Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Proyek Kapal Impian

Proyek pembuatan kapal Caraka Jaya dan Mina Jaya yang dirintis Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie sudah lama terbengkalai. Dan kini tinggal bangkai.

1 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMANDANGAN itu memang luar biasa: B.J. Habibie memeluk mesra Ali Sadikin. Lalu puji-pujian dialamatkan kepada Menteri Negara Riset dan Teknologi sekaligus Direktur Utama PT PAL ini, yang secara "melawan arus" telah berani mengundang Bang Ali, tokoh Petisi 50, yang dinilai berseberangan dengan rezim Orde Baru. Peristiwa yang spektakuler ini terjadi sembilan tahun lalu dalam acara peluncuran kapal Caraka Jaya. Kini proyek kapal itu menjadi kaleng kerupuk. Padahal semula proyek besar itu—jangan lupa, proyek Habibie selalu berukuran besar—direncanakan untuk membuat 56 kapal yang terdiri atas 20 kapal general cargo, 12 kapal semikontainer, dan 24 kapal full container. Sebanyak 15 dari 24 kapal full container waktu itu katanya masih terurai di sembilan galangan kapal di Indonesia. Kini ternyata kapal yang direncanakan akan dibuat itu masih saja "terurai." Bahkan PT Noahtu, galangan kapal di Lampung, sudah bubar. "Kini mesin dan alat impor itu banyak yang hilang," kata sebuah sumber di pemerintah. Dana untuk pembuatan 24 kapal itu dipinjam dari pemerintah Jepang dan Jerman. Sedangkan biaya pembuatan kerangka kapal dicomot dari Rekening Dana Investasi sebesar Rp 266,37 miliar melalui PT Pann Multi Finance. Namun kebiasaan buruk terulang. Proyek langsung macet akibat mark-up. Contohnya, pengadaan mesin plus alat navigasi untuk satu kapal dilabeli harga US$ 6,5 juta. Padahal harga satu kapal hanya US$ 7 juta. Itu berarti, "Harga mesin dan alat navigasi sebenarnya tidak sampai US$ 4 juta," kata Ketua Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Sarana Lepas Pantai Indonesia, Joeswanto Karijodimedjo. Setelah lima tahun tidak diurus, pada 1998, proyek Habibie itu diambil alih pemerintah, lalu dioper dari PT Pann kepada PT Djakarta Lloyd. Perusahaan pelayaran itu dapat mengoperasikan kapal yang sudah selesai dan diwajibkan membuat 15 kapal yang belum dibangun. Namun proyek itu tidak dimulai karena Djakarta Lloyd kekurangan dana. Kabarnya, pembuatan rangka kapal saja membutuhkan dana Rp 175 miliar. Proyek sia-sia Habibie lainnya adalah proyek kapal ikan Mina Jaya. Pembangunan 31 kapal itu didanai pemerintah Spanyol sebesar US$ 200 juta. Pelaksananya PT Pann. Dan biaya pengadaan kapal mencapai US$ 182 juta. PT Industri Kapal Indonesia (IKI) Makassar sebagai pembuatnya mendapat kucuran US$ 12 juta, sedangkan US$ 5,6 juta dikantongi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi untuk transfer teknologi. Kapal yang dibangun di galangan kapal Spanyol dan dirakit PT IKI itu hanya selesai 14 buah—berarti kurang 17 kapal. Bahkan dua kapal yang sudah dioperasikan oleh PT Makassar Mina Utama—perusahaan milik Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla—digerogoti masalah teknis. Sedangkan 17 buah kapal lagi masih teronggok dalam wujud tumpukan besi. Akhir tahun lalu, pemerintah membentuk tim antardepartemen untuk melanjutkan kedua proyek itu. Namun, hingga kini, belum ada keputusan bagaimana penanganan proyek tersebut. Ketika dimintai keterangan, Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Elektronika, dan Aneka (ILMEA) Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Achdiat Atmawinata, mengaku kurang menguasai hal ini. Ia justru melimpahkan kepada stafnya. Solusi yang ditawarkan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dari ke-15 kapal Caraka Jaya yang belum dibuat itu, tiga kapal akan dihibahkan kepada Kabupaten Merauke, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, serta Maluku Utara, masing-masing satu kapal. Itu hibah murni karena ketiga pemerintah daerah tersebut tak mampu membiayai pembuatan kapal itu. Empat kapal lainnya akan dibangun PT Pupuk Sriwijaya dengan mengganti US$ 2,25 juta per kapalnya. "Sisanya, delapan kapal, akan dibangun PT Djakarta dengan menggandeng investor lain," kata Triharso, staf Dirjen ILMEA. Untuk membangun dan mengoperasikan 17 kapal, ditunjuk PT Sun Rise Jaya Makmur dan PT Latoka Mina Raya. PT Pann juga mengusulkan agar utangnya sebesar 50 persen di-write-off (dihapuskan alias diputihkan) dengan rincian sebanyak 25 persen dijadikan penyertaan pemerintah dan sisanya masih sebagai pinjaman. Sedangkan PT IKI minta agar seluruh pinjamannya dijadikan penyertaan modal pemerintah. Pihak Departemen Keuangan beranggapan, justru lebih menguntungkan kalau mesin dan alat navigasi kapal dijual saja. Apalagi utang lembaga yang terkait dengan pembangunan kapal-kapal itu juga tidak jelas kontraknya. "Dulu Habibie belum menandatangani berapa bunga yang harus dibayar dan kapan jatuh tempo utang-utang itu," kata sumber di pemerintahan. Jangan terlalu heran. Toh, proyek kapal ini tak lebih ajaib dari berbagai proyek Habibie lainnya yang sarat teknologi, padat modal, dan sesak dengan mimpi-mimpi. Agus S. Riyanto, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus