BUKAN hanya industri besi beton dan tekstil yang sedang
senin-kemis. Suasana tidak menentu sudah merembet pula ke petani
dan pengekspor anggrek. "Dari empat eksportir besar anggrek,
tidak satu pun yang masih aktif sekarang ini", begitu diakui
Sunarto, Kepala Divisi Ekspor Koperasi Anggrek Jakarta.
Sementara itu banyak pula petani anggrek telah pindah usaha
menjadi tukang batu, dagang sate dan berdagang sayur-mayur. "Ini
akibat petani tidak percaya lagi atas promosi yang dilakukan
pemerintah, karena kesulitan pemasarannya", begitu Sunarto
menambahkan.
Untuk menggalakkan produksi dan ekspor anggrek, pemerintah
memang telah berkali-kali mengadakan pameran. April lalu,
misalnya, di Jakarta diadakan Pekan Anggrek Nasional yang
menghabiskan biaya Rp 86 juta. Sedang BPEN (Badan Pengembangan
Ekspor Nasional) yang bernaung di bawah Menteri Perdagangan,
beberapa waktu yang lalu juga mengadakan pameran di Jeddah
Palace Hotel, Arab Saudi, bekerjasama dengan DKI Jaya dan
Garuda. Meskipun pamerannya tidak sukses, namun khusus terhadap
anggrek perhatian pengunjung sungguh luar biasa. Maklumlah,
"anggrek baru pertama kali itu masuk ke Arab Saudi", kata
seorang pengusaha anggrek yang ikut ke Jeddah. Bahkan pada waktu
pameran dibuka ada seorang sheik yang kontan mau memborong semua
anggrek yang dipamerkan.
2000 Seminggu
Tawaran sheik itu terang saja tidak dapat dilayani oleh panitia.
Kendati begitu, pameran dagang di Jeddah itu ternyata
mendatangkan order yang lumayan besarnya bagi para pengekspor
anggrek. "Ada perusahaan yang minta dikirimi 2000 tangkai
anggrek seminggu", kata Sunarto. Harga tidak jadi soal. Malah
kalau ada kesanggupan fihak Indonesia, perusahaan Trust Agency
itu - yang berpusat di Jeddah - berminat membuka cabang di
Ryadh, yang khusus melayani impor anggrek dari sini. Pasarannya
adalah orang-orang asing di samping bangsawan-bangsawan Arab
Saudi.
Untuk tahap pertama, tawaran Trust Agency itu saja sudah cukup.
Sebab jumlah yang diminta kira-kira sama dengan seluruh
kemampuan produksi anggota koperasi anggrek Jakarta. Pokoknya,
kata Sunarto, "pasaran Arab Saudi ini harus kita rebut".
Penerbangan langsung Jakarta-Jeddah dengan pesawat Garuda
memungkinkan ekspor anggrek yang cepat ke sana. Pesaing-pesaing
yang kuat seperti Singapura dan Bangkok, sampai kini belum punya
izin penerbangan langsung ke Arab Saudi.
Menurut pengamatan wartawan TEMPO, Yunus Kasim, Arab Saudi kini
memang kehausan kembang. Dengan biaya yang besar rumah-rumah di
sekitar kota Jeddah-Baru mulai banyak ditanami rupa-rupa
kembang. Di Jeddah, hanya terdapat satu toko bunga hidup milik
seorang usahawan Libanon yang menjual kembang atau tanaman hias
yang diimpor dari Negeri Belanda, seperti gladiol, chysant,
mawar dan kembang basah lainnya. Anggrek, sampai kini belum
tampak. Tapi meskipun sudah datang permintaan dari Jeddah,
pelaksanaan ekspornya tampaknya masih sulit. Alasan para
pengusaha anggrek Jakarta, kedengarannya memang klasik:
kesulitan modal.
Seperti dituturkan Sunarto, untuk minta kredit kepada bank
swasta terbentur persyaratan teknis perbankan. Sementara bank
pemerintah sendiri belum ada yang bersedia membantu. Padahal
untuk mulai mengekspor diperlukan modal minimal Rp 25 juta
sebagai modal kerja, biaya pengemasan, transpor dan ekspedisi.
Makanya dengan nada jengkel, sang ketua koperasi anggrek itu
berkata: "Anggrek hanya dipromosikan, tapi mana fasilitasnya?
Kredit Rp 25 juta untuk eksportir lemah yang dijanjikan dalam
paket ekspor 1 April lalu belum ada yang kecipratan ke pengusaha
anggrek".
"Tampaknya kita baru senang show saja", tukas seorang pengurus
koperasi yang lain. Sebagai perbandingan dikemukakannya bahwa
untuk pameran-pameran anggrek itu pemerintah tak segan-segan
mengeluarkan biaya jutaan rupiah, tapi untuk ekspor sepeser pun
belum ada.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini