Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIARAN pers berjudul "Manila Water Akan Mengelola Air Jakarta" itu sampai di meja redaksi sejumlah media di Jakarta, 11 Maret lalu. Berita itu menyebutkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyetujui rencana Manila Water mengakuisisi 51 persen saham PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja), perusahaan pengelola air di sisi barat Jakarta.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama menyatakan Manila Water Company jempolan dalam mengelola air di Filipina dan Vietnam. Komentar positif dari sejumlah pakar, seperti Erna Witoelar, Aviliani, Agus Pambagio, dan Firdaus Ali, soal rencana akuisisi juga ada di situ.
"Saya tidak pernah kirim siaran pers seperti itu," kata Ahok—sapaan akrab Basuki—kepada Tempo, Kamis pekan lalu. "Lagian belum ada keputusan," dia melanjutkan.
Memang tidak jelas siapa pengirim siaran pers itu. Tiada pula kop Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Satu-satunya petunjuk pengirim adalah nama Vanya Manuputty dan nomor telepon seluler yang tercantum di kiri bawah lembaran siaran pers. Ketika dihubungi, Vanya merahasiakan siapa kliennya. Berdalih sinyal terganggu, ia memutus pembicaraan. Konsultan junior di perusahaan hubungan masyarakat ternama ini juga tidak membalas pesan pendek dari Tempo.
Siaran pers "hantu" tadi diduga disebarkan oleh pihak yang ingin rencana akuisisi saham Palyja segera dimuluskan oleh pemerintah Jakarta. Perjanjian jual-beli alias sales purchase agreement (SPA) yang diteken Suez Environnement, pemilik 51 persen saham Palyja, dan Manila Water di Bursa Efek Filipina pada 18 Oktober 2012 punya batas waktu. Bila dalam enam bulan tidak terealisasi, yakni hingga 18 April 2013, jual-beli saham batal.
Proses jual-beli 51 persen Palyja itu dinilai melanggar aturan. Suez belum mengantongi restu pemerintah ketika menandatangani SPA. Dalam kontrak pengelolaan air jelas disebutkan bahwa pengalihan saham harus melalui izin dari pemerintah Jakarta. Pada dasarnya pemerintah Jakarta menyetujui jual-beli saham itu. "Tapi, dijual ke mana, belum ada keputusan," ujar Ahok. Ia juga telah membentuk tim pengalihan saham Suez.
Sepintas rencana akuisisi saham oleh Manila Water terlihat tak jelek-jelek amat. Manila Water Company sudah mengelola air bersih Ibu Kota Filipina lebih dari 25 tahun. Pada Juli tahun lalu, perseroan mengakuisisi 47,35 persen saham Kenh Dong Water Supply Joint Stock Co di Vietnam. Sebelumnya, Desember 2011, mereka membeli 49 persen saham Thu Duc Water BOO, juga di Vietnam.
Belakangan diketahui bahwa bukan Manila Water Company yang akan mengakuisisi saham Palyja, melainkan anak usahanya, Manila Water South Asia Holding (MWSAH), yang berkantor di Singapura. Hasil audit keuangan Ernst & Young tahun anggaran 2011 menunjukkan, perusahaan yang berdiri pada 18 Mei 2010 itu tidak melakukan aktivitas bisnis. Aset perusahaan tercatat hanya Sin$ 2,27 juta dengan kas sebesar Sin$ 435 per akhir 2011. Bahkan MWSAH tercatat sebagai perusahaan investasi, bukan perusahaan manajemen pengelolaan air.
Kondisi itu kontras dengan nilai transaksi jual-beli saham Palyja, yakni Rp 1,4 triliun untuk sisa pengelolaan 10 tahun. Menurut sejumlah sumber Tempo, harga itu tak cuma untuk membeli saham Suez, tapi juga sisa 49 persen saham Palyja yang dimiliki PT Astratel Nusantara. Rupanya MWSAH tidak sendiri dalam proyek akuisisi Palyja. Grup Gunung Sewu, konglomerasi Indonesia yang berbisnis di sektor pertanian, properti, dan asuransi, disebut-sebut sebagai investor sesungguhnya. Dari tiga perusahaan yang mengikuti lelang penjualan saham Palyja, Gunung Sewu menjadi pemenang dengan menggunakan bendera Manila Water.
Gunung Sewu menolak menjelaskan dugaan keterlibatannya dalam jual-beli saham Palyja. "Kami tidak menanggapi rumor," kata Corporate Planning Gunung Sewu Matthew Sinder. Namun ia membenarkan kabar bahwa perusahaannya membidik bisnis air di Indonesia. Di Lampung, Sinder mencontohkan, Gunung Sewu tengah mengajukan penawaran proyek pengelolaan air minum bersama Manila Water.
Kepala Corporate Planning Astratel Wanny Wijaya memastikan pihaknya masih memegang 49 persen saham Palyja. Sedangkan Manila Water tak kunjung membalas permohonan wawancara dari Tempo.
Kepala Badan Pendukung Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum Kementerian Pekerjaan Umum Rachmat Karnadi meminta pemerintah Jakarta berhati-hati menghadapi MWSAH. "Ini cucu perusahaannya (Manila Water). Kalau ada apa-apa, perusahaan induk tak bertanggung jawab," ujarnya.
Pendapat Rahmat perlu disimak secara serius. Menilik audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2011 terhadap Aetra, pengelola air di sisi timur Jakarta, diketahui ada tambahan biaya yang dibebankan perusahaan untuk technical service assistance (TSA). Nah, layanan TSA terdiri atas beban operasional, jasa teknis, dan jasa manajemen air yang dibayarkan kepada penyedia jasa berdasarkan persentase dari nilai pendapatan bersih aktual pada periode tertentu. Menurut hasil audit, biaya TSA Aetra mencapai Rp 88,4 miliar sepanjang 2007-2010.
Ini berarti, bila perusahaan yang mengakuisisi saham Palyja bukan perusahaan yang berfokus pada pengelolaan air, bakal ada beban tambahan walau TSA diberikan oleh perusahaan induk yang berfokus pada manajemen air.
Ahok berharap penjualan saham Suez dapat membuka celah renegosiasi kontrak pengelolaan air dengan Palyja. Kontrak yang diteken pada 1997 itu dinilai berat sebelah. Tarif diharuskan naik setiap enam bulan sekali tanpa penalti yang berat bila operator tidak mencapai target penambahan layanan dan pengurangan angka kehilangan air (NRW).
Bila kontrak tak diseimbangkan, tarif air pada saat kontrak berakhir (2022) bisa mencapai Rp 22 ribu per meter kubik. PAM Jaya dan pemerintah berpotensi menanggung akumulasi kerugian atas beban utang imbalan air (shortfall) sebesar Rp 18,5 triliun. "Kami sempat menawar agar saham Suez dijual saja ke BUMD," kata Ahok. Namun Suez lebih suka melepas saham kepada Manila Water.
Tim Ahok kemudian menuntut, bila Manila Water akan menguasai Palyja, harus ada komitmen melanjutkan renegosiasi kontrak pengelolaan air. Giliran Manila Water yang menolak. "Mengapa harus kasih komitmen, masuk saja belum?" ucap Ahok menirukan penjelasan Manila Water. Perundingan pun sementara menemui jalan buntu. "Mereka tak mau beli kucing dalam karung."
Itu sebabnya Ahok mendorong badan usaha milik daerah agar mengelola air Jakarta ketika kontrak PAM Jaya dengan mitra swasta berakhir. Dia merujuk pada kemampuan PT Pembangunan Jaya yang sejak tiga tahun lalu mengelola air untuk kebutuhan rumah tangga. Saat ini, BUMD itu telah mengelola 12.500 sambungan pipa air untuk kebutuhan rumah tangga di Bintaro Jaya dengan NRW 10-15 persen.
Anak usahanya, PT Pembangunan Jaya Ancol, bahkan mengolah air laut menjadi air tawar menggunakan teknologi desalinasi dan reverse osmosis untuk kebutuhan sendiri. "Pada dasarnya, BUMD kita mampu," kata Ahok.
Sebenarnya, jauh sebelum persoalan jual-beli saham Palyja jadi sorotan, PT Pembangunan Jaya sempat mengajukan penawaran membeli saham Palyja. "Rumor saham Palyja mau dijual itu sudah terdengar sejak Juni tahun lalu," ujar Wakil Direktur PT Pembangunan Jaya Sutopo Kristanto. Perseroan sudah dua kali berkirim surat dan bertemu dengan pihak Palyja, tapi pembicaraan business to business itu belum sampai ke soal angka.
Mendadak, pada Oktober tahun lalu, Pembangunan Jaya menerima sinyal bakal gagal memborong saham Palyja. Tanda itu muncul dari kenaikan tajam nilai saham Manila Water Company di Bursa Filipina yang terjadi setelah muncul kabar akuisisi MWSAH terhadap Palyja.
Amandra Mustika Megarani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo