Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia Moh Abdi Suhufan mengungkapkan penambangan pasir laut ilegal di sejumlah wilayah Tanah Air. Menurutnya, aktivitas penambangan sudah terjadi sebelum Presiden Joko Widodo atau Jokowi meneken Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Iya betul (banyak penambangan ilegal). Ada info dugaan ekspor pasir kwarsa ke sebuah negara di Asia dari Natuna," ujarnya saat dihubungi Tempo, Sabtu, 3 Juni 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kendati demikian, dia mengaku masih harus memastikan ekspor pasir laut tersebut ilegal atau bukan. Namun, ia menekankan selama ini penambangan pasir laut sudah terjadi untuk berbagai kepentingan pembangunan reklamasi.
Misalnya pembangunan dan penambangan pasir laut di Makasar New Port yang pasirnya berasal dari perairan sekitar Selat Makasar, penambangan pasir di Pulau Rupat Riau, dan penambangan di Pulau Lingga.
Di Kepulauan Riau sendiri, ia berujar moratorium ekspor pasir sudah lama dilakukan. Namun yang terjadi, penambangan pasir untuk pembangunan fasilitas swasta. Itu pun, menurutnya, sulit diawasi.
Abdi menjelaskan penambangan yang terjadi selama ini dilakukan oleh pemegang izin usaha penambangan (IUP) dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Pemerintah Daerah. Baru belakangan dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja lalu Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 28 Tahun 2021, ada kewajiban pelaku usaha untuk memperoleh izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL).
Menurutnya, pengawasan terhadap izin IUP inilah yang selama ini lemah. Pasalnya, aktivitas penambangan pasir laut kurang mendapat pengawasan di lapangan. Padahal aktivitas penambangan tersebut amat berdampak terhadap ekologi dan kehidupan sosial masyarakat pesisir.
Selanjutnya: Abdi menuturkan imbas dari penambangan tersebut....
Abdi menuturkan imbas dari penambangan tersebut, yakni pencemaran perairan dan konflik masyarakat yang kerap kali diabaikan oleh pemerintah. "Padahal masyarakat sudah menyampaikan pengaduan dan protes," tuturnya.
Seperti diketahui, ekspor pasir laut sebelumnya dilarang oleh pemerintah melalui Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Dalam SK itu disebutkan latar belakang pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. Kerusakan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir.
Alasan lainnya, yaitu belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Proyek reklamasi di Singapura yang mendapatkan bahan bakunya dari pasir laut perairan Riau pun dikhawatirkan memengaruhi batas wilayah antara kedua negara.
Namun, Jokowi membuka kembali keran ekspor pasir laut melalui Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid yang diteken pada 15 Mei 2023 lalu itu mengatur pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.
Kebijakan Jokowi ini mendapatkan banyak kritik karena berpotensi merusak ekosistem laut dan menggangu kehidupan masyarakat pesisir. Sementara itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kini tengah membentuk tim kajian untuk merumuskan aturan teknis pelaksanaan kebijakan tersebut.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini