Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pertahanan sekaligus Presiden Terpilih Prabowo Subianto menemui Presiden Rusia Vladimir Putin di Istana Kepresidenan Kremlin, Moskow, Rusia, Rabu, 31 Juli 2024.
Dalam pertemuan yang berlangsung terbuka selama kurang lebih 30 menit itu, Prabowo menyampaikan ke Putin ketahanan energi merupakan salah satu prioritas kerjanya setelah dilantik sebagai Presiden RI Periode 2024–2029 pada 20 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Partai Gerindra itu pun mengungkapkan ketertarikannya bekerja sama dengan Rusia di bidang energi nuklir.
“Di sektor energi nuklir, saya membahas ini dengan beberapa institusi terkait (di Rusia), kemungkinan kita bekerja sama pada bidang reaktor modular dan reaktor utama,” kata Menhan Prabowo ke Presiden Putin, sebagaimana disiarkan oleh sejumlah stasiun TV asing yang meliput di Kremlin.
Reaktor nuklir merupakan salah satu komponen penting dalam pembangkit listrik tenaga nuklir. Rusia saat ini merupakan salah satu negara di dunia yang kebutuhan listriknya dipasok dari nuklir.
Terkait itu, Presiden Putin tidak langsung memberikan tanggapannya, karena keduanya bakal melanjutkan pertemuan secara tertutup dalam format santap pagi bersama (working-breakfast format) yang kemungkinan dijadwalkan berlangsung Kamis ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pertemuan itu, Prabowo dan Putin bakal mendiskusikan berbagai isu dan menjajaki peluang kerja sama dua negara secara lebih detail.
Tidak hanya soal nuklir, Prabowo dalam pertemuannya dengan Putin juga menyampaikan minatnya untuk mengirim lebih banyak mahasiswa Indonesia untuk menempuh pendidikan di universitas-universitas Rusia, terutama untuk jurusan kedokteran dan teknik.
Prabowo menyebut Indonesia saat ini masih kekurangan 160.000 dokter, dan dia bertekad untuk menutup kekurangan itu saat resmi menjabat sebagai presiden.
“Jika memungkinkan, kami ingin mengirim putra-putri kami untuk menempuh pendidikan tinggi di kampus-kampus Rusia, khususnya bidang kedokteran dan teknik, dan saya berencana mengalokasikan secara khusus anggaran untuk program beasiswa ini,” kata Prabowo ke Putin.
Dia melanjutkan Rusia pernah menjadi salah satu tujuan utama mahasiswa Indonesia untuk bersekolah khususnya pada dekade 1960-an.
Kemudian, Prabowo juga menyoroti kerja sama dua negara bidang pertahanan, industri pertahanan, dan pariwisata. Dia menekankan hubungan dua negara saat ini telah terjalin dengan baik, dan dia bertekad untuk meningkatkan dan memperkuat kerja sama itu ke depannya.
Dalam pertemuan di Green Hall, Kremlin, Rabu, Prabowo terlihat hanya didampingi oleh ajudannya Mayor Inf. Teddy Indra Wijaya. Sementara itu, Presiden Putin didampingi jajaran pejabat tingginya, yaitu Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov, Wakil Perdana Menteri Denis Manturov, dan Penasihat Presiden untuk Urusan Luar Negeri Yury Ushakov.
Dalam pertemuan itu, yang juga disiarkan secara langsung oleh beberapa stasiun TV Rusia, Putin menilai Prabowo merupakan sahabat lama Rusia. “Saya tahu kamu punya hubungan yang baik dengan Rusia,” kata Putin ke Prabowo sebagaimana dikutip dari Kantor Berita Rusia TASS.
Prabowo, yang berbicara setelah Putin, berterima kasih karena telah diterima di Kremlin, meskipun pemberitahuan untuk pertemuan itu diberikan dalam waktu yang singkat. Menhan Prabowo juga menyebut dalam 4 tahun terakhir, dia telah empat kali berkunjung ke Rusia.
“Ini keempat kalinya saya ke Rusia dalam 4 tahun terakhir, tetapi ini yang pertama bagi saya diterima di Kremlin oleh Presiden Putin,” kata Prabowo.
Presiden Putin merupakan kepala negara keempat yang ditemui Prabowo dalam rangkaian lawatan luar negerinya sejak minggu lalu. Dia sebelumnya bertemu dengan Presiden Perancis Emmanuel Macron di Paris, Presiden Serbia Aleksander Vui di Beograd, dan Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan di Ankara.
Nuklir di Indonesia
Indonesia sejauh ini punya tiga reaktor nuklir, yang rata-rata dibangun pada tahun 1970-an. Tiga reaktor itu, yaitu Reaktor Nuklir Kartini di Yogyakarta, Reaktor Triga 2000 di Bandung, dan Instalasi Reaktor Serba Guna G. A. Siwabessy di Serpong. Tiga reaktor itu saat ini diperuntukkan untuk pendidikan dan penelitian.
Penelitian nuklir sebenarnya sudah dilakukan sejak 1954, namun rencana pengembangan PLTN dihentikan pada 1997 dengan ditemukannya cadangan gas besar di Natuna. Keinginan membangun pembangkit nuklir muncul lagi di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengeluarkan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2006.
Indonesia merencanakan memiliki empat PLTN pada tahun 2025 dengan kapasitas minimal 4.000 MW, salah satunya akan dibangun di Muria, Jepara, yang direncanakan sejak era Orde Baru. Namun penentengan dari masyarakat dan pegiat lingkungan begitu keras.
Salah satu yang menyuarakan penolakan adalah Greenpeace Indonesia. Juru kampanye iklim dan energi Greenpece, Satrio S Prilianto, mengatakan mahalnya biaya dan lamanya waktu pembangunan menjadi alasan utama tidak adanya urgensi pendirian PLTN di Indonesia.
“Dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga energi terbarukan seperti surya (PLTS) dan angin (PLTB), dengan nilai investasi yang sama, dapat dihasilkan kapasitas yang lebih tinggi,” kata Satrio seperti dimuatMajalah Tempo, 30 Januari 2021.
Satrio menuturkan, skala kapasitas PLTS dan PLTB lebih fleksibel karena dapat dibuat untuk kapasitas kecil atau besar. Dengan teknologi small modular reactor (SMR), dia menerankan, PLTN dapat dibuat dalam skala lebih ekcil, tapi perkembangannya secara komersial belum terbukti.
“Berdasarkan The World Nuclear Status Report (WNISR) 2020, banyak proyek SMR yang mangkrak setelah dimulai cukup lama,” katanya.
Proyek tersebut termasuk di Argentina, Kanada, Cina, India, Rusia, Korea Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat tertunda, bahkan dihentikan.
ANTARA | TIM TEMPO
Pilihan Editor Jokowi Jadi Bapak Konstruksi Indonesia, Apa Bedanya dengan Soeharto Bapak Pembangunan?