MENGINTAI lawan. Itulah yang dilakukan pabrik rokok kretek Bentoel saat ini. Yang diintai adalah BCCC (Bentoel Creditors Coordinating Committee) dan pasar rokok. Nama yang disebut pertama mengingatkan kita kepada Pengadilan Negeri Malang. Dua pekan lalu, di pengadilan itu BCCC menggugat Mahardono Kusumanegara, penjamin utang Bentoel. Ia merupakan tergugat kedua setelah Suharjo Adisamito, yang Juni lalu diperkarakan oleh BCCC dengan tuntutan agar dinyatakan pailit. Belum lagi kedua gugatan itu dikabulkan, Sabtu dua pekan lalu BCCC sudah menyiapkan gugatan baru untuk ketiga penjamin yang lain. Mereka adalah Samsi, Suryanto Salim, dan Tony Sunaryo. "Sekarang semua penjamin akan kami gugat. Bahkan kalau perlu sekalian dengan Bentoelnya," kata kuasa Hukum BCCC, Hotma Sitompul. Seperti kepada penjamin terdahulu, kali ini pun masing-masing akan digugat Rp 19 milyar. Memang, dari 26 anggota BCCC, hanya The Bank of Tokyo Ltd., The Hongkong and Shanghai Banking Corporation, dan Corebridge Banking Ltd yang menggugat. Anehnya, sejalan dengan pernyataan Hotma itu, diam-diam BCCC juga mengadakan perundingan dengan PT Rajawali Wira Bhakti Utama (RWBU), yang sejak Oktober tahun lalu mengambil alih manajemen Bentoel. Dalam negosiasi itu, BCCC tidak diwakili oleh Hotma, tapi oleh S. Yamagita dari Bank of Tokyo. Adalah Yamagita juga yang sebelum perundingan itu telah dituduh Bentoel memasukkan biaya pengacara dan rekening telepon kepada Bentoel sebesar Rp 1 milyar lebih. "Karena itu, utang kami terus membengkak," kata Peter Sondakh, Direktur Utama RWBU. Perundingan RWBU dengan Yamagita berlangsung dua hari dan tampaknya membawa harapan bagi pihak RWBU untuk melaksanakan kewajibannya. Soalnya, BCCC menyetujui proposal yang diusulkan Bentoel Juli lalu, yaitu penangguhan pembayaran utang US$ 370 juta hingga akhir tahun ini. Namun belum diketahui secara rinci, apa isi tanggapan dari pihak Yamagita. Hingga pekan ini TEMPO belum berhasil menemui manajer Bank of Tokyo itu. "Pokoknya, perundingan ini memberi peluang bagi kami untuk mencicil utangutang," kata Managing Director Bentoel, Budhy G.W. Budhyartho. Diduga, manajemen Bentoel ingin segera terlepas dari kerewelan BCCC yang melibatkan pihak pengadilan. Semakin cepat beres dengan BCCC, semakin cepat pula Bentoel bisa memulihkan reputasi bisnisnya. Tapi mungkin juga Bentoel merasa perlu cepat terbebas dari utang, sebelum BCCC hilang kesabarannya. Selain itu, omset Bentoel akhir tahun ini diperkirakan bisa mencapai 11 milyar batang. Menurut Budhy, dengan angka tersebut, Bentoel mencapai titik impas. Untuk mencapai target itu, November depan Bentoel akan meluncurkan tiga sampai lima produk baru secara bertahap. Di samping itu, produksi sigaret kretek tangan, akan ditingkatkan menjadi 35% dari seluruh produksi Bentoel pada tahun 1993. Sedangkan di bidang pemasaran, dua bulan lalu penghasil rokok putih Marlboro ini sudah membuka keagenan di Swiss. Bentoel akan melempar rokok putih merek Country dan Challenger. "Dari Swiss diharapkan ada pemasukan Rp 12 milyar setahun," kata Budhy. Jika ini benar, boleh dibilang Bentoel sudah bangkit lagi. Padahal, ketika diambil alih oleh Rajawali, produksi rokok Bentoel ratarata hanya 700 juta batang per bulan. Sejak April lalu, produksinya meningkat dan hingga Juni sudah mencapai 5 milyar batang. Bambang Aji dan Jalil Hakim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini