berpotensi memicu masalah sosial baru.

30 Januari 2024 | 19.35 WIB

Pengendara kendaraan motor saat membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite di sebuah SPBU di Jakarta, Selasa 23 Januari 2024. PT Pertamina (Persero) belum menghapus BBM jenis Pertalite saat ini. Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan pihaknya saat ini masih mengkaji rencana itu. Rencana penghapusan Pertalite sebelumnya disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Ia mengatakan pihaknya mengusulkan agar mulai tahun ini tak menjual BBM yang kadar oktannya (RON) di bawah 91, sehingga menghapus Pertalite yang spesifikasinya saat ini RON 90. Keputusan ini sekaligus menegaskan Pertamina bergerak mengikuti aturan standar emisi Euro 4 dari pemerintah. Nicke mengatakan setelah Pertalite dihapus, perusahaan pelat merah ini akan menggantinya menggunakan produk baru RON 92.Produk itu adalah Pertamax Green 92 yang merupakan campuran antara RON 90 (Pertalite) dengan 7 persen Bioetanol (E7). TEMPO/Subekti.
Perbesar
Pengendara kendaraan motor saat membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite di sebuah SPBU di Jakarta, Selasa 23 Januari 2024. PT Pertamina (Persero) belum menghapus BBM jenis Pertalite saat ini. Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso mengatakan pihaknya saat ini masih mengkaji rencana itu. Rencana penghapusan Pertalite sebelumnya disampaikan Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati. Ia mengatakan pihaknya mengusulkan agar mulai tahun ini tak menjual BBM yang kadar oktannya (RON) di bawah 91, sehingga menghapus Pertalite yang spesifikasinya saat ini RON 90. Keputusan ini sekaligus menegaskan Pertamina bergerak mengikuti aturan standar emisi Euro 4 dari pemerintah. Nicke mengatakan setelah Pertalite dihapus, perusahaan pelat merah ini akan menggantinya menggunakan produk baru RON 92.Produk itu adalah Pertamax Green 92 yang merupakan campuran antara RON 90 (Pertalite) dengan 7 persen Bioetanol (E7). TEMPO/Subekti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat otomotif Yannes Martinus Pasaribu mengatakan, salah satu imbas langsung dari kenaikan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) adalah peningkatan biaya operasional kendaraan konvensional atau ICE. Imbas ini akan dirasakan oleh semua pengguna kendaraan bermotor. Mulai dari pengemudi pribadi, transportasi umum, hingga bisnis layanan logistik. Menurutnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan memicu naiknya biaya operasional transportasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

"Ini mungkin berdampak pada harga layanan transportasi umum dan biaya pengiriman barang. Lalu, bisa berkontribusi pada inflasi umum, mengingat BBM adalah komponen penting dalam berbagai aktivitas ekonomi Indonesia saat ini," ujarnya ketika dihubungi Tempo pada Selasa, 30 Januari 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah resmi menaikkan tarif PBBKB sebesar 10 persen. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan tersebut diteken oleh Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono pada 5 Januari 2024. 

Wajib pajak bahan bakar ini adalah orang pribadi atau badan penyedia bahan bakar kendaraan bermotor. Pasal 24 Ayat 1 merincikan besaran tarif pajak yang diberlakukan. "Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10 persen," demikian tertulis di dalam badan beleid tersebut. 

Besaran tarif pajak ini meningkat dua kali lipat daripada sebelumnya yang hanya 5 persen. Hal ini tercantum di dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 

Secara keseluruhan, kata Yannes, kenaikan tarif pajak bahan bakar tersebut kemungkinan akan berdampak pada keputusan pembelian kendaraan. Khususnya dalam mengubah preferensi konsumen terhadap jenis kendaraan yang lebih hemat energi dalam operasionalnya. Seperti misalnya kendaraan ramah lingkungan atau kendaraan listrik (EV).

Kendati ada potensi, namun peralihan ke EV tidak hanya ditentukan oleh kenaikan harga bahan bakar saja. Namun, yang tak ketinggalan adalah faktor-faktor lain seperti perkembangan teknologi, infrastruktur pendukung, serta kebijakan pemerintah secara keseluruhan. Menurutnya, kenaikan pajak bahan bakar bisa menjadi satu dari banyak langkah yang diperlukan untuk mendorong adopsi EV secara lebih luas.

Menjadi Masalah Sosial

Yannes menyatakan, kenaikan tarif pajak bahan bakar dapat dianggap tepat jika bertujuan untuk mendorong keberlanjutan lingkungan dan penggunaan energi bersih. Akan tetapi, efektivitasnya tergantung pada ketersediaan alternatif yang terjangkau. Baik seperti kendaraan listrik maupun transportasi umum yang efisien. Tanpa adanya alternatif tersebut, kebijakan kenaikan tarif pajak bahan bakar akan jadi masalah sosial. 

Ia menambahkan, alternatif kendaraan listrik yang terjangkau di Indonesia saat ini masih belum memadai. Demikian juga dengan transportasi publik. "Oleh karena itu,  kenaikan tarif pajak BBM untuk mendorong adopsi kendaraan listrik perlu diiringi dengan upaya-upaya untuk meningkatkan ketersediaan alternatif yang terjangkau."

Ia menekankan, pemerintah DKI perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak memberatkan kelompok sosial yang berpendapatan rendah. Di samping itu, kebijakan ini juga harus menjadi bagian dari strategi lingkungan yang lebih luas, dengan dukungan sosial dan ekonomi yang tepat bagi yang terdampak. 

Ia mencontohkan seperti pemberian subsidi atau insentif bagi pembelian kendaraan listrik. "Pemerintah perlu memberikan subsidi atau insentif bagi pembelian EV dengan prosedur yang dipermudah, transparan dan ada kepastian, serta mendorong pembangunan infrastruktur pendukung kendaraan listrik yang lebih memadai," kata Yannes.

Tak hanya bagi penduduk DKI Jakarta, Yannes menilai kenaikan tarif pajak bahan bakar ini berpotensi memiliki dampak terhadap daerah lain. Baik dampak secara langsung maupun tidak langsung. "Terutama provinsi Jawa Barat dan Banten, sebagai penyangga DKI. Mengingat PKB (pajak kendaraan bermotor) sekitar 40 persen PAD (pendapatan asli daerah) Jawa Barat dan PBBKB berkontribusi pada sekitar 15 persen PAD-nya."



close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus