Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pembatasan Premium <font color=#CC0000>Tinggal Cerita</font>

Pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi mulai Oktober urung dijalankan. Dewan Perwakilan Rakyat menyetujui kenaikan volume bensin bersubsidi asal tak melampaui plafon anggaran negara.

27 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BELUM lagi pukul sebelas siang waktu Indonesia tengah, stasiun pengisian bahan bakar umum di kilometer empat Jalan Soekarno Hatta, Balikpapan, Kalimantan Timur, sudah kosong melompong. Tidak seorang pun petugas kelihatan. Seutas rantai besi merintangi jalan masuk. Sebuah pesan singkat yang tertulis di papan kecil menunjukkan apa yang terjadi: solar habis. Toh, beberapa mobil angkutan kota tetap memilih antre.

Belakangan ini pompa bensin yang ditutup pada jam jam sibuk menjadi pemandangan biasa di kota penghasil minyak dan gas itu. Menjelang akhir tahun ini, penutupan bakal lebih sering. Bukan karena libur Natal atau tahun baru, tapi sisa jatah bensin bersubsidi daerah itu kian tipis. Menurut Bambang Irianto, Asisten Manajer Relationship Pertamina Unit Pemasaran VI Balikpapan, pemakaian Premium dan solar bersubsidi hampir melebihi kuota. "Jatah tahun ini ada kemungkinan hanya cukup sampai November," ujar Bambang kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Bukan hanya di Kalimantan sisa jatah bahan bakar bersubsidi menipis. Akibat konsumsi yang melonjak tinggi, jatah beberapa daerah juga hampir habis. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat realisasi penyaluran bensin bersubsidi sampai Agustus lalu mencapai 68,93 persen alias 25,16 juta kiloliter. Padahal jatah tahun ini hanya 36,5 juta kiloliter. Kuota Premium sudah terpakai 69 persen, sedangkan solar terpakai 76 persen (lihat tabel).

Bila kuota terlampaui, pos subsidi bahan bakar dalam bujet negara akan membengkak. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2010, subsidi tahun ini dianggarkan Rp 88,9 triliun. Dengan laju pemakaian seperti sekarang, bisa bisa sampai akhir tahun akan terpakai 39,2 juta kiloliter. Gawat. Pos subsidi harus ditambah. Padahal setiap kenaikan konsumsi 1 juta kiloliter akan menambah subsidi Rp 1,9 triliun. Ada dua kemungkinan yang sama sama pahit bila kuota terlampaui. Anggaran pemerintah jebol atau jatah bahan bakar bersubsidi habis sebelum Desember datang. Pemerintah sedang merencanakan untuk mengerem konsumsi-program "usang" yang selalu dirancang tapi tak kunjung mampu menahan tingkat konsumsi.

Semua usaha dikerjakan, termasuk memanfaatkan jaringan sosial media Twitter. Tiba tiba Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa rajin berkicau. Selasa dua pekan lalu, Pak Menteri menghabiskan banyak waktu untuk nge twit. Menjelang magrib, pukul 17.24, Hatta menyebutkan dalam status Twitter nya: studi Universitas Indonesia menunjukkan, pemilik kendaraan pribadi tahun 2005 ke atas tergolong masyarakat cukup mampu membeli bahan bakar minyak nonsubsidi.

Empat menit kemudian, kicauan baru Hatta keluar lagi: sudah seharusnya masyarakat mampu tidak diberi subsidi. Sehingga dana bisa dialihkan untuk infrastruktur dan pelayanan publik. Selanjutnya, kicauannya tentang bensin muncul setiap dua sampai empat menit. Menurut Hatta, kalau kebijakan penghematan diterapkan secara bertahap di kawasan "Jabodetabek", pemerintah bisa menghemat anggaran Rp 2 triliun per tahun. "Perlu sosialisasi dan dukungan agar kebijakan dapat dijalankan."

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo menambahkan bahwa kajian tentang pemakaian bensin merupakan kerja sama Universitas Indonesia dengan direktoratnya dan Lembaga Minyak dan Gas (Lemigas). Studi ini mengkaji beberapa skenario pembatasan konsumsi bahan bakar minyak bersubsidi. Misalnya pembatasan berdasarkan kapasitas mesin (cc), tahun keluar kendaraan, dan peruntukan kendaraan (umum atau pribadi). Ini sesungguhnya bukan ide baru. Dua tahun lalu kajian yang sama dilakukan, tapi tanpa ada tindakan lanjutan.

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas melontarkan ide sistem klusterisasi. Maksudnya, menurut Kepala BPH Migas Tubagus Haryono, Pertamina dianjurkan menjual bensin nonsubsidi lebih banyak di kawasan yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi, misalnya daerah elite di Jakarta atau kota besar lain. Di daerah daerah itu Premium tetap tersedia, tapi volumenya dikurangi. Cara ini diyakini bisa mendorong konsumen beralih memakai Pertamax atau Pertamax Plus.

BPH Migas semula optimistis bahwa klasterisasi bisa dimulai pada 1 Oktober nanti-sambil menunggu kebijakan yang disiapkan pemerintah. Dari sisi infrastruktur, menurut Tubagus, tidak begitu sulit mengubah dispenser Premium menjadi Pertamax. Dua pekan lalu, BPH Migas sudah menerbitkan surat perintah kepada Pertamina untuk pelaksanaan klusterisasi. Surat itu menjadi dasar hukum klusterisasi.

Berbagai pertemuan digelar untuk mematangkan rencana tersebut. Rapat yang terakhir diadakan pada Selasa pekan lalu, dihadiri BPH Migas, Pertamina, dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas). Pertamina diminta memperbanyak dispenser Pertamax atau Pertamax Plus. Perusahaan minyak dan gas negara itu juga sempat melempar rencana pembatasan kuota Premium secara bertahap. Awalnya pembatasan dilakukan di 1.300 stasiun pompa bensin di Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta. Jatah Premium semua pompa bensin akan dikurangi delapan persen. Langkah ini akan dilanjutkan ke daerah lain di Jawa dan Bali. Targetnya, dalam sebulan konsumsi berkurang 105 ribu kiloliter.

Rencana bagus ini kandas. Rabu pekan lalu, dalam rapat kerja Komisi Energi dengan pemerintah, sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menggugat ide itu. Dalam pertemuan itu hadir Evita, Tubagus, dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Ketua Komisi Energi Teuku Rifky Harsya meminta rencana pembatasan konsumsi bensin bersubsidi dikaji lebih dalam. DPR menghendaki rencana tidak dipublikasikan sebelum dibahas bersama anggota Dewan.

Isma Yatun dari Fraksi PDIP mempertanyakan mengapa mobil tahun 2005 ke atas tidak boleh memakai Premium bersubsidi. Anggota Fraksi PDIP lain, Effendi Simbolon, dan anggota Fraksi PKS, M. Idris Luthfi, beranggapan subsidi bukan cuma diberikan kepada masyarakat tidak mampu tanpa mengindahkan warga negara yang lain. "Jangan sampai subsidi dicabut kemudian ekonomi mandek," ujar Idris. Mereka menyarankan agar pemerintah merapikan distribusi bensin bersubsidi lebih dulu. Soalnya, menurut anggota DPR itu, selama ini masih banyak terjadi kebocoran, misalnya di wilayah perairan dan industri.

Pemerintah tak menampik kebocoran di jalur distribusi. Untuk menanggulanginya, pemerintah merapikan jalur distribusi dan memperketat pengawasan. Tampaknya langkah ini berhasil. Perkiraan konsumsi tahun ini yang ditaksir bakal menembus 40 juta kiloliter kini direvisi menjadi hanya 39,2 juta kiloliter.

Soal pembatasan konsumsi, Evita Legowo memastikan belum ada keputusan pemerintah untuk melaksanakannya. Saat ini, kata dia, pemerintah meminta penyediaan Pertamax dan Pertamax Plus di semua pompa bensin. Pasokan dua jenis bahan bakar itu akan ditambah bila diperlukan. BPH Migas dan Pertamina juga diminta menata dan menyiapkan infrastruktur. Saat ini, baru sekitar 1.300 dari total 4.665 pompa bensin yang menjual Pertamax dan Pertamax Plus. Penataan pompa bensin di Jawa saja butuh waktu tiga sampai enam bulan. Perlu dua tahun untuk penataan di seluruh Indonesia.

Tapi ada soal baru. Belum jelas siapa yang menanggung biaya investasi tambahan, misalnya membangun tangki timbun atau dispenser baru. Pemerintah perlu bicara dengan Pertamina. Soalnya, pengusaha pompa bensin mencak mencak dan ogah mengeluarkan biaya. Alasannya, distribusi bensin bersubsidi itu merupakan tugas pemerintah. "Kenapa biayanya harus dibebankan kepada swasta?" tanya Ketua Umum Hiswana Migas Eri Purnomohadi.

Menurut Eri, dalam rapat koordinasi pada Selasa pekan lalu, BPH Migas ternyata belum memiliki konsep penataan yang jelas. "Akan ditata seperti apa, caranya bagaimana, tujuannya apa, ternyata belum tahu." Belum jelas juga siapa yang menanggung risiko bila masyarakat protes lantaran tak kebagian Premium, menurut Eri. Alhasil, Hiswana Migas meminta petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dibuat seterang mungkin.

Rencana pembatasan konsumsi bensin per 1 Oktober yang pernah dilempar BPH Migas belum jalan, tapi protes sudah berdatangan. Di Kediri, Jawa Timur, Kamis pekan lalu, ratusan mahasiswa Universitas Kadiri unjuk rasa mengecam rencana tersebut.

Toh, kisruh menolak pembatasan konsumsi kelihatannya bakal surut. Rabu pekan lalu, DPR menyetujui usul Kementerian Energi untuk menaikkan kuota bensin bersubsidi tahun ini-dari 36,5 juta kiloliter menjadi 39,2 juta kiloliter, sesuai dengan angka perkiraan konsumsi hingga akhir tahun. DPR mengajukan syarat: tambahan subsidi tidak melebihi plafon alias pagu dalam anggaran negara.

Mungkinkah itu dicapai? Menteri Hatta optimistis. Menurut dia, anggaran negara akan tetap aman meski volume bensin bersubsidi ditambah. Sebab, realisasi harga pembelian minyak mentah Indonesia saat ini US$ 77 per barel, di bawah asumsi dalam APBN P 2010 sebesar US$ 80. Penguatan nilai rupiah juga mengkompensasi penambahan volume.

Keputusan ini melegakan pengusaha pompa bensin. "Itu jalan terbaik," kata Eri. Tapi, untuk masa masa mendatang, seperti kata Eri, perlu konsep matang untuk menata konsumsi bahan bakar masyarakat. Beban anggaran negara akan terlalu berat bila subsidi terus membengka.

Retno Sulistyowati, Nieke Indrietta, SG Wibisono (Balikpapan)

Penyaluran BBM Bersubsidi

Agustus 2010Kuota APBN-P 2010Perkiraan Realisasi
Premium14,99421,4523,509
Minyak tanah1,6453,8002,430
Solar8,51811,25113,294
Total25,15736,50539,234

(Juta Kiloliter)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus