Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Perjalanan karier seorang sensei

Rm sumanang suriowinoto genap 80 tahun. terbaring sakit. ia tak bisa dipisahkan dengan sejarah pers indonesia. berperan dalam mendirikan antara, pwi dan sps. awal karirnya dimulai tahun 1937.

7 Mei 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBICARAKAN sejarah pers Indonesia, akan kurang lengkap kalau tidak menyebut nama Sumanang. Sebaliknya, jika kita hendak membicarakan tokoh Sumanang, akan kurang serasi apabila tidak menymggung searah pers Indonesia pada umumnya. Demikianlah, sebagian kata pengantar Soebagijo I.N., yang tertulis pada buku Sumanang Sebuah Biografi. Ungkapan ini tidak berlebihan, memang, kalau kita dengan teliti mengikuti jejak tokoh tiga zaman yang 1 Mei lalu menginjak usia ke-80 itu. Awalnya dari Kota Hujan Bogor, ketikaitu Ran Mas Sumanang Suriowinoto baru berusia 26 tahun, dan sedang mengikuti kuliah Rechts Hoe School (RHS), sebuah sekolah tinggi kehakiman di Jakarta. Seperti kebanyakan pemuda waktu itu, Sumanang pun tak lepas dari pergerakan yang bertujuan mencerdaskan bangsa. Dialah salah seorang yang turut memberikan kursus-kursus politik pada masyarakat. Hanya saja, hambatan muncul karena Sumanang lebih fasih berbahasa Belanda ketimbang Bahasa Indonesia. Menyadari akan kekurangannya, Sumanang mulai belajar bahasa - nilai bahasa Indonesia: 3 - dengan jalan banyak membaca. Dan itulah yang menjadi tonggak awal kariernya. Ia mulai mengirimkan tulisan-tulisan pertamanya, 1937. dan dimuat Dada surat kabar Pemandangan, dan Tjaja Timoer. Dalam waktu singkat, pikirannya berubah ia berniat menerbitkan majalah sendiri. Hanya dalam waktu beberapa bulan, cita-cita Sumanang tercapai. Ia menerbitkan majalah dengan nama Penjiaran Oemoem. Hingga Juni 1937, Sg - demikian inisial yang biasa dipakainya - sudah blsa menerbitkan majalah Perantaraan. Dengan ukuran tabloid, Perantaraan dicetak 2.000 eksemplar, suatu oplah yang tergolong cukup besar pada waktu itu. Dalam pengantar redaksi yang ditulisnya - posisi Sg memang sebagai redaksi - ia mengemukakan bahwa tujuan penerbitannya semata-mata untuk menyebarkan pengetahun di lingkungan masyarakat luas. Itulah sebabnya, Perantaraan sarat dengan artikel yang mengupas berbagai pengetahuan umum. Seperti Stakings-recht (Hak Mogok), Perlementer stelsel di Indonesia, dan Islam & Sosialisme. Sedangkan berita-berita langsung, kalaupun ada, hanya sedikit sekali. Yang menarik pada nomor ini adalah kupasan Sg tentang Keluarga Berencana ketika itu belum ada istilah KB. Dengan judul "Kemakmuran Rakyat dan Jumlah Penduduk", secara rinci Sumanang membeberkan pertumbuhan penduduk Pulau Jawasejak tahun 1800 hingga 1930. Dalam tulisannya, ia sudah mengatakan, "Kemakmuran rapat hubungannya dengan jumlah penduduk. Kegiatan Sumanang di Bogor ternyata dimonitor oleh kakak-kakaknya. Sehingga kakak-kakak Sg tahu persis tingkah sang adik, termasuk kegiatan politik. Padahal, Sg sengaja dilempar ke Bogor, agar bisa berkonsentrasi pada kuliahnya di RHS. Itulah sebabnya, Sumanang dimarahi oleh kakak-kakaknya. Untuk menenangkan mereka, ia kembali menetap di Jakarta. Toh Sg kembali bertemu dengan para penulis, seperti Armijn Pane dan Amir Hamzah. Tanpa banyak proses, namanya muncul di majalah Poedjangga Baroe sebagai salah seorang anggota redaksi. Dan Sg juga berkenalan dengan Parada Harahap, pimpinan Tjaja Baroe. Dari koran ini, ia pun memperoleh jabatan baru sebagaijuridisch medewerker, atau pembantu pengasuh rubrik hukum. Untuk ini, Sg tak menerima bayaran sepeser pun kecuali koran gratis. Seperti yang diungkapkannya pada Berita Buana, "Dulu kami tak pernah mengharapkan bayaran. Asal berita atau tulisan dimuat saja, sudah senang." Pergaulannya dengan banyak wartawan, terutama wartawan Tjaja Baroe, memunculkan ide baru di benak Sg. Ia tiba-tiba ingin membentuk pers bureau, yang memasok suplai informasi pada sejumlah media lain. Hubungan dengan beberapa surat kabar pun dilakukan. Tapi hasilnya tidak semulus yang diduga. Banyak pemilik koran yang tidak setuju, bahkan mencemooh gagasan Sg sebagai kegiatan yang hanya menghambur-hamburkan kertas dan tinta saja. Tapi bersama rekannya - di antaranya Adam Malik dan A.M. Sipahutar - Sumanang yang ketika itu berusia 29 tahun jalan terus. Maka, bersemilah cakal bakal buletin Antara. Alhamdulillah, setelah berdiri, tak ada lagi yang menentang Antara. Bahkan sebaliknya, bantuan muncul dari dalam dan luar negeri. Sayang, Sg harus menyelesaikan studinya, hingga tidak lagi terlampau aktif di dunia pers. Tapi dasar suratan nasib. Setahun setelah menyelesaikan studinya, 1940, ia diangkat sebagai Pemimpin Redaksi SK Pemandangan. Hidup Sg sedikit berguncang ketika Jepan dikabarkan mulai mendarat di Indonesia. Belanda panik. Banyak orang yang diduga dekat dengan Jepang, termasuk Sumanang, yang pernah bekerja sebagai penerjemah bagi konsulat Jepang, ditangkap. Tidak lama. Begitu Belanda menyerah, Sg pun dibebaskan. Ia kembali sibuk di dunianya: jurnalistik. Tapi ini pun tak lama. Jepang membreidel Pemandangan. Sumanang dipindahkan ke SK Asia Raya, yang kemudian dipindahkan lagi menjadi kepala bagian pers Pusat Tenaga Rakyat. Tapi kesukaannya menulis terus membayangi, hingga Sg mendirikan perusahaan penerbitan dengan nama "Nasional". Puncak karier Sg tercapai ketika tahun 1946 ia dan kawan-kawannya berhasil mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS). Namanya bahkan pernah tercatat sebagai ketua umum. "Dia memang wartawan yang tajam, dan saya tidak malu mengakui beliau sebagai guru. Atau dalam bahasa Jepangnya sensei, guru saya yang pertama di bidang jurnalistik," ujar Rosihan Anwar, Ketua Dewan Kehormatan PWI. Banyak lagi prestasi- yang dicapai Sumanang dengan NV Nasionalnya. Di antaranya masih ada beberapa SK yang diterbitkan di Jakarta, Semarang, dan Yogyakarta. Itu di bidang pers. Di luar dunia itu, Sg pernah terpilih sebagai direktur eksekutif IMF (Dana Moneter Internasional), anggota DPR, dan Presdir Bank Pembangunan Indonesia. Kini, kendati terbaring sakit, Ketua Dewan Pengawas Majalah Matra ini masih bersemangat untuk menyaksikan hasil "keluyuran" para wartawan. Harapannya telah diungkapkan pada Berita Buana. "Kalau surat kabar mengkritik terlalu keras atau membuat berita yang tidak benar, saya harap mereka tak perlu dilarang terbit. Cukup diperkarakan saja," kata sensei ini. Budi Kusumah dan Rustam F. Mandayun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus