Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Yogyakarta - Walikota Yogyakarta Haryadi Suyuti menilai sikap paguyuban pedagang kaki lima (PKL) Malioboro yang menentang rencana penataan dengan alasan khawatir ukuran lapaknya jadi makin kecil merupakan dalih tak berdasar. Terlebih, kata dia, sudah sejak dulu lahan usaha di Malioboro sempit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Menolak itu dasarnya apa? Kalau alasannya (lapak) tambah kecil, lah Malioboro itu sekarang yang besar apanya? Pedagang itu yang gede dagangannya apa gerobaknya?" ujar Haryadi Selasa 23 Juli 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal pekan ini, salah satu paguyuban PKL Malioboro dari Koperasi Tri Dharma yang berada di sisi barat kawasan Jalan Malioboro mendatangi Balaikota Yogya menyampaikan penolakan terkait rencana penataan yang disiapkan.
Pedagang menilai rencana penataan yang berkonsep ungkur-ungkuran atau berjualan saling membelakangi dengan pedagang lain akan merugikan. Kebijakan itu dinilai merugikan dan mempersempit ruang gerak pedagang serta berpotensi memicu gesekan antar pedagang.
“Rencana ungkur-ungkuran ini tidak menguntungkan dan akan mempersempit lapak PKL khususnya dari koperasi Tri Dharma. Jadi tidak maksimal saat menata dagangan maupun melayani pembeli, tidak nyaman,” ujar Ketua Koperasi Tri Dharma, Mujiyo.
Rencana penataan PKL Malioboro yang digaungkan sejak 2015 itu , utamanya untuk mendukung wajah Malioboro yang makin representatif sebagai jantung wisata. Di mana selasar depan pertokoan tak lagi berjubel lapak PKL.
Walikota Yogya, Haryadi menyatakan, kebijakan ini sudah dikonsepkan bersama dan sudah disosialisasikan sejak lama. Sehingga kini bukan waktunya lagi untuk melakukan penolakan terkait dengan rencana tersebut.
Haryadi menegaskan rencana penataan itu juga bukan dalam bentuk penggusuran yang akan mengurangi jumlah pedagang. "Kami bukan menggusur pedagang, tapi melakukan penataan, konsepnya jelas dan itu dulu kan juga sudah disepakati bersama," ujarnya.
Paguyuban Pengusaha Malioboro Ahmad Yani (PPMAY), yang beranggotakan para pemilik toko di sepanjang Malioboro, sebelumnya juga mendesak Pemerintah Kota Yogyakarta segera melakukan penataan ulang PKL di Malioboro. Pengusaha toko berpendapat aktivitas PKL kian lama kian merugikan mereka.
Tak sekadar posisinya semakin menutupi wajah toko di Malioboro, para PKL itu bahkan telah menganggap lahan yang ditempatinya seperti lahan milik sendiri. “Para PKL di Malioboro sudah cenderung menguasai lahan tempat mereka berjualan, seolah lahan itu tak bertuan, padahal itu bagian dari lahan toko,” ujar Sadana Mulyono, Ketua PPMAY, beberapa waktu lalu.
Sadana menunjuk ketentuan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 26 Tahun 2002 tentang Penataan Pedagang Kaki Lima dan Peraturan Wali Kota Yogyakarta Nomor 37 Tahun 2010.
Regulasi tersebut menyebutkan setiap pedagang kaki lima harus mendapatkan persetujuan dari pemilik/kuasa hak atas bangunan/tanah yang berbatasan langsung dengan jalan. “PKL seharusnya yang membayar sewa ke pemilik toko karena sudah menempati lahannya,” ujar Sadana.