Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sinyal baru dari The Fed yang bikin tambah waswas.
Bank Indonesia mungkin akan berhitung ulang untuk menahan suku bunga acuan.
Cadangan devisa juga berpotensi tergerus.
BERSIAPLAH menghadapi reli kenaikan suku bunga yang amat panjang! The Federal Reserve sudah memulainya pekan lalu, menaikkan bunga rujukan dari 0,25 persen menjadi 0,5 persen. Pasar finansial global sudah cukup lama mempersiapkan diri dan menyesuaikan harga menghadapi kenaikan ini sehingga tak ada guncangan besar. Harga saham malah naik di mana-mana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun ada sinyal baru dari The Fed. Hingga akhir tahun ini, masih akan ada kenaikan bunga enam kali lagi, jauh lebih kerap ketimbang perkiraan semula yang hanya tiga kali kenaikan. Ada kemungkinan pula, pada kenaikan berikutnya, bunga The Fed akan naik lebih tinggi, tak cuma seperempat persen seperti pada Maret ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan The Fed ini akan mengubah banyak hal di pasar finansial global. Ekonomi Indonesia tentu terkena dampaknya. Yang sudah pasti, ongkos berutang dalam dolar Amerika Serikat akan meningkat. Likuiditas di pasar global juga makin ketat. Baik pemerintah Indonesia maupun korporasi yang selama ini menikmati uang murah dan melimpah di pasar global harus mengubah strategi. Berutang dari pasar akan makin sulit dan mahal.
Naiknya bunga The Fed cepat atau lambat juga akan merembet ke suku bunga domestik. Bank Indonesia harus berhitung ulang. Pekan lalu, BI memang masih mampu menahan suku bunga BI tetap 3,5 persen. Jika The Fed tidak agresif menaikkan bunga pada tahun ini, pasar masih berharap BI juga bisa tetap menahan bunga lebih lama. Kini, setelah ada sinyal bahwa The Fed akan menaikkan bunga enam kali lagi, BI sepertinya harus mengambil opsi yang tak diinginkan: ikut menaikkan bunga.
Tekanan terhadap BI tidak hanya datang dari kenaikan bunga The Fed. Ada inflasi global yang tak mungkin tertahan, pasti akan merembet ke berbagai harga di dalam negeri. Ketika BI menahan bunga pekan lalu, inflasi di Indonesia masih rendah. Bahkan pada Februari 2022 terjadi deflasi, minus 0,22 persen. Tapi, memasuki Maret ini, gejolak harga sudah pasti terekam menjadi inflasi. Harga minyak goreng sampai daging sapi sudah melonjak tinggi. Naiknya inflasi di dalam negeri akan memaksa BI menaikkan bunga lebih cepat dan mungkin lebih kerap juga.
Selain rambatan inflasi global, ekonomi Indonesia yang mulai tumbuh cepat karena meredanya wabah Covid-19 akan menambah daya dorong inflasi. Sudah menjadi tradisi pula datangnya bulan puasa dan Lebaran, di awal kuartal kedua 2022, bakal mendongkrak permintaan berbagai barang dan jasa sehingga otomatis menaikkan harganya. Inflasi akan meninggi.
Tekanan inflasi yang lebih kuat juga akan datang dari tingginya harga minyak mentah dunia. Akibat invasi Rusia ke Ukraina, Badan Energi Internasional (IEA) mengeluarkan prediksi buruk: krisis pasokan minyak akan terjadi secara global. Dus, harga minyak dunia akan bertahan tinggi dalam tempo cukup lama. Proyeksi ini, jika benar terjadi, dapat memicu masalah besar buat ekonomi Indonesia.
Pemerintah harus mengambil keputusan sulit. Jika pemerintah mengizinkan Pertamina menaikkan harga jual bahan bakar minyak, inflasi akan naik lebih tinggi. Alternatifnya, harga BBM bertahan tidak naik dan Pertamina yang menanggung kerugian. Opsi inilah yang selama ini berjalan.
Masalahnya, kemampuan finansial Pertamina tentu ada batasnya. Jika Pertamina sudah tak kuat lagi, bisa-bisa pasokan BBM akan menyusut sehingga timbul antrean panjang di mana-mana. Selain bisa menghambat roda ekonomi, kelangkaan BBM sangat rawan memicu gejolak sosial. Pilihan terakhir adalah menyuntikkan subsidi tambahan kepada Pertamina, yang jumlahnya bisa melampaui Rp 100 triliun dalam setahun ini. Kondisi keuangan pemerintah akan memburuk jika harus memikul beban tambahan sebesar itu.
Masih ada beban lain bagi ekonomi Indonesia. Saat ini Indonesia mengimpor sekitar 1 juta barel minyak per hari. Makin tinggi harga minyak dunia, makin besar cadangan devisa milik pemerintah yang bakal terkuras. Surplus neraca perdagangan, yang setahun terakhir menjadi bantal penyelamat ekonomi Indonesia, bisa tergerus. Kita tak bisa berbuat apa-apa untuk segera mengatasi masalah yang satu ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo