Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Bisnis

Penghapusan Kode Broker Picu Kontroversi, Berikut Gambaran Untung Ruginya

Rencana BEI menutup kode broker sontak menuai respons penolakan dari para trader dan investor. Seperti apa gambaran untung ruginya kebijakan tersebut?

26 Februari 2021 | 11.17 WIB

Pergerakan Index Harga Saham Gabungan pada layar monitor di Jakarta, Jumat, 6 November 2020.  Indeks harga saham gabungan (IHSG) berpotensi melanjutkan penguatan pada perdagangan Jumat (6/11/2020) di tengah kenaikan bursa global yang menyambut Pilpres AS 2020.. Tempo/Tony Hartawan
Perbesar
Pergerakan Index Harga Saham Gabungan pada layar monitor di Jakarta, Jumat, 6 November 2020. Indeks harga saham gabungan (IHSG) berpotensi melanjutkan penguatan pada perdagangan Jumat (6/11/2020) di tengah kenaikan bursa global yang menyambut Pilpres AS 2020.. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Rencana Bursa Efek Indonesia atau BEI menutup kode broker pada akhir Juni mendatang sontak menuai respons penolakan dari para trader dan investor. Keputusan otoritas bursa itu disebut-sebut bakal menurunkan jumlah investor ritel dan jumlah transaksi harian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Kekhawatiran itu disampaikan salah satunya oleh pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia Budi Frensidy. Ia menilai aturan baru tersebut bisa memengaruhi transaksi berjalan harian investor secara jangka pendek. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terlebih saat ini, menurut Budi, banyak investor atau trader tidak mengutamakan fundamental secara mendalam atau hanya mengacu pada bandarmology. Tak sedikit para trader yang menggunakan startegi aksi jual beli saham berdasarkan informasi dari broker.

"Kalau jangka pendek bisa saja signifikan hingga belasan persen penurunannya baik jumlah investor atau transaksi mereka," ucap Budi ketika dihubungi, Kamis, 25 Februari 2021.

Lebih jauh Budi memaparkan kerugian yang bakal ditanggung investor akibat penerapan kebijakan itu adalah penurunan kualitas informasi atau transparansi. Terutama para bagi trader, pengetahuan bahwa siapa yang membeli suatu saham itu sangat relevan.

"Itu strategi buat mereka. Apakah ini bandarnya atau yang punya saham itu banyak, masih ngumpulin atau sudah menjual saham tertentu. Hal itu bisa jadi acuan trader, itu utamanya," ucapnya.

Apalagi kini mayoritas atau sekitar 80 persen investor ritel adalah trader. Sehingga, apabila informasi tersebut ditutup atau dihapus maka hal tersebut ekuivalen dengan menutup mata dari investor.

Namun begitu, Budi menyebutkan aturan tersebut juga memiliki sisi positif karena bisa mengurangi praktik herding behavior. Selain itu, praktik tersebut sudah lazim terjadi di banyak negara. 

"Dari puluhan bursa di dunia, mungkin cuma 6-7 bursa yang kasih trading kode broker. Dugaan saya dengan banyaknya investor ritel, IT broker dan IDX jadi berat. Mungkin ini berusaha untuk menghemat memori," ucap Budi.

Selain itu, menurut dia, penutupan kode broker juga mendorong investor untuk mendasarkan aksi jual atau beli saham berdasarkan riset yang mendalam. "Jadi menurunkan atau mengurang noise bandarmology. Bandarmology tidak terlalu marak lagi karena sedikit menekan investor untuk mengikuti bandar," tuturnya.

Untuk mempertahankan investor ritel, maka BEI atau otoritas bursa lebih getol menyeimbangkan edukasi terkait untung dan rugi dalam investasi saham. Menurutnya, saat ini investor baru atau milenial lebih banyak terpapar informasi dari para pelaku pom-pom saham atau influencer.

"Jadi penekanannya bukan hanya sekadar untungnya saja. Tapi menyeimbangkan dengan risikonya, bahwa investasi saham tidak mudah dan instan, perlu proses dan jangka panjang," jelasnya.

Adapun Financial Expert dari Universitas Prasetya Mulya Lukas Setia Atmaja menambahkan edukasi tentang investasi dan trading yang baik sangat diperlukan. Selain itu, juga dibutuhkan pengawasan yang lebih ketat untuk saham-saham yang sering bergerak liar. karena herding behavior.

"Saham-saham ini berpotensi merugikan investor yang membeli di harga pucuk. Kebijakan asymetry atuo reject perlu ditinjau ulang keuntungan dan kerugiannya, terutama dampaknya terhadap motivasi investor atau trader untuk berspekulasi di saham-saham yang harganya sudah naik tingi," katanya.

Eks Direktur Utama PT Bursa Efek Jakarta Hasan Zein Mahmud sebelumnya menyatakan keberatan dengan rencana tersebut karena secara otomatis akan menurunkan kualitas transparansi dan level playing field dalam perdagangan. Bagi para traders, info transaksi para broker menjadi relevan dan merupakan informasi yang sensitif.

Hasan yang menjabat sebagai bos BEJ pada periode periode 1991-1996 ini malah menilai yang perlu diatur sebetulnya adalah aksi pom-pom saham yang kerap menggiring investor untuk masuk ke saham tersebut, ketimbang menghapus kode broker. Hal itu bisa dikurangi bila para buzzers, pom-pom, influencers, ditampilkan di depan publik, serta dibuat aturan tata cara dan kode etik.

BISNIS

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus