Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang atau RUU Cipta Kerja ala Presiden Joko Widodo atau Jokowi terus bergema. Serikat buruh, aliansi pers, akademisi, organisasi masyarakat sipil, hingga partai oposisi kompak menolak RUU Omnibus Law yang bertujuan untuk percepatan investasi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak 12 Februari 2020, pemerintah telah menyerahkan draf RUU Cipta Kerja ini ke DPR. Meski demikian, sampai Selasa, 25 Februari 2020, pimpinan DPR belum membahas RUU yang diusulkan pemerintah ini. Bersamaan dengan proses di DPR ini, sejumlah organisasi masyarakat sipil, pers, hingga serikat buruh terus menolak RUU Cipta Kerja tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo merangkum sejumlah kelompok yang lantang menolak RUU ini, berikut di antaranya:
1.Serikat buruh
Dari semua kelompok masyarakat, serikat buruh merupakan satu yang paling vokal menolak Omnibus Law, khususnya pada RUU Cipta Kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai tidak ada job security atau kepastian kerja dalam RUU ini.
Salah satunya karena RUU ini membuat praktik kerja alih daya (outsourcing) bisa dilakukan secara bebas tanpa batas waktu. Agen penyalur outsourcing pun diberi ruang resmi oleh pemerintah. “Gak ada otaknya itu, pemerintah dan pengusaha, kamu boleh kutip itu,” kata Iqbal, Minggu, 16 Februari 2020.
2.Aliansi pers
Setelah buruh, giliran AJI (Aliansi Jurnalis Independen), IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Pers yang menolak Omnibus Law.
Salah satunya dengan tambahan satu pasal mengenai pengenaan sanksi ke perusahaan pers lewat Peraturan Pemerintah (PP). Sehingga, pemerintah bisa memerintahkan satu lembaga negara untuk mengeksekusi sanksi tersebut. Pasal ini tidak ada dalam UU Pers saat ini.
“Apakah Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika), atau siapa, kami tidak tahu, tapi ini lagi-lagi lahirnya Departemen Penerangan baru,” kata Ketua AJI Jakarta, Asnil Bambani, dalam konferensi pers di Kantor AJI Jakarta, Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020.
3. Akademisi
Sejumlah akademisi pun turut menolak Omnibus Law ini. Salah satunya ekonom senior Faisal Basri. Faisal menolaknya karena landasan awal pembentukan RUU Omnibus Law ini, yaitu percepatan investasi, dianggapnya keliru.
“Jauh panggang dari api,” kata Faisal dalam konferensi pers di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di Jakarta Selatan, Kamis, 27 Februari 2020. Menurut Faisal, masalah utama investasi di Indonesia adalah korupsi dan inefisiensi birokrasi. Tapi solusi yang dihadirkan justru Omnibus Law.
4.Lembaga advokasi hukum
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur, menilai Omnibus Law ini mengancam demokrasi karena aspek dalam pembentukan UU yang dilanggar oleh pemerintah. “Persis seperti UU KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),” kata Isnur di Jakarta,Kamis, 27 Februari 2020.
Isnur menegaskan bahwa RUU Cipta Kerja ini merupakan bentuk penyelundupan hukum. Sebab, draf RUU Cipta Kerja telah ada sejak November 2019. Padahal sampai Januari 2020, naskah akademik untuk RUU ini masih direvisi dan belum rampung. “Jadi naskah akademik ini dibuat-buat untuk memenuhi kebutuhan draf,” kata dia.
Penolakan akan Omnibus Law ini terus berdatangan. Tapi sejak 20 Februari 2020, Jokowi memastikan pemerintah dan DPR terbuka untuk menerima masukan dari berbagai pihak terkait RUU Cipta Kerja. Sepanjang belum disahkan menjadi UU, masyarakat dalam menyampaikan kritik dan saran atas RUU ini. “Tapi, saya minta agar draf aturan tersebut dipelajari terlebih dahulu dengan seksama,” kata Jokowi lewat akun twitternya @jokowi.