Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Beda Jokowi dan Prabowo Membuat Kebijakan Pemangkasan Anggaran

Presiden Jokowi pernah membuat kebijakan pemangkasan anggaran. Beda cara dan prosedur dengan Prabowo.

10 Februari 2025 | 20.00 WIB

Beda Jokowi dan Prabowo Membuat Kebijakan Pemangkasan Anggaran
Perbesar
Beda Jokowi dan Prabowo Membuat Kebijakan Pemangkasan Anggaran

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pemangkasan anggaran pernah terjadi di zaman Presiden Jokowi pada 2016.

  • Saat itu anggaran negara cekak sehingga beberapa pos anggaran dibekukan.

  • Cara yang dipakai Prabowo sekarang lebih membahayakan politik anggaran penopang pertumbuhan ekonomi.

PEMOTONGAN belanja kementerian dan lembaga negara pada awal atau tengah tahun bukan kali ini terjadi. Presiden Joko Widodo pernah melakukannya pada 2016, tepat ketika Sri Mulyani ditunjuk menjadi Menteri Keuangan menggantikan Bambang Brodjonegoro. Pemangkasan anggaran berlanjut pada tahun-tahun berikutnya. Orang-orang kemudian mengenalnya sebagai auto adjustment atau blokir anggaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Namun kebijakan yang dilakukan Presiden Prabowo Subianto lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2025 berbeda dibanding sebelumnya. Tak hanya kontras, pemangkasan anggaran era Prabowo juga mengkhawatirkan, baik dalam prosesnya maupun dampaknya terhadap politik anggaran yang baik dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Mari kita tengok Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga dalam Rangka Pelaksanaan APBN Tahun 2016. Instruksi ini merupakan penghematan anggaran era Jokowi. 

Masuk menggantikan Bambang Brodjonegoro, Sri Mulyani saat itu mengusulkan penghematan pada 2016 karena melihat penerimaan negara jauh dari target. Untuk meredam pelebaran defisit, Sri Mulyani memilih mengurangi belanja. Ia membekukan APBN. Artinya, programnya tetap ada, tapi anggarannya tak cair.

Sama seperti saat ini, anggaran yang diblokir pada 2016 adalah kegiatan yang dianggap tidak produktif, seperti perjalanan dinas, paket rapat, langganan daya dan jasa, honorarium tim atau kegiatan, biaya rapat, iklan, operasional perkantoran, pembangunan gedung kantor, pengadaan kendaraan dinas operasional, anggaran kegiatan yang belum terikat kontrak, serta kegiatan-kegiatan yang tidak mendesak atau bisa dilanjutkan ke tahun anggaran berikutnya.

Sama seperti Inpres Nomor 1 Tahun 2025 yang dikeluarkan oleh Prabowo, Inpres Nomor 4 Tahun 2016 mencantumkan besaran anggaran yang akan dihemat. Bedanya, jika dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 Prabowo sudah mengunci angka penghematan Rp 306,6 triliun—Rp 256 triliun dari anggaran kementerian dan lembaga serta Rp 50,5 triliun dari dana transfer ke daerah—dalam Inpres Nomo 4 Nomor 2016, penghematan masih dalam bentuk target, yaitu Rp 50,016 triliun.

Target penghematan itu hanya menyasar belanja pemerintah pusat. Jokowi tidak menyentuh dana transfer ke daerah karena menjadi hak pemerintah daerah masing-masing.

Hanya dengan membaca dua Inpres ini, dan aturan turunannya, kita bisa membedakan tujuan penghematan ala Jokowi serta Prabowo. Jokowi, di bawah pengaruh Menteri Keuangan Sri Mulyani, ingin mengamankan APBN dengan menghemat semua pengeluaran yang bisa direm di seluruh kementerian dan lembaga tanpa kecuali.

Sementara Prabowo, di bawah pengaruh orang-orang dekatnya, yaitu Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Sufmi Dasco Ahmad—meskipun Menteri Keuangan tetap dijabat Sri Mulyani—berusaha memotong anggaran agar bisa mengongkosi kebutuhan belanja kabinet besar serta program prioritas, seperti makan bergizi gratis

Itu sebabnya, anggaran kementerian dan lembaga nontinggi negara kena pangkas, sedangkan anggaran Kementerian Pertahanan, kepolisian, serta Badan Gizi Nasional tak terkena kebijakan pemangkasan anggaran.

Agar pemangkasan anggaran ala Prabowo tampak seperti efisiensi, mata anggaran yang dipotong adalah pos biaya yang dianggap pemborosan. Misalnya, alat tulis kantor (ATK), perjalanan dinas, rapat, dan biaya jasa konsultasi.

Namun politik anggaran dengan cara seperti itu memicu kisruh. Pemerintah, misalnya, meminta kementerian dan lembaga negara memotong belanja ATK hingga 90 persen. Padahal ada beberapa kementerian dan lembaga yang program kerja utamanya masuk ke mata anggaran ATK, seperti penerbitan kartu tanda penduduk.

Pemerintah juga meminta kementerian dan lembaga memotong 53,9 persen anggaran perjalanan dinas. Padahal ada lembaga yang kinerjanya diukur melalui perjalanan dinas. Misalnya, Ombudsman yang perlu banyak bepergian untuk menggali informasi dan menyelesaikan pelanggaran pelayanan publik.

Penghematan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 2025 makin kisruh karena tidak hanya menyasar program yang selama ini disinyalir sebagai lemak anggaran. Penghematan juga menembak otot-otot anggaran. Otot yang selama ini berperan sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi dan penopang kerja pemerintahan.

Inpres dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 tentang Efisiensi Belanja Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2025, misalnya, meminta 34,3 persen belanja infrastruktur di masing-masing kementerian dan lembaga dipangkas.

Akibatnya, anggaran Kementerian Pekerjaan Umum—yang sebagian besar kerjanya membangun infrastruktur dasar—terpangkas signifikan. Anggaran Kementerian PU dipotong Rp 81 triliun hingga tersisa Rp 29 triliun. Anggaran cekak ini membuat Kementerian PU tak bisa menganggarkan perawatan jalan nasional sejengkal pun pada tahun ini.

Terakhir, yang membuat Inpres Nomor 1 Tahun 2025 mengkhawatirkan adalah menisbikan anggaran APBN Perubahan (APBN-P). Proses APBN-P diganti dengan rapat persetujuan di masing-masing komisi DPR bersama mitra pemerintah. Padahal pemangkasan alokasi anggaran kementerian dan lembaga negara seharusnya dilakukan melalui mekanisme perubahan APBN karena pemotongan terjadi pada pokok-pokok kebijakan fiskal pemerintah hingga pergeseran anggaran antarprogram. 

Lagi-lagi, ini berbeda jauh dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2016. Kendati blokir anggaran saat itu berlaku sejak Inpres dikeluarkan, realisasi pemotongannya dilakukan setelah APBN-P 2016 disahkan. Lewat APBN-P itu, DPR bisa memaksa pemerintah memilih program prioritas di tengah keterbatasan anggaran.

Belakangan, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad meminta semua komisi DPR menunda rapat dengan kementerian dan lembaga yang akan mengesahkan pemangkasan anggaran. Meski tak ada penjelasan tujuan penundaan, perintah Ketua Harian Partai Gerindra ini bisa memperbaiki mekanisme cacat pemangkasan anggaran ala Prabowo.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus