Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintah mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor sumber daya alam di dalam negeri.
Pemerintah menargetkan cadangan devisa bertambah hingga US$ 90 miliar.
Devisa hasil ekspor dari sumber daya alam memang seharusnya berada dalam kuasa negara.
MULAI 1 Maret 2025, pemerintah mewajibkan eksportir menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam 100 persen di dalam negeri selama satu tahun. Devisa tersebut akan disimpan di bank dalam negeri dan masuk ke sistem keuangan Indonesia. Dengan membesarnya cadangan devisa, nilai tukar rupiah diharapkan lebih stabil. Posisi neraca pembayaran pun menjadi lebih kuat.
Presiden Prabowo Subianto telah membahas kebijakan ini dengan sejumlah menteri di Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Selasa, 21 Januari 2025. Dalam aturan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2023, perusahaan eksportir yang memperoleh DHE wajib memarkir devisa tersebut sebesar 30 persen selama tiga bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun batas 30 persen tersebut dianggap terlalu kecil. Tanpa aturan itu pun, eksportir membawa sebagian DHE-nya ke dalam negeri untuk kebutuhan operasional, seperti untuk membayar gaji karyawan.
Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan revisi aturan tentang DHE dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam sudah rampung dibahas. "PP-nya sedang disiapkan. Perlu dilakukan harmonisasi, kemudian akan ada koordinasi dengan Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan," ucapnya di Jakarta, Selasa, 21 Januari 2025.
Dalam aturan baru nanti, pemerintah mewajibkan eksportir menempatkan DHE sumber daya alam sepenuhnya untuk transaksi minimal US$ 250 ribu. Sedangkan ekspor di bawah nilai tersebut tidak diwajibkan memenuhi ketentuan wajib parkir DHE. Ketentuan ini bertujuan memberi kelonggaran kepada eksportir kecil yang memiliki modal dan transaksi terbatas. Khususnya agar usaha kecil bisa tetap kompetitif di pasar internasional.
Airlangga memperkirakan kebijakan ini menambah cadangan devisa hingga US$ 90 miliar. Untuk memastikan kepatuhan para eksportir, menurut Airlangga, pemerintah akan memberikan banyak insentif kepada para eksportir.
Jenis insentif untuk eksportir, tutur Airlangga, nantinya bersumber dari perbankan, salah satunya pengaturan ihwal cash collateral. Regulasi terkait akan diterbitkan oleh BI. Namun ia belum merinci apa saja insentif yang akan digelontorkan pemerintah.
Merujuk pada PP Nomor 22 Tahun 2024 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan dari DHE Sumber Daya Alam pada Instrumen Moneter dan/atau Instrumen Keuangan Tertentu di Indonesia, sebelumnya pemerintah memberi insentif PPh kepada para eksportir yang menyimpan DHE di perbankan dalam negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk penempatan DHE dalam jangka waktu lebih dari enam bulan, PPh-nya dihapuskan atau sebesar 0 persen. Sedangkan untuk penempatan DHE enam bulan, tarif PPh-nya menjadi 2,5 persen. Kemudian untuk penempatan selama tiga sampai kurang dari enam bulan, tarif PPh yang dikenakan sebesar 7,5 persen. Jika penempatan DHE kurang dari tiga bulan, tarif PPh yang berlaku sebesar 10 persen.
Sejalan dengan kebijakan yang baru, BI sedang menyiapkan dua instrumen baru untuk menyerap DHE sumber daya alam. Pertama, Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI). Kedua, Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI). Dengan ini, para eksportir bisa memasukkan DHE dalam rekening khusus, tidak hanya dalam deposito valas.
SVBI dan SUVBI termasuk instrumen moneter pro-market yang diterbitkan oleh BI. Per 14 Januari 2025, BI mencatat posisi instrumen SVBI dan SUVBI masing-masing US$ 1,96 miliar dan US$ 436 juta.
Selain untuk mengoptimalkan DHE sumber daya alam, Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan dukungan bank sentral terhadap program ini sebagai upaya menstabilkan rupiah. Bank sentral menawarkan FX Swap untuk membantu eksportir memenuhi kebutuhan mereka.
FX Swap merupakan transaksi keuangan yang di dalamnya dua pihak sepakat untuk menukar mata uang tertentu dengan mata uang lain untuk jangka waktu tertentu, kemudian menukarnya kembali di masa depan dengan nilai tukar yang telah disepakati. Jika eksportir membutuhkan modal dalam rupiah untuk operasional atau pembiayaan, tapi pendapatannya dalam mata uang asing (valas), mereka dapat memanfaatkan FX Swap.
Dalam mekanisme ini, bank yang bekerja sama dengan eksportir akan menukar valas ke BI. "Itu sedang kami sempurnakan supaya ini menjadi bagian instrumen penempatan dan pemanfaatan dari DHE sumber daya alam yang bisa digunakan para eksportir melalui bank," ujar Perry, Rabu, 15 Januari 2025.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira menilai perpanjangan penempatan DHE sebesar 100 persen di dalam negeri untuk satu tahun bisa berdampak positif. Khususnya terhadap penguatan likuiditas valas domestik.
"DHE makin lama, makin bagus. Artinya, ada likuiditas valas yang akan masuk dan simpanan valas di bank domestik bisa meningkat,” kata Bhima, Rabu, 22 Januari 2025, seperti dikutip Antara. Simpanan ini nantinya menjadi modal bagi bank untuk penyaluran kredit valas. Dengan tersedianya pembiayaan valas dari domestik, yang menerima keuntungan adalah eksportir.
Menurut Bhima, DHE dari sumber daya alam memang seharusnya berada dalam kuasa negara. Namun, selama ini, devisa dari hasil penjualan komoditas-komoditas itu lebih banyak parkir di luar negeri. Padahal sejumlah tambang dan sawit yang dikelola perusahaan swasta beroperasi di lahan hak guna usaha milik negara. Karena itu, DHE yang sebelumnya ditempatkan di luar negeri harus segera dikembalikan ke Indonesia.
Ia juga menekankan perlunya mendorong konversi DHE ke rupiah untuk memperkuat nilai tukar. Namun Bhima mengingatkan bahwa implementasi kebijakan ini harus dipersiapkan dengan baik, termasuk melalui sosialisasi kepada eksportir dan peningkatan layanan perbankan domestik agar lebih kompetitif.
Namun kebijakan wajib parkir DHE selama setahun ditolak kalangan pelaku usaha. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berharap pemerintah meninjau kembali rencana kebijakan wajib parkir DHE dalam jangka waktu minimal satu tahun ini.
Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menilai implementasi PP Nomor 36 Tahun 2023 pun terbukti tidak efektif dalam menjangkau nilai tukar rupiah. Bahkan ia berpendapat penyimpanan DHE menjadi satu tahun akan menimbulkan efek domino terhadap banyak sektor industri.
Menurut Shinta, kebijakan itu kontraproduktif dengan target penghiliran serta pengurangan daya saing investasi dengan negara tetangga. Terkuncinya DHE pun membuat pelaku usaha harus mencari tambahan kredit modal kerja dari perbankan untuk memenuhi kebutuhan modal kerja. "Hal ini akan meningkatkan beban bunga pinjaman dan tidak semua perusahaan memiliki akses yang mudah untuk memperoleh pinjaman bank," ujarnya, Selasa, 21 Januari 2025.
Ketua Bidang Kebijakan Publik Apindo Sutrisno Iwantono mengimbuhkan, efek domino yang muncul dari kebijakan ini dirasakan berbeda-beda oleh pelaku usaha. Misalnya, industri kakao. Untuk memenuhi kewajiban parkir DHE sebesar 30 persen, industri pengolahan kakao dalam negeri terpaksa meminjam dengan bunga komersial 8-11 persen per tahun. Sedangkan bunga dari rekening berjangka DHE sumber daya alam hanya 5 persen.
Atas diskrepansi bunga tersebut, Sutrisno berujar industri pengolahan dalam negeri mengalami penambahan biaya bunga yang cukup signifikan. Walhasil, kondisi ini berimbas pada daya saing produk olahan kakao nasional di kancah pasar dunia.
Pekerja gudang penyimpanan unit metalurgi PT Timah Tbk memindahkan balok timah di Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung, Senin, 20 Januari. Antara/Nova Wahyudi
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Soetrisno pun menyarankan pemerintah tidak pukul rata atas penerapan kebijakan DHE 100 persen ini. Pasalnya, setiap sektor memiliki siklus usaha berbeda-beda.
Bos perusahaan tekstil PT Apac Inti Corpora itu menyarankan agar kebijakan tersebut diterapkan, salah satunya, pada industri ekstraktif yang mengandalkan barang-barang dari alam alias god-made. Pasalnya, biaya operasional industri ini lebih rendah. Hal ini berbeda dengan industri pengolahan atau manufaktur yang bersifat man-made dan memerlukan biaya tinggi dalam proses produksi.
"Kalau semua disamakan dan ditahan satu tahun, usahanya berhenti, dong. Habis modalnya," ujarnya kepada wartawan di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu, 22 Januari 2025. Jika hal itu terjadi, tutur Benny, pemerintah pun akan ikut merugi karena penerimaan dari pajak berpotensi menurun.
Berkaca pada implementasi kebijakan wajib parkir DHE selama tiga bulan yang diterapkan sebelumnya, banyak eksportir yang tidak patuh. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan telah memblokir kegiatan usaha 176 perusahaan ekspor yang tidak memenuhi kewajiban penyimpanan DHE sumber daya alam per 31 Desember 2024. Di sisi lain, cadangan devisa hanya naik US$ 9,3 miliar, dari US$ 146,4 miliar pada 2023 menjadi US$ 155,7 miliar pada 2024.
Ekonom Bright Institute, Awalil Rizky, berpandangan kebijakan wajib parkir DHE sebesar 100 persen selama satu tahun berisiko meningkatkan upaya penghindaran oleh pengusaha dengan cara yang lebih sulit dideteksi. Terutama jika tidak ada insentif tambahan yang menarik. Terbukti dari kebijakan sebelumnya yang lebih longgar, masih ada pengusaha yang enggan mematuhi.
Adapun insentif yang saat ini disediakan oleh BI, menurut Awalil, lebih berupa instrumen keuangan sebagai sarana penyimpanan. Sedangkan pengusaha ada kemungkinan membutuhkan imbal hasil yang lebih tinggi. Ia menekankan, tanpa insentif tambahan yang menarik, tingkat kepatuhan pelaku usaha cenderung rendah.
Awalil berujar kebijakan ini juga dianggap membebani pengusaha, terutama soal modal kerja. Jika pengusaha tetap membutuhkan kredit untuk modal kerja, bunga pinjaman yang tinggi akan menjadi beban tambahan. Karena itu, ia menyarankan pemberian insentif berupa kemudahan akses kredit dengan bunga rendah.
Awalil berpendapat target tambahan cadangan devisa sebesar US$ 90 miliar terlalu optimistis. Jika semua eksportir patuh, ia memproyeksikan tambahan cadangan devisa yang dapat terkumpul ada di angka US$ 30-60 miliar. Alasannya, nilai ekspor sumber daya alam bergantung pada harga komoditas dan kuantitas ekspor.
Menurut ekonom Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, kebijakan ini berisiko meningkatkan biaya operasional dan mengurangi fleksibilitas finansial eksportir. Akibatnya, harga produk ekspor Indonesia dapat meningkat dibanding kompetitor. Walhasil, daya saing di pasar global menurun.
Ada beberapa negara lain yang menerapkan kebijakan serupa. Misalnya Turki yang mengharuskan konversi 80 persen devisa ekspor menjadi mata uang lira. Namun, menurut Yusuf, kondisi ekonomi global dan volatilitas nilai tukar yang dihadapi Indonesia berbeda. Karena itu, penerapan kebijakan ini harus mempertimbangkan dinamika tersebut. ●
Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo