Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Siapa Takut Hantu Inflasi

Yopie Hidayat
Kontributor Tempo

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTANDA pemulihan ekonomi global makin jelas terlihat. Namun membaiknya ekonomi juga datang bersama hantu yang menakutkan: inflasi. Jika inflasi tak terkendali, dampak buruknya sungguh tak kalah merepotkan dibanding lesunya ekonomi akibat pandemi Covid-19. Kenaikan harga kini sudah merata secara global dan menyentuh berbagai komoditas, dari pangan, energi, hingga ongkos logistik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang paling penting bagi pasar finansial adalah tingkat inflasi di Amerika Serikat. Inilah salah satu rujukan utama The Federal Reserve selain tingkat pengangguran saat mengambil kebijakan. Per April 2021, secara tahunan, inflasi inti di Amerika Serikat mencapai 3,1 persen, tertinggi sejak April 1990. Ekonomi Amerika mulai panas. Namun The Fed tak takut, masih kukuh beranggapan bahwa inflasi Amerika bersifat temporer.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di sinilah perdebatan makin hangat. Kian banyak ekonom yang mulai mempersoalkan pandangan Ketua The Fed Jerome Powell dan kawan-kawan. Alasannya, pemicu inflasi kali ini beragam, dari melonjaknya permintaan hingga pasokan yang terhambat, baik karena Covid maupun gangguan iklim. Pemulihan rantai pasokan agar harga turun memerlukan waktu. Inflasi global bisa bertahan cukup lama dan mendorong pula inflasi di Amerika.

Ada pula kebijakan Presiden Joe Biden yang dapat mendorong inflasi secara lebih permanen. Akhir April lalu, Biden memerintahkan semua korporasi yang berurusan dengan pemerintah federal menaikkan upah minimum menjadi US$ 15 dolar per jam dari saat ini US$ 10,95. Kebijakan ini memang baru akan efektif tahun depan. Namun efek berantainya sudah terasa.

Banyak korporasi yang kini harus menghadapi tuntutan kenaikan upah. Amazon.com Inc, misalnya, harus memberikan tambahan upah hingga US$ 3 per jam. Padahal, sebelum kenaikan itu, upah minimum di Amazon sudah US$ 15 per jam. Efek kenaikan upah ini pada ekonomi Amerika tentu cukup signifikan. Amazon mempekerjakan 800 ribu orang di Amerika. Perusahaan-perusahaan lain pun sepertinya harus mengambil langkah yang sama.

Kenaikan upah mendorong inflasi yang lebih permanen. Ada kenaikan daya beli yang berarti naiknya permintaan, dus mendorong kenaikan harga. Kebenaran pandangan The Fed bahwa inflasi tinggi saat ini hanya temporer kian meragukan. Pertanyaan-pertanyaan kunci ini makin keras bergaung di seluruh penjuru pasar. Apakah The Fed memulai pengetatan likuiditas lebih cepat? Apakah kenaikan bunga akan tiba sebelum akhir 2022?

Hantu inflasi memang sedang mengancam pasar finansial. Di sektor riil, inflasi tidak lagi sekadar mengancam. Dampak buruknya sepertinya tak terelakkan. Indonesia pun tak akan luput dari tekanan inflasi global ini. Salah satunya berasal dari lonjakan harga komoditas pangan.

Indeks pangan bulanan Food and Agriculture Organization, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pangan dan pertanian, melonjak 40 persen dalam setahun per Mei 2021. Lonjakan harga ini adalah yang terbesar sejak 2011. Mungkin sekarang dampaknya belum langsung terasa. Namun kenaikan ini berpotensi menimbulkan tekanan inflasi di bulan-bulan mendatang. Berbagai komoditas pangan impor merupakan input penting untuk industri pangan dalam negeri. Naiknya harga bahan baku akan membuat industri harus menyesuaikan harga.

Masalah serius juga bisa datang dari melonjaknya harga minyak. Harga minyak Brent, yang menjadi patokan pasar, sudah melambung di atas US$ 71 dolar per barel. Sedangkan anggaran pemerintah menggunakan patokan harga US$ 45 per barel. Apabila harga minyak konsisten tetap tinggi sepanjang 2021, masalah yang muncul bakal jauh lebih besar ketimbang sekadar inflasi.

Jika pemerintah tak ingin menaikkan harga jual bahan bakar minyak, anggaran pemerintah yang sudah defisit Rp 1.006 triliun akan makin terbebani belanja subsidi. Sebaliknya, langkah menaikkan harga BBM akan menambah inflasi yang membuat upaya pemulihan ekonomi menjadi makin sulit. Naiknya harga minyak juga menambah defisit neraca transaksi berjalan karena Indonesia masih mengimpor 1 juta barel minyak dan produk-produk turunannya per hari.

Bukannya berupaya mencari solusi untuk melawan hantu inflasi, pemerintah malah ingin membeli senjata senilai lebih dari Rp 1.700 triliun hingga 2024. Seolah-olah tak ada lagi pejabat negara yang takut pada hantu inflasi di negeri yang sangat absurd ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus